[Banda Aceh| Muhammad Yakub Yahya] Dalam penyampaian materi seputar “Urgensi USBNPAI (Urgensi Bidang PAI)”, Kabid PAIS Kanwil Kemenag Aceh, Drs H Saifuddin AR, banyak mengulas tantangan dan problematika, serta solusi yang sesegera mungkin dilakukan Pemerintah, Kanwil, Guru PAI, Pengawas, Disdik, hingga peran masyarakat.
Dalam acara Sosialisasi USBNPAI 2014, di Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh (21/2), Kabid PAIS, Saifuddin bercanda bahwa, “Selama ini jika ada les matematika, biologi, fisika dan lainnya, yang bahkan Cina pun membuka privat itu di naggroe syariat ini, maka orang kita ramai-ramai masukkan anak kesayangannya ke sana, dengan iuran yang berapa pun itu, sesegara mungkin dibayarnya. Namun, jika untuk minyeuk panyot guru pengajian, kilah walimurid, ooo man, belum koh padee (belum panen padi).”
Lanjut Pad Din (sapaan untuk Saifuddin), yang juga mantan Kabid Mapenda Kanwil itu, “Jika kepala sekolah diminta kertas untuk permainan matematika, misalnya, oleh guru matematika, kepala sekolah akan menyuruh ambil dua rem sekalian, sebab itu penting, penting sekali. Namun, jika guru agama masuk dan beri salam, masuk penuh sopan, dan meminta kertas dua rem, kepala sekolah kasihnya dua lembar, tak penting,” kira-kira begitulah masih dianaktirikannya guru agama di sekolah dan masyarakat.
Atau sekarang masih dianggap PAI tak penting, guru PAI yang masuk kelas bisa asal-asalan saja (latar belakang non-PAI), sehingga seakan bidang ini dilirik sebelah mata, yang berbeda dengan guru lainnya. Sehingga dengan USBNPAI, dengan ada Bidang PAI, makamata pelajaran ini akan terus diperhitungkan, juga gurunya, secara pelan-pelan.
Akibat selama ini sistem yang dibuat begitu tak adil pada agama, “Hingga terjadilah misalnya, hormat pada orang tua tiada lagi, pengawasan pada anak tidak bisa lagi, sebab hantu blue dan setan belang masuk kamar anak, siapa yang bisa tahan,” tanya Pak Din, mantan Kabid Pekapontren Kanwil itu lagi, dalam acara yang saat pembukaan juga hadir Kabid PD Pontren H Abrar Zym SAg.
“Saya pernah katakan pada Profesor di kampus, jangan coba ubah anak layaknya ‘anak manusia’ saat kuliah, kalau saat di usia PAUD dia ‘bukan anak manusia’. Jadi, pendidikan agama saat PAUD lebih penting dibina di bawah tanggung jawab ayah ibu, dari pada saat remaja. Di mana sekarang, tanggung jawab itu (usia PAUD) pun diserahkan pada orang lain (pemerintah). Nanti, mungkin anak dalam kandungan pun, bersama mamanya, diserahkan pada pihak lain, saat ayahnya ke kantor, mungkin di bawah lembaga Pendidikan Anak dalam Kandungan. Begitu sudah lepasanya tanggung jawab ayah ibu sekarang pada anak, yang seharusnya usia dini diasuh oleh orang tuanya,” lanjutnya agak sarat lelucon, sambil mengkritik, bahwa Wajadikdas 9 tahun itu, programnya pemerintah, tapi Islam sudah mengajarkan bahwa pendidikan wajib, sejak dalam kandungan, hingga ajal.
Selain itu aborsi di mana-mana, bahkan dibunuh sebelum bernyawa dan belum lahir. Jangan tanyakan narkoba, jahannam itu sudah masuk kampung dan kampus (sekolah),” jelas Saifuddin, ayah putra-putri asal Meureudu Pijay itu.
Itulah di antara persoalan anak remaja kita sekarang, karena kepedulian pada PAI di sekolah dipandang sebelah mata. Padahal anak didik di sekolah 70 persen, sisanya di madrasah. “Belum lagi soal guru, guru banyak, tapi guru kurang. Ada yang sudah S1 malas pulang ke kampung sendiri, maunya di kota, akhirnya bertumpuk guru, misalnya di Banda Aceh,” singgungnya, sambil membandingkan kepedulian Kadiskdik yang otonomi, dan ditekan Bupati/Wlikota, juga soal tunjangan PNS (juga guru) di Banda Aceh dengan daerah lain, dengan sebab otonomi itu.
“Ada ego sektoral dari Kepala Dinas (Pendidikan), dan juga Kankemenag, sebab ada institusi yang otonomi, dan ada yang vertikal. Disdik Provinsi tidak bisa mengatur hingga ke kabupaten, sebab laporan Kadis Kabupaten bukan pada Pak Anas M Adam (Provinsi), tapi pada Bupatinya. Lantas, kilah Kankemenag dan jajarannya, untuk apa Bupati atur dan tekan kita, apa SK kita di tangan Bupati, kita orang ‘Pusat’,” banding Pak Din lagi, yang beristrikan juga seorang guru.
Lanjut Saifuddin, pada peserta, terutama Kabid di Disdik, “Untuk USBN Tahun 2014, LJK dan dan soal memang dari provinsi, tapi SKHU, Daftar Nilai, tak ada anggaran pengadaannya. Tolong juga laporan mushalla di sekolah untuk kami dikirim segera ke Kanwil.” [a/l/f/j]