CARI
Rekomendasi Keywords:
  • Azhari
  • Kakanwil
  • Hari Santri
  • Halal
  • Islam
  • Madrasah
  • Pesantren

Kakanwil Khatib di Idi, Mohon Maaf Lahir-Batin

Image Description
Inmas Aceh
  • Penulis
  • Dilihat 821
Sabtu, 4 Oktober 2014
Featured Image

[Kanwil | Muhammad Yakub Yahya] Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar, Alhamdulillah Kakanwil Kemenag Aceh, Drs H Ibnu Sa’dan MPd, dapat menunaikan janjinya, dengan bertindak sebagai Khatib di Masjid Agung Darussalihin, Idi, Aceh Timur. Kakanwil sebelumnya lewat Inmas mengucapkan Selamat Idul Adha 1435 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

‘Kunjungan’ sebagai khatib ‘ied kali ini, sekaligis momentum yang baik untuk mudik, berhari raya di kampung halaman bagi Kakanwil, di kawasan Idi Cut, Aceh Timur.

Sebagaimana biasa teks khutbah Kakanwil duluan dikirim dan dibukukan, dan kali ini telah jauh-jauh hari dipersiapkan untuk diperbanyak oleh Pemkab Aceh Timur. Sebelumnya Kakanwil juga rutin menjadi Khatib, dan teksnya dibukukan, misalnya Idul Adha lalu di Kota Langsa dan setelah itu tampil di Lapangan Neusu Banda Aceh.

Dengan tidak mengurangi makna khutbah, di pagi yang mulia, terutama bagi yang tidak satu tempat shalat dengan Kakanwil pagi Ahad (5/10), kami ulangi untuk menurunkan sebagian isi khutbah yang bertemakan “Meneladani Nabi Ibrahim as, Membangun Nanggroe Madani” berikut:

Alhamdulillah, pagi yang mulia ini, hari yang agung ini, merupakan siklus dari hari-hari yang penuh berkah. Hari yang sangat bersejarah bagi umat beragama di seluruh penjuru dunia, dan bagi umat muslim pada khususnya.

Hari ini, hari kemenangan bagi seorang Nabi, Ibrahim ‘alaihisalam, penemu konsep ketauhidan dalam berketuhanan. Sebuah penemuan maha penting di jagad raya, tak tertandingi nilainya dibandingkan dengan penemuan para santis dan ilmuwan.

Sebab, berkat konsep ketauhidan yang ditemukan Nabi Allah Ibrahim, manusia dapat menguasai alam dengan menjadi khalifah fil ardh (bumi).

Dari jejak itulah, warisan agama nan hanif  (lurus) sampailah ke hati kita, ke daerah kita, lewat jalur jihad dan dakwah Nabi terakhir, Nabi Muhammad Saw. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi wa ashahabihi ajma’in

Alhamdulillah, jamaah haji kita bersama jamaah dari negara lain telah atau sedang menyelesaikan beberapa rukun dan wajib haji yang belum ditunaikan. Sebagian ritual haji pun, warisan mulia Nabi-nabi sebelumnya, termasuk dan terutama Nabi Ibrahim as. Perjalanan duka dan suka dari keluarga, saudara, atau sahabat kita, baik saat di Madinah maupun waktu di Makkah pun, rutin kita simak lewat media.

Kisah dari Tanah Suci itu, bisa mencerahkan atau mampu memberi semangat bagi kita, tergantung sikap serta pemahaman kita di sini, atau tergantung pada prilaku dan pemahaman orang yang menceritakan, haji dan hajjah yang telah berhaji. 

Idul Qurban, Hari Raya Idul Adha, di Bulan Dzulhijjah 1435 Hijriah ini, bagi kita di sini, dibingkai oleh tiga peringatan besar, yakni akhir bulan ini, 28 Oktober, kita peringati Hari Sumpah Pemuda, sebuah simbol persatuan elemen anak muda bangsa, di bumi pertiwi ini.

Serta awal bulan lalu, 2 September, kita di Aceh peringati Hari Pendidikan Daerah, satu simbol perjuangan komponen umat Islam Aceh dalam aspek pendidikan.

Serta sebulan setengah yang lalu, 15 Agustus, Aceh juga peringati hari yang bersejarah, yakni penandatanagi Nota Kesepahaman Perdamaian yang ke 9, lewat sebuah MoU Helsinki, dua hari sebelum peringatan HUT RI ke 69.

Ada dua syarat damai, yaitu teken nota kesepahaman dan takwa. Berdasarkan titah Allah, “Sungguh orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah (ishlah, berjabat tangan, teken damai, atau MoU), jika cek-cok, dan bertakwalah pada Allah, moga kamu dapat rahmat” (QS Al-Hujarat ayat 10). 

Jika hanya kedua belah pihak jabat tangan, lain di mulut lain di hati, lain di atas kertas lain di lapangan, lain di level atas, lain di level bawah, damai sebentar, selanjutnya kacau lagi.

Jika damai sudah, bahkan sudah 9 tahun, tapi sebagian pelakunya jarak dengan Allah, malas shalat, hati busuk, angkuh pada suku lain, congkak pada baju tetangga, iri pada warna bendera partai lain, memelihara dendam, atau masih simpan amunisi, damai itu tak bakalan dinikmati anak cucu.

Ayat selanjutnya, kira-kira bermakna, “Hai orang yang beriman pria, jangan kamu lihat atau nilai pria lain dengan tatapan dan penilaian yang remeh, siapa tahu dia yang kamu lihat lebih mulia di sisi Allah daripada kamu. Hai orang yang beriman wanita, jangan kamu lihat atau nilai wanita lain dengan tatapan yang remeh, siapa tahu dia yang kamu lihat lebih mulia di sisi Allah daripada kamu. Jangan mencela atau mencerca. Jangan kamu sapa atau panggil dengan sapaan yang jelek (meski dia tersenyum menyahuti). Sejelek panggilan itu kefasikan setelah beriman….” QS Al-Hujarat ayat 11.

Ayat ke 12 Allah ajak kita,  “Hai orang yang beriman jauhi banyak prasangka, sungguh sebagian prasangka itu dosa. Jangan suka intip kekurangan orang lain. Jangan umpat atau gosip. Sudikah kami makan daging mentah saudaramu….?”  Ayat ke 13 Allah nyatakan, bahwa sama saja kita yang ber KTP Aceh di Indonesia, Indian di Amerika, Aborigin di Australia, Arab di gurun sahara, Aria di Jerman, Mongol di Cina, Melayu di Asia, Negro di Afrika, atau Anglo-Saxon di Eropa. Atau sama saja Irak atau Suriah. Sama saja Ukraina dan Rusia. Sungguh yang paling top atau mulia, itu yang paling taqwa (atqakum).

Allah tak menatap kita orang Aceh, Melayu, Batak, Nias, Tanjung, Minang, Kubu, Betawi, Sunda, Karimun, Jawa, Madura, Dayak, Minahasa, Banjar, Bugis, Papua Malanesia, Bali, Bima dan seterusnya, pada jumlah suara Parpol dan dukungan untuk Pilpres, tapi dipandang-Nya pada amal dan hati.

Allah tidak melihat kita di Aceh, dari pantai timur-utara atau barat-selatan, atau pedalaman dan pesisir. Namun yang Allah ‘tatap’ dan ‘lirik’ ketaqwaan kita. 

Allah memandang niat, bukan baju atau bendera hijau, merah, kuning, putih, biru, krem, atau kelabu. ‘Ied meleburkan semua identitas kita yang berpeci, berkain sarung, bermukena putih, bersandal, atau bercela panjang, dengan lantunan Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar, lewat salaman dan silaturrahmi, dengan jamuan makan timphan dan lontong.

Damai dalam bulan Syawal, sama dengan damai dalam bulan bulan Haji. Ini musim haji, Jamaah Calon Haji (JCH) Aceh masuk gelombang kedua, pekan kedua-ketiga September masuk Asrama dan semua telah berada di Makkah.

Ada ayat-ayat haji, sebelum ayat Islam kaffah dan doa sapu jagat, Allah juga instruksikan damai: jangan rafats, jangan fusuq, dan jangan jidal (QS. Al-Baqarah 197).

Sungguh punca keributan pada kesukaan pada keseringan omong jorok dan porno (termasuk teunak-teumeunak). Juga kacau-balau, pada kesukaan saat membangkang pada aturan (abai pada hak dan kewajiban), tebarkan onar ke mana-mana, laksana kotoran kerbau yang terpercik dari kubangan. Juga perang dari hobbi dalam berdebat, menegakkan benang basah. Perdebatan sampai merah mata (hu aneuk mata), atau tegang leher (criep mareh-mareh), biasa oleh orang sombong, yang hanya ingin menang bukan benar.

Kita baru dua bulan yang lalu tinggalkan amalan puasa, tapi nilai Ramadhan terus kita warnai dalam keseharian kita. Prof Buya Hamka, penulis Tafsir Al-Azhar dan buku bermutu lainnya, pernah menamsilkan model kita —orang Islam di Aceh dan Muslimin di mana pun— yang keluar dari Ramadhan tahun ini, juga tahun-tahun lainnya, dengan dua tipe:

Pertama kita yang laksana ikan. Ikan senang dengan kolam Ramadhan, selalu bersih dan suci, tanpa mau dinodai lagi dengan kotoran dan maksiat. Seusai puasa, saat fajar fitrah tiba, kesucian juga terjamin dan terkontrol. Beningnya kolam Ramadhan nan jernih dan suci itu, terus meliputinya sampai Ramadhan depan, bahkan hingga sepanjang masa.

Jadilah kita tipe ini, laksana ikan, bahkan dia tidak asin meskipun di lautan asin, artinya dia berintegritas dan istiqamah sepanjang dia hidup.

Kedua, ujar Buya Hamka —nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang meninggal 24 Juli 1981, dalam usia 73 tahun— lagi, bahwa di antara kita, warga negara bagaikan kerbau, yang meskipun sudah dimandikan, tetap dia akan mencari kubangan. Jadilah ia kotor lagi, bau lagi, usai bersih dengan sabun dan sikat sekalipun.

Janganlah kita kayak kerbau, yang asyik dan selalu kembali ke kubangan, usai merumput dan dimandikan, artinya senang ke ‘kubang kemaksiatan’, dan ‘kubangan dosa’. 

Jadi, mari dengan keceriaan, senyum lebar di bulan Dzulhijjah ini, juga saling bermurah senyum hari dan malam di sini, pada siapa pun, nan langgeng selamanya. Dan amalan selama Ramadhan, dua bulan silam, semisal shalat berjamaah, salaman usai salam, juga bisa semakin ramai usai puasa ini. Salaman tak kenal bulan, karena kita sering mengejek sesama, dalam hati.

Kita, haji atau belum haji, pengantar dan penjemput jamaah, panitia atau ketua regu/ketua rombongan, bahkan mungkin di daftar tunggu, pemilih atau yang dipilih, anak atau cucu pahlawan, jika suka mengasihi isi bumi, insya Allah, janji Allah, yang di langit akan mengasihi kita. Juga suka membagi cinta, salam, dan doa. Murah hati dan senang berbagi itu ciri haji mabrur. Sebaliknya kikir dan kian pelit itu ciri haji mardud (ditolak).

Kita yang rajin mendoakan saudara, malaikat akan mendoakan kita. Pintaan malaikat pasti makbul. Pemimpin sejati banyak mendoakan rakyat. Banyak memohon buat generasi muda dan anak cucu. Tinimbang untuk dirinya dan generasinya. Sebagaimana doa Ibrahim yang ditunaikan Allah untuk Makkah. Negeri aman dan barakah. Minyak merekah, komoditi melimpah hingga kiamat. Buat cucu dan cicitnya, taat atau maksiat.

Dalam gerakan jihad, memintal benang damai, atau mengawal perdamaian, yang disebut pemimpin itu, yang menghapus kata purnabakti atau pensiun dalam kamus perjuangan. Sebab pemimpin bukan cuma dia yang pejabat, yang ditinggalkan rakyat dalam kebodohan dan kegelapan.

Imam atau makmum, jangan angkuh dengan merek selop, warna mobil, atau warna darah. Meski bergolongan darah A, B, AB, atau O, kita satu ras dan genetika, ‘spesies’ manusia. Dari sepasangan insan, Adam dan Hawa, insan berasal. Memiliki persamaan yang prinsipil dan asasi.

Kita semula satu rumah, surga-Nya. Turun ke bumi, cucu Adam harus menempati wilayah demi dinamisasi diri dan alam.

Variasi ras dan bahasa, itu tanda Allah Kuasa, untuk kita saling menyapa. Untuk menegakkan persahabatan yang egalitarian, yang dibutuhkan bukan elitisme dan eksklusifisme, tapi inklusif. Seperti pandangan Harits ibn Hisyam dan ‘Athab ibn Usaid kepada Bilal bin Rabah yang hitam dan hamba sahaya. Namun Allah memuliakan yang layak mulia dan menghinakan yang patut hina.

Kerukunan sungguh indah, damai itu indah, bukan hanya terpahat di depan Makodam, Makodim, Makoramil, atau di depan gendung tentara. Ia kata nan indah dalam kamus manapun. Persahabatan yang tulus akan memotong kesedihan menjadi separuh dan melipatduakan kesenangan. Jika kita berjumpa dengan saudara kita yang pelit senyuman, tebarkan sebuah senyuman. Senyuman sama dalam bahasa mana pun. Dan damai modal membangun nanggroe, nanggroe yang madani.

Eloknya, sejatinya, memang haji teladan dan obor umat. Tempat ditanyai soal hidup. Bahkan dimintai modal hidup. Pionir dan motivator aksi sosial, ekonomi, pendidikan keumatan religius.

Musim beralih zaman berputar. Tiap haji ada zamannya. Tiap zaman ada hajinya. Zaman kemerdekaan berganti dengan era revolusi. Diteruskan dengan masa pembangunan. Dilanjutkan dengan babak reformasi.

Eloknya, idealnya, titel haji, panggilan imam besar atau imam rawatib bukan semata-mata mengejar pengukuhan negara, sosial, dan makmum yang ‘murahan’ dan duniawi itu. Tidak sekadar mengimpikan dunia dan sanjungan nan sesaat itu. Melainkan spirit menggapai mabrur dan ridha Allah.

Keinginan agar amalan diterima semua. Piawai menyemangati hamba Allah agar terus bergerak maju, seperti gerakan memutar Ka’bah. Ajakan kebenaran dan kebaikan dari haji kian seru.

Seperti seruan Ibrahim ke seantero dunia. Namanya merekat kuat, tulus terpahat di hati umat, anak cucu. Sebagaimana pahatan sebutan Ibrahim as, Ismail as, serta Hajar as, hingga Muhammad Saw, di dinding peradaban. Bak bintang di langit zaman. Bukan tambah usia anak cucu pahlawan, tambah ramai haji, tambah usia imam, tambah lawan dan saingan.

Haji, salah satu ibadah yang sarat dengan simbol dan perlambang. Oleh karena itu, jikalau ibadah haji dilaksanakan tanpa mengerti makna yang tersimpan didalamnya sangatlah percuma, karena yang demikian itu hanya menyisakan kelelahan belaka. Kelelahan yang kerontang tanpa kesadaran. Meskipun saat ini kita berada di Kabupaten Aceh Timur ini, jauh dari Tanah Haram, tidak berarti kita tidak bisa meneladani Nabi Ibrahim. Karena keteladanan itu tidaklah bersifat fisik.

Namun sejatinya keteladanan itu berada dalam semangat yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Keteladanan atas ibadah haji dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari ketika kita berinteraksi dengan tetangga, teman, saudara dan umat manusia pada umumnya.

Bila kita kaji bahwa haji dimulai dengan niat yang dibarengi dengan menanggalkan pakaian sehari-hari untuk digantikan dengan dua helai kain putih yang disebut dengan busana Ihram. Bahwa pakaian yang selama ini kita pakai sehari-hari sangat menunjukkan derajat dan status sosil manusia.

Oleh karena itu, ketika seorang muslim telah berniat untuk haji dan berniat menghadap-Nya maka segeralah tanggalkan pakaian itu dan gantilah dengan busana Ihram yang serba putih, karena manusia di hadapan Ilahi Rabbi sejatinya tidak berbeda.

Pakaian itu tidak hanya apa yang kita pakai namun juga identitas yang menyelimuti diri manusia hendaknya segera diluluhkan ketika menghadap-Nya. Allah tidak akan pernah membedakan antara pejabat dan rakyat, antar penguasa dan hamba, antara pedagang dan nelayan. Semua itu dimata Allah swt adalah sama. Seperti putihnya seragam yang membalut raga.

Sabda Nabi Saw: “Orang-orang Islam itu satu sama lain bersaudara, tiada yang lebih utama seorangpun dari seorang yang lain, melainkan karena taqwanya.”  (HR. Thabrany).

Thawaf, mengelilingi ka’bah tujuh kali putaran adalah perlambang kedekatan manusia dengan Sang Khaliq.

Sa’i berlari kecil dari Shafa ke Marwah, merupakan rangkaian setelah Thawaf yang dapat diartikan sesuai perspketif sejarah.

Simbolisme dalam ibadah haji juga melekat pada Ka’bah Baitullah. Di sana ada hijir Ismail (‘pangkuan Ismail’).

Di sanalah seorang Ismail putera Ibrahim yang membangun Ka’bah pernah berada dalam pangkuan sang Ibu Hajar, seorang wanita hitam yang miskin, yang juga semual seorang budak.

‘Arafah tempat Wuquf, adalah ruang berintrospeksi diri, siapa, dari mana sosok diri itu dan hendak kemana nantinya. Oleh karena itu ruang ini dinamakan arafah yang mempunyai satu asal kata yang sama dengan ma’rifat yaitu mengeatuhi dan mengerti hakikat diri.

Dari Arafah menuju Muzdalifah guna mempersiapkan diri dan mempersenjatainya melawan syaithan yang akan dihadapi nanti di Mina. Manusia haruslah selalu waspada bahwa syaitan ada di mana-mana. Karena itulah senjata pemusnahnya tidaklah sesuatu yang besar dan menakutkan. Tetapi cukup dengan kerikil yang kecil sebagai simbol atas kesabaran dan keteguhan hati.

Kita juga dituntut mengenyahkan ego dan pemusuhan, dengan saling mengeratkan persaudaraan dan kebersamaan. Untuk bisa saling bersaudara, dalam momentum qurban, mari kita kaji konsep silaturrahmi sesama ini.

Pertama, kita ber-ta’aruf, maknanya mari kita saling mengenal “siapa anda” dan “siapa ana”, dalam berbagai jenjang karir.

Juga bijak menyikapi perbedaan, di samping rajin mempelajari persamaan. Tujuannnya, agar antara atasan bawahan, selalu lahir tali kasih sayang. “Tak kenal ya tak sayang,” ujar pepatah.

Kedua, mari kita tafahum, artinya kita cari dan manfaatkan kesempatan di mana pun, untuk saling memahami kelebihan dan kekurangan. Jika kita sudah pahami hal ihwal seseorang, maka tidak ada lagi gosip, upat, dan fitnah di antara kita, di ruang sepi dan warung kopi misalnya, karena memang saudara kita “demikian adanya.”

Ketiga, ta’awun, ialah kita saling menolong atau membantu sesama dalam duka dan suka, diminta atau tidak, diterima atau pura-pura menolaknya.

Dan keempat, takaful, yang ini barangkali lebih pada rasa senasib sepenanggungan, atau sikap rela menanggung ‘penderitaan’ kawan. Kawan sejati ialah yang mendekat manakala kita menderita, papa, bukan sebaliknya. Spirit qurban, mengasah sensitivitas (kepekaan), memupuk kebersamaan, dan rajut persaudaraan.

Pengorbanan dan silaturrahmi di hari baik ini, satu langkah merefleksikan semangat berbagi dalam kebersamaan. Perintah Allah dalam QS. Al-Kautsar: “Sesungguhnya Kami telah memberi kamu nikmat yang baanyak (al-kuutsar), maka shalatlah dan berqurbanlah…”

Dalam berqurban, jangan sampai, jebakan yang ada cuma seremonial belaka, yang mungkin kerap kita praktekkan juga pada syiar qurban, setiap ‘musim qurban’, hari ‘ulang tahun’ penyembelihan, kita pupuskan. Mungkin sebelum ini, tak jarang kita di sini hanya mengedepankan makan-makan dan kenduri semata. Sesekali atau seringkali kita lupa sejarah, makna, hikmah, kesan-kesan, dan pesan-pesan qurban.

Saat penyembelihan, kita yang kantongi catatan nama pemilik binatang, pegang parang, dan simpulkan tali ke kaki hewan, tak pernah lupa ‘sejarah tabah’ Ismail as, bahkan lebih jauh lagi: ragam tanaman dan aneka ternak, objek qurban Qabil-Habil, dengan kualitas dan kuantitasnya.

Apatah lagi saat makan-makan, tak usah pupus, tidak ‘tertelan’ segala makna yang ‘melangit’ atau yang ilahiah (transenden) itu, bersama kunyahan daging ke perut sejengkal ini. Mari kita ingat untuk selalu berlindung dari bisikan setan, sebagaimana sejarah heroik Ibrahim as. Kita merasa, setan musuh yang nyata dan terang-terangan, siang dan malam bagi kita, sebagaimana dimusuhinya setan oleh keluarga Hajar as (‘hamba gurun’) yang tulus dan patuh itu. Ibrahim as yang meneladankan kita murah dan suka berbagi-bagi, bukan menambah (mengali, mengkali) itu, sepertinya sering kita lupakan, begitu saat ‘milad qurban’ terlewati, kala darah kering, dan waktu kerupuk kulit lembu habis. 

Jangan kita kembali berlomba untuk memperbagus kenderaan di dunia, jangan kita malas berlomba juga untuk mempermewah kenderaan di akhirat, dengan qurban. Aneh, kita ambil kredit dan utang untuk kenderaan baru, di dunia fana, tapi kita lupa dengan mobilitas di akhirat nan abadi. Tentu mobilitas akhirat lewat pemberian dan pengorbanan yang terus ‘mekar’ dalam sunnah, ketaatan, dan keikhlasan, bukan dalam lesung bid’ah, pamer atau riya. Padahal, “Yang sampai pada Allah bukan daging dan darah (qurban), tapi takwa kita,” pesan QS. Al Hajj (99) ayat 37.

Sunyi dari pesta budaya nanti, tidak berarti kita mesti sepi dari kreatifitas. Sebab berhenti berkreatifitas sama dengan berhenti dari hidup. Justru hidup yang berkreatifitas tak pernah mati, dan terus bekerja (‘amal shalih) atau diteruskan kreasinya, diapresiasikan kiprahnya oleh cucu dan cicit Aceh.

Moga renungan Idul Adha dan tiga Hari Tasyriq besok, termasuk cara kita bertaqarrub dalam tataran hablumminallah, dan ber-fastabiqul khairaat dalam tataran hablumminannas. Berlomba dalam kebajikan, dalam kebudayaan; wata’awanuu ‘alal birri wat taqwaa, kerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaaan, ini slogan insani, baik yang ‘menari’ ataupun ‘penonton’.

Budaya dan adat di Aceh mengajarkan kita menjadi manusia yang ekspresif, kreatif, dan apresiatif: makhluk yang cepat, tepat, dinamis, murah hati, dan ringan tangan. Budaya mendidik kita menjadi manusia yang inovatif dan apresiatif: makhluk yang meneladani dan diteladani (memuji dan dipuji). Insya Allah amin….

[Masjid Agung Darussalihin Idi, 10 Dzulhijjah 1435 H / 5 Oktober 2014/yyy]

[foto: tim pawai berlatarkan menara modal, saat dilepaskan gubernur aceh, di halaman masji raya baiturrahman banda aceh, ba'da isya, sabtu malam (4/10)]

Tags: #
Tentang
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota.
Alamat
Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242
Lainnya
Media Sosial
© 2023 Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
Oleh : Humas Kanwil Aceh