CARI
Rekomendasi Keywords:
  • Azhari
  • Kakanwil
  • Hari Santri
  • Halal
  • Islam
  • Madrasah
  • Pesantren

Jemaah Aceh ke Medinah dan Pesan Hijrah

Image Description
Muhammad Yakub Yahya
  • Penulis
  • Dilihat 719
Sabtu, 6 Juli 2024
Featured Image

Jemaah Aceh ke Madinah dan Pesan Hijrah

Oleh Muhammad Yakub Yahya; PPIH Arab Saudi 2023 dan admin aceh.kemenag.go.id

 

Mulai Senin (1/7) secara bertahap, jemaah haji Embarkasi Aceh (BTJ) tinggalkan Mekah. Dimulai oleh kloter 1, jemaah pun berangkat ke Medinah. Jemaah Aceh akan ziarah dan ibadah di Madinah, usai puncak haji, bersama jemaah tanah air lainnya yang masuk gelombang dua (tiba melalui Jeddah, pulang via Medinah).

 

Ketua Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi/Debarkasi Haji Aceh/Kakanwil Kemenag Aceh Drs H Azhari MSi sampaikan, secara bertahap, dari Mekah jemaah menuju Medinah. Kloter 1 mulai bergerak ke Madinah pagi Senin (1/7). Begitu seterusnya hingga kloter 12 yang bergerak siang Sabtu (13/7).

 

Setiba di Kota Nabi, sekitar 8 hari di Medinah nanti, jemaah Aceh menetap di wilayah Markaziah Syamaliah, Gharbiyah, dan Junubiyah (sisi utara, barat, atau selatan mesjid), sekitar 50-200 meter dari/ke Mesjid Nabawi. 

 

Saat  jemaah Aceh tiba ke Medinah, umat Islam peringati Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1446 Hijriah, Ahad (7/7). Sambil menanti berita Tamu Allah yang Maha Pengasih (Dhuyufurrahman) di Medinah, mari kita petik beberpa poin di balik pesan hijrah tahun, jelang pergantian presiden ini. 

 

Bahwa kita dipandang piawai bertetangga, bukan karena bisa memilih jiran yang baik. Atau bisa berbuat baik dengan tetangga. Namun kita yang dinilai cakap ialah kita yang bisa tahan dengan sikap buruk tetangga. Ini satu rumus untuk mengukur kita tipe yang bisa adaptatif (menyesuaikan dengan lingkungan).

 

Manakala tetangga di lokasi baru tidak baik, tidak menumbuhkan persaudaraan dengan kita, bukan berarti kita yang pindah terus, sampai mendapati tetangga yang ideal. Namun kita, jika memang kita dipandang baik atau mengubah lingkungan ke arah lebih baik, mesti tetap di sana. Paling tidak lingkungan tidak lebih buruk dengan kehadiran kita. Jangan sampai, sudah tidak bisa memperbaiki keadaan dan lingkungan, kita pula yang tergerus dengan kejahatan lingkungan.

 

Demikian satu ajaran yang bisa kita praktikkan dalam keseharian, dari kisah hijrah Nabi Muhammad SAW dan sahabat. Saat di Mekah, lahan tauhid dan dakwah sudah maksimal untuk dikembangkan, dan ternyata tidak juga mau berkembang, maka pindah satu strategi penting. Itu pun karena perintah Allah. Saat Rasulullah sudah ke Medinah, ternyata lingkungan, dan tipologi masyarakat  di sana pun, lebih varian dari pada saat di Mekah: Islam dan non Islam. 

 

Di Medinah, berhadapan dengan kaum non Muslim (Yahudi, Nasrani) dan kaum munafik. Dan Nabi tetap bersama lingkungan yang sebagian penuh kemunafikan hingga wafat. Inilah yang dimaksud, Nabi bisa adaptatif dengan lingkungan. Bukan malah hijrah lagi ke kota lain, dengan harapan akan didapati umat yang taat semua, ideal semua dengan jalan dakwah.

 

Ini pola kita kita hidup sesampai di tempat baru: terima dan sesuaikan diri, moga dengan eksistensi kita, akan lebih baik. Dan nilai lainnya, saat berjuang di Medinah, dan saat masih di Mekah, jelang hijrah ialah pada sinergisitas. Bakal sukses hijrah kita, elit dan rakyat Aceh, jika lebih dahulu nada kebijakan dan tarian pembangunan itu sehati, sekata, seayun, dan serentak. 

 

Dinamika kota dan kampung akan cepat, jika kita bangun dari istana dan gubug tidak cuma sendirian dan sekelompok, yang hampir 20 tahun alami hantaman tsunami dan puluhan tahun usai cekaman kemelut ini. Aspek agama dan dunia akan bersanding unggul di sini, jika kita beriringan mengepal tangan bangkit dari keenakan, kemapanan, dan kemandegan: di rumah, kantor, sawah, laut, hutan, jalan, toko, dan warung kopi. Jika bersama dalam ketulusan dan kesadaran, bukan dengan kepura-puraan, target murahan, dan musiman, maka akan berkah dan maslahah dana, daya, dan sarana kita.

 

Jika 1446 tahun silam Rasulullah Saw dan sahabat tinggalkan kampung halaman Mekah, dan menetap di Medinah, tidak kembali kecuali untuk berhaji atau membuka Kota Mekah (Fathu Makkah), maka jemaah Aceh memang sebentar saja di Medinah. Setelah delapan hari di Medinah, setelah sebelumnya sebulan di Mekah, semua akan dipulangkan ke Serambi Mekkah. 

 

Bagi jemaah Aceh yang masuk gelombang kedua, tahapan dan rukun haji usai sudah, juga yang gelombang satu yang sudah atau sedang pulang via Jeddah. Ibadah di Baitullah dan arba’in (shalat jamaah 40 waktu) di Masjid Nabi pun dinilai sudah cukup. 

 

Setelah sekitar 40 hari jemaah berada di Arab Saudi, Tamu Allah nanti dipulangkan melalui Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Medinah (MED) ke Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM). Kloter 1 jadwalnya tiba bakda zuhur, Rabu (10/7). Hingga kloter 12 yang tiba Senin (22/7). 

 

Nanti setiba, kalimat “Ahlan wa sahlan, selamat datang Tamu Allah, semoga menjadi haji yang mabrur,” pun dipasang di jalan, gedung, dan medsos. 

 

Setelah 30 hari di Mekkah dan 10 di Madinah, jemaah yang berpisah dengan suami/istri, ahli famili, karib, jiran tetangga, mitra, rekan dan rival, rindu dan kangen moga pulih kembali. 

 

Menurut perhitungan tokoh Aceh, Prof Dr H Hasballah Thaib MA, disampaikan dalam khutbah Idul Adha beberapa tahu lalu di Blang Padang, bahwa ibadah haji dan umrah, masuk ritual paling banyak membutuhkan biaya. Jika jemaah haji dan umrah Aceh tiap tahun dihitung kasar, ada lebih dari enam ribu orang. Per orang mengeluarkan biaya puluhan juta, maka yang harus dikeluarkan dari Aceh ke Arab Saudi, sejumlah ratusan milyar. Angka itu belum lagi ditambah dengan biaya qurban, dam, dan pembelian oleh-oleh per jemaah. Juga konsumsi jemaah kita di pasar Arab, dari wakaf Baitul Asyi itu. 

 

Ajak putra Aceh yang juga sahabat Dr 'Aidh Al-Qarni dan Prof Dr Naguib Al-Attas itu lagi, jika jemaah terfokus dalam melempar jamarah, agar batu bisa masuk ke lobang yang disediakan, maka fokus pula melempar setan (syaithan) dalam dada ini. Jangan akhirnya jamaah kita pulang ke Aceh dengan menyertakan pulang bersama setan Mina.

 

Di airport, setan itu keluar dan bergabung dengan setan lainnya, serta menyebar ke seluruh Aceh. Betapa sulitnya membangun Aceh jika digoda terus oleh setan yang dibawa serta jamaah dari Arab itu tiap tahun. Ia bertamsil, bahwa dirinya sering katakan pada jemaah haji Aceh yang mau berangkat supaya banyak-banyak membawa setan Aceh ke Mina, supaya dilempar oleh Tamu-tamu Allah di sana. Para jemaah mengumpulkan batu-batuan tersebut dari tanah di hamparan Muzdalifah dan meleparkannya. 

 

Sebagian orang beranggapan bahwa melempar jumrah sama dengan melempar setan yang sedang diikat di tugu jamrah. Saking yakinnya dengan keyakinan ini, sampai-sampai mencari batu yang besar untuk melontar jumrah. Bahkan sampai ada yang melempar dengan sendal, sepatu, botol dan yang lainnya.

 

Bagi yang sehat dan meninggal kita doakan mabrur ibadah semua. Salah satu penyebab kian ramainya jemaah, Tamu Allah, yang meninggal, selain cuaca dan kondisi badan, adalah usia jemaah yang risiko tinggi (risti). Penyakit orang Aceh macam ragam, di antaranya jantung. Saat pembimbingan, selalu dibilang dokter, di Tanah Nabi itu, kesempatan kita berhenti menjadi ahli hisap. Mestinya memang selama di sana, bisa belajar untuk stop merokok. Sekembali dari Tanah Suci, mengikutilah sunnah Rasul yang tidak merokok, diwariskan oleh ulama besar yang bukan perokok, mestinya haji dan hajjah, bisa membuang rokok. Rupanya merokok dan perokok tidak kenal haji. Di sini, ia juga penyebab kemiskinan dan inflasi.

 

Apa arti senam jantung sehat, baik di sini maupun di sana, baik bagi haji atau bukan, jika makanan tidak sehat, telat bangun, dan masih merokok. Perokok seringkali, sebagiannya, bangun pagi bukan wudhuk, dan nikmati udara pagi, tapi mengepulkan asap. Apalagi bangun kesiangan, baik telah kawin maupun belum kawin. Bangun tengah malam pun, bukan tahajud terus, tapi ambil korek. Sungguh sangat jahat efek rokok, dari bibir hitam perokok, udara Allah beri bersih, apalagi pagi, dia cemarkan.

 

Dosanya pada orang sekitar, anak cucu, karena asap rokok, kapan sempat perokok itu mohon maaf pada yang dizaliminya. Apalagi merokok di area no smoking. Meskipun dihisap perbatang (sibak-bak), penghambat bagi kemakmuran kita. Rumah tangga tak siap-siap, jika asap di mulut terus dihembuskan. 

 

Terlepas dari itu, satu pesan usai haji dan sebelum maut yang mirip. Ialah soal baju haji yang putih (ihram) dan kafan kita. Bagi kita haji/hajjah, yang baru mendarat, yang akan tiba, yang tahun lalu tiba, yang belum bisa berangkat, dan yang menjemput, bahwa kita kian dekat ke liang kubur, di antara dua batu nisan. Haji dan ihram untuk mengingatkan kita pada kubur. Sebagaimana wukuf di atas tanah berpasir (di Arafah) yang ingatkan kita mahsyar dan akhirat.

 

Setiap kita renungi Tahun Baru Islam 1446 H, apalagi saat orang Aceh sedang ke Medinah, mengingatkan kita untuk terus berbuat, berpindah, dan berubah. Ingat pula kita pada ajal,  kematian, di balik sakratul maut, kubur, shirathal mustaqim, dan para mahsyar. Hal yang lebih penting dari haji dan hidup, di samping syiar dan simbol adalah hakikat dan esensi, atau hikmahnya. Selamat ibadah di Nabawi, selamat tiba nanti kembali, ke Aceh. Moga mabruur/mabruurah, aamiin ya Allah.

 

Muhammad Yakub Yahya, PPIH Arab Saudi 2023 dan admin aceh.kemenag.go.id

 

Tentang
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota.
Alamat
Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242
Lainnya
Media Sosial
© 2023 Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
Oleh : Humas Kanwil Aceh