[Banda Aceh | Muhammad Yakub Yahya] Jika Selasa malam (8/7), di Masjid Raya Baiturrahman, Wakil Ketua MPU (Majelis Permusyawaratan Aceh) Aceh, Prof Dr Tgk H Muslim Ibrahim MA, ajak warga tidak omong sia-sia, ghibah (upat), dan dusta selama puasa dan di luar puasa (bahkan memikirkan kekurangan orang lain dalam hati saja, jangan, sebab akan mengurangi dan menghilangkan pahala puasa), maka Rabu malam (9/7), Drs H Ridwan Qari ajak umat yang akan meraih taqwa pada Allah SWT, untuk beriman dalam lambang dan pembuktian (jangan beriman dengan iman yang menipu dan membuai seperti ‘Tgk Puteh’ alias ‘Dr Abdul Ghaffar’ alias Snouck Horgronje la’natullah).
Jika dalam ceramah jelang tarawih, Tgk Muslim, Guru Besar UIN Ar-Raniry itu, lewat judul “Adab Puasa”, mengisahkan kisah wanita yang mengumpat di masa Rasulullah, dan saat disuruh ludahi isi mulutnya, ternyata berubah jadi darah kotor (daging jelek/jijik), dan puasa setadi paginya sia-sia belaka (juga soal kemurahan membagi menu berbuka), maka Tgk Ridwan, di Masjid Taqwa Jalan KH Ahmad Dahlan, kisahkan lewat “Iman dan Taqwa Berlandaskan Al-Quran”, akan keadilan masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra yang memadamkan lampu dengan minyak negara saat membicarakan soal keluarga, atau kisah Arab Badui yang menantang Nabi agar bersikap adil dengan Baitul Mal.
Drs Ridwan Qari, Kabid (Kepala Bidang) Urais Binsyar (Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah) Kanwil Kementerian Agama Prov Aceh, lanjutkan di malam ke 12 (ke 13) itu, bahwa ciri taqwa itu berpedoman pada Al-Quran sebagaimana maksud ayat QS Al-Baqarah ayat 2 (dzaalikal kitaabu laa rayba fiihi hudan lil muttaqiin, Kitab Al-Quran itu tidak ada keraguan padanya, jadi pedoman bagi orang yang taqwa), dan dengan As-Sunnah. “Orang taqwa dan orang beriman itu terlihat saat berjalan misalnya. Seakan al-Quran melekat pada kesehariannya,” ajak Ustadz Ridwan, Pengasuh Konsultasi Fiqh Majalah Santunan, sambil menjelaskan juga, jika makan jangan dengan cara tak halal (QS Al-Baqarah 187).
Di awal ceramah di masjid putih, yang berlantai tiga, Drs Ridwan Qari, sampaikan pentingnya pembuktian dari rasa dan sikap beriman kita. “Iman bukan simbol, iman bukan jargon, iman bukan simbol, bukan atribut, iman bukan angan-angan, tapi pembuktian dalam keseharian,” ujar putra Pondok Baru, Bener Meriah itu, dari maksud sebuah hadits di bawah ini.
“Jadi jangan seperti kita di Aceh yang seakan-akan dikesankan iman dengan razia misalnya,” tamsilnya lagi, seraya menambahkan jika memilih Presiden (pemimpin apa saja) yang Islam, jika sudah terpilih mau amanah, jika menjalankan mau adil, meski buat kerabat kita.
Jadi, iman itu satu kesatuan dari iqraarun bil lisaani, tashdiiqun bil qolbi dan amalun bil arkaan. Rasulullah SAW, untuk definisi di atas, pernah bersabda, “Iman itu laisal iimaani bittamanni walaa bittahalli walakin huwa maa waqara fil qalbi.” Artinya, “Bukanlah iman itu mengharap dalam hati, dan bukan hiasan. Akan tetapi iman itu ialah sesuatu yang menetap dalam hati.”
Jadi iman bukan kupiah, jenggot, sorban dan lainnya. “Bagus jika kupiah, jenggot, sorban, dan atribut itu asal sejalan dengan kesehariannya. Jangan kupiah lain, jenggot lain, sorban lain, atau atribut apa pun itu lain, dan lain pula tingkah lakunya. Jangan panjangnya zikir di masjid, tidak dibuktikan dengan amal islami dan imani di luar masjid,” tutupnya.
[Foto: Kakanwil Kemenag Aceh bersama para Kabid saat Rakor Urais Binsyar di Hotel Oasis, 2/12/2013]