Banda Aceh-KemenagNews. Jamaah masjid Lampulo, dekat laut, pagi shubuh Ahad yang bersejarah itu, jumlahnya tidak sampai satu shaf. Jamaah isya malam sebelumnya pun hampir sama, cuma satu setengah shaf. Sama saja dengan jumlah jamaah shubuh dan isya di masjid lain, di kota dan desa, sebelum dan usai tsunami.
Saya yang tamu, termasuk yang terakhir keluar masjid Lampulo, satu setengah jam sebelum runtuh, 26 Desember, sembilan tahun lalu. Saya sempat baca di mading (majalah dinding) remaja masjid, sebelum gelombang dahsyat tiba, yang meratakan tak cuma bangunan dan rumah Allah, juga menggulung sebagian kita —termasuk kami sekeluarga. Besar faedah juga, andai pembaca, korban atau bukan, sadar atau belum, berkenan menyimak ‘wasiat’ dari mading berikut ini.
Saudara kita yang almarhum —mungkin duluan syahid— yang menempel itu, mengajak sebagian besar kita untuk hijrah dari perangai buruk, menuju tabiat yang baik. Tabiat yang jelek, lazim mengakar menjadi rutinitas yang buruk. Seperti ujar orang bijak, “Pertama kita yang membentuk kebiasaan, lalu kebiasaan yang akan membentuk kita.” Isi sembilan pesan ini, cemeti bagi kita.
Pertama, jika ke tempat shalat atau pengajian, kita berlambat-lambat; tapi kalau ke tempat hiburan atau olah raga, cepat-cepat. Betul, di antara kita terus lari kencang, andai itu urusan penenuhan hasrat syahwat, birahi, dan setan. Kita rancang secara cermat dan matang, agar tak ketinggalan. Terik dan hujan sekalipun, kita sudah perhitungkan. Mantel dan payung, kita selipkan. Namun tak begitu kencang kita lari, jika itu urusan ukhrawi. Shalat dan pengajian, itu hanya dua contoh. Hiburan dan olah raga, itu juga cuma dua umpama. Hakikatnya Islam tak menilai ini semata-mata hanya dunia, dan itu hanya akhirat. Jika cara kita benar dan tulus dalam meramu kerja itu —dunia atau akhirat, agama atau dunia— semua memiliki muatan ibadah.
Kita mestinya bergegas cepat ke depan Allah. Jika memang butuh sekali, santai dan berlambat-lambat saja ke tempat syahwati dan setani. Atau tak usah sama sekali! Mari kita hijrah, dari cap si pemalas menuju pribadi nan ulet dan kreatif.
Kedua, kalau ke tempat shalat, kita hanya memenuhi shaf belakang; tapi kalau ke ajang hiburan atau olah raga, kita memilih barisan depan. Kena sekali ‘ujung cambuk’ ini. Tepat, jika kita pantau isi barisan dalam masjid, dua rakaat hari Jum‘at misalnya. Lama sekali penuh shaf-shaf depan, yang suci itu. Manusia yang sibuk ini, berlambat-lambat ke tempat azan. Jika mau pun, mungkin juga cuma Jum’at, atau hanya pada dua hari raya. Lalu melangkah agak tergesa-gesa memilih barisan anak-anak di belakang, ke dinding putih atau hijau.
Ada yang masuk masjid saat aqad nikah. Atau manakala jenazahnya dishalatkan. Persis kayak kebutuhan kristiani akan gereja. Berbeda jauh dengan rebutan akan bangku dalam ajang, hiburan misalnya. Agar tampak betis dan dada artis, atau paha pemain bola, kita terengah-engah berdesakan masuk. Lalu memilih bangku kotor itu, di deretan muka.
Padahal, mestinya kita bersaing memenuhi shaf pertama, setiap azan, setiap hari, dan saban Jum‘at. Namun tak perlu berdesakan memboking tiket untuk dunia, andai acara itu tak penting, dan belum islami. Mari kita hijrah, dari posisi shaf posisi belakang, menuju shaf depan.
Ketiga, kalau untuk jadwal akhirat, kita menggeser-geserkan atau kalau bisa dibatalkan; tapi untuk jadwal duniawi, kita prioritaskan. Ini ejekan buat wanita dan pria karir. Atau untuk siapa saja yang suka memilih dan memilah waktu. Hingga tak adil lagi di mata agama. Untuk planning yang intinya semata-mata isi perut, atau menebalkan kantong, kita cepat-cepat setujui. Namun jika itu rencana yang cenderung ke keagamaan yang menguras kantong, kita pertimbangkan. Nanti saja kita kirim jawaban, kalau pun kita sepakati.
Jika ada pertemuan, rapat proyek, audiensi, atau kunjungan dari seorang bapak yang berpangkat, atau ibu pejabat, kita cancel semua jadwal kita yang ada. Kita ubah semua jadwal desa dan balai pengajian kita. Demi kesenangan bapak atau ibu itu. Tak peduli itu pengajian rutin, majelis ta‘lim, halqah, wirid, yasinan, ngaji anak-anak, atau shalat jamaah.
Mestinya kita nomorsatukan jadwal yang telah jelas nuansa ukhrawi. Lalu kita urutkan seterusnya agenda yang kelihatannya bernuansa duniawi. Kita ubah karakter kita, jika buruk selama ini. Mari kita hijrah, dari visi materialisme duniawi menuju spritualisme ukhrawi.
Keempat, kalau untuk dunia seperti nonton TV, kita bergadang dan berlama-lama; tapi untuk shalat, kita sering telat dan secepat kilat. Pedih juga rasa ‘cambuk’ ini. Kita rela minum kopi kental buat persiapan malam nanti. Sebab liga demi liga sedang bertarung di sana. Musim kompetisi sedang digelar, yang diamati dan dipresenterkan oleh pembawa acara yang aduhai. Kita hafal nama klub, hingga nama di bangku cadangan. Juga jam tayang yang tak boleh tertunda atau siaran ulang. Tontonan itu mungkin bareng atau sendirian. Dua, tiga, atau empat jam itu masih singkat! Lapangan hijau sering masuk ke kamar kita.
Padahal dii Barat, bola kaki sudah menjadi agama nomor dua. Gereja telah lama digantikan oleh stadion. Hari ini, gejala itu sedang merasuki benak segelintir pemuda kita. Persetan dengan agama, lebih kurang demikian katanya. Televisi memang bisa memudaratkan, jika begini liberalismenya. Jika sayup-sayup di meunasah atau masjid ada jawaban jamaah “amin”, maka di sini, di depan kotak ajaib ini pun, ada koor “gool”.
Mestinya tipuan busuk ini, tak terulang lagi dalam hari dan malam kita. Lebih-lebih jika penonton itu ketiduran saat azan, dan mata melotot saat siaran. Jika sudah parah begini, kita berani bilang, ini manusia berwajah setan. Jika pun hobbi sekali nonton hingga larut, mari kita imbangi. Ada tahajjud, witir, atau shubuh di awal waktu juga. Ada munajat di ujung malam. Shalat harus tenang dan bersahaja. Belum sah jika tak ada dalam rukunnya thuma‘ninah. Jangan lagee den-den rhah ek —bagai capung cebok. Mari kita hijrah, dari tipe yang membunuh waktu, menuju orang yang menghargai umur dan waktu.
Kelima, kalau untuk main-main, kita senang memakai fasilitas mewah; tapi untuk shalat, sebagian kita menilai wah itu terlalu mahal. Ini juga tren kita, orang kaya, di kota atau desa. Korban tsunami atau bukan. Padahal telah disarankan, dibacakan, bahkan diulang-ulang akan fadhilah berjalan kaki ke masjid, ke jamaah, atau tempat baik. Tapi kita jawab dengan segenap alasan palsu. Mungkin hari ini kecapekan atau keletihan. Namun nanti dan esok sama saja, disibukkan. Padahal azan di genderang telinga.
Jika tenda, gubuk, kantor, atau istana jarak sedikit, lalu disarankan membawa kereta atau mobil, kita kuatirkan akan tergores dan kecurian. Kita takut kotor dan kena taik cecak. Jika kita pelit memang terlalu mahal untuk Tuhan, harta kita. Namun untuk makan-makan, berbelanja, enjoy, atau jalan-jalan, kita senang start, keluarkan dari garasi, dan ikut antrian. Mari kita hijrah, dari berkurban untuk nafsu, menuju semangat kurban demi agama.
Keenam, kalau 20 ribu untuk sedekah, menurut itu sudah besar; tapi kalau untuk belanjaan, itu masih kecil. Sakit sekali cemeti ini. Sebab ada sebagian kita merasa selalu masih sedikit untuk belanjaan. Walaupun sudah tiga keranjang yang ditaksir teller, di mini market atau swalayan. Kendatipun yang diborong itu hanya ‘umpan perut’ berupa: bon-bon, permen karet, kerupuk, atau mie instan; sampah yang ditipu oleh iklan; dan sering menumpuk-numpuk kantong kemubaziran. “Mubazir adalah saudara setan. Setan kufur pada Allah,” ancam firman Tuhan.
Mestinya kita tak tergoda dengan gencarnya iklan. Tak larut bersama orang masuk keluar swalayan. Sebab sering itu hanya tipuan yang bukan kebutuhan, dan bukan tuntutan.
Gengsi biasa akan menghancurkan. Biasa ‘sampah’ isi lemari rumah atau rak nanti, itu hanya jadi barang pajangan. Kecuali pajangan buku-buku dan kitab-kitab. Sisa belanjaan kita buang ke belakang. Membuang makanan atau barang bekas, sama dengan membuang puluhan ribuan atau jutaan uang. Itu musnah seiring dengan punahnya kehidupan.
Padahal, mestinya kita sadar yang kekal itu yang kita sedekahkan. Kita mesti terus merasa masih kurang untuk celengan amal. Meskipun hanya sudah sanggup bersedekah rupiah hingga 20 ribuan. Mari kita hijrah, dari sikap bakhil/pelit munuju tipe yang ringan tangan.
Ketujuh, kalau dari koran atau media massa, kita yakin 100%; tapi kalau dari Al- Qur’an dan Nabi, kita ragu-ragu dulu. Ini penyakit hati orang munafiq, kafir, musyrik, yang tak pantas menghinggapi qalbu sang mukmin. Satu lagi perangai jahat, meragukan kebenaran. Biasa, lantaran sok pandai, debatkan, pertanyakan, logiskan, atau rasionalkan dulu, baru percaya. Memang kadangkala logika pun menjadi sembahan.
Memang hadits pun ada yang palsu, tapi kenapa atas berita media, kita yakin penuh. Kita wajib yakini ayat-ayat Tuhan dengan iman dan nurani. Lalu tak perlu serius sekali, jika itu isu, kabar burung, gosip, atau fitnah dari media, untuk kita sebarkan. Terkutuklah si penggosip. Mari kita hijrah dari sosok yang peragu pada-Nya, menuju hamba yang yakin pada ‘suara langit’.
Kedelapan, kalau berdoa panjang, kita cepat bosan; tapi kalau ngobrol panjang, kita tak bosan-bosan. Tuhan padahal senang sang hamba mengeluh panjang di depan-Nya. Curahan hati, rengekan, adakala keliru kita tumpahkan hanya pada manusia. Kita pintal dalam bait-bait doa saja. Sombong namanya, jika kita terus bekerja lupa berdoa. Bohong namanya, jika kita asyik berdoa, malas usaha. Kita ubah tipe kita, dari pengeluh kesah pada manusia, menuju hamba yang yakin memunajat pada-Nya.
Kesembilan, kalau baca koran, sebagian kita berhalaman-halaman; tapi kalau baca Al-Qur’an, cukup satu halaman. Inipun kalau sempat. Kalau tidak, baca saja menjelang ajal di kepalanya.
Lewat perantaraan qalam (media pembelajaran), Allah selalu menyingkapkan jagat ilmu pengetahuan yang belum kita ketahui. Lewat instruksi iqra’ (membaca ayat-ayat tekstual dan simbolik yang kontekstual), Allah mewajibkan ummatnya untuk terus belajar, terutama lewat institusi pendidikan. Kita wajibkan diri ini pembaca setia Kalam Ilahi.
Saya tambahkan setelah tsunami, satu lagi yang kesepuluh. Yaitu kalau giliran teken bantuan, atau pemungutan suara, kita berdesak-desakan ke pekarangan masjid; tapi kalau menyahuti seruan azan, sebagian besar kita bermalas-malasan masuk masjid. Mungkin ke sana sepekan satu kali (Jumat), atau setahun dua kali (Idul Fitri dan Idul Adha). Begitu, renungan dari dinding masjid, sisa tsunami setahun lalu. Segera, menyongsong awal 1435 Hijriah atau jelang 2014 Masehi, kita perbaiki perangai, jika jelek selama ini.
[Muhammad Yakub Yahya, Direktur TPQ Plus Baiturrahman, Subbag Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Aceh (saksi tsunami, malam, pagi, siang Minggu 26 Desember 2004 di Lampulo Kuta Alam Banda Aceh, hilang anak sulung, adik kandung, ipar, sepupu, dan keluarga besar]