Oleh Teuku ZulkhairiKetua Dept.Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA).Syari’at Islam telah 11 tahun berlaku di Aceh. Tapi ironisnya cita-cita pendidikan Islami di lembaga pendidikan di Aceh belum terwujud, khususnya terkait dengan buku-buku bahan ajar di sekolah. Ini tentu sesuatu yang sangat menyedihkan. Di bawah pemimpin baru Aceh, kita berharap agar pemerintah mau memproduksi sendiri buku-buku bahan ajar di sekolah-sekolah. Sebab, diantara misi pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Aceh terpilih (Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf) dalam bab sasaran dan kebijakan adalah menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan nilai-nilai Dinul Islam di semua sektor kehidupan. Berdasarkan misi dan kebijakan yang akan diambil tersebut, kita melihat bahwa ini merupakan prospek yang sangat cerah dalam upaya mewujudkan pendidikan Islami dalam proses pembelajaran dan bahan pengajaran di sekolah-sekolah.Realitas selama ini, potensi pendidikan untuk mendukung penerapan syari’at Islam secara totalitas di Aceh selama ini belum diberdayakan semaksimal mungkin. Di buku bahan ajar anak didik di sekolah, ruang yang mengupas konteks dan nilai-nilai lokal Aceh tidak mendapatkan tempat yang memadai (untuk tidak kita katakan tidak mendapatkan tempat sama sekali). Buku-buku bahan ajar di sekolah-sekolah belum mengintegrasikan nilai-nilai Islam. ini adalah efek ketika semua buku-buku bahan ajar di sekolah kita, dari yang mata pelajaran umum hingga mata pelajaran agama di impor dari luar Aceh.Bukan salah secara total memang mengimpor buku-buku bahan ajar dari luar, namun yang jelas buku-buku bahan ajar imporan tersebut ditulis untuk standar nasional sehingga tidak mungkin penerbit-penerbit tersebut akan memberikan ruang yang lebih besar bagi materi-materi yang akan membantu Aceh dalam penerapan syari’at Islam. Padahal, proses pembelajaran di Aceh memiliki orientasi yang berbeda dari propinsi lainnya di Nusantara. Qanun Pendidikan Aceh tahun 2008 Bab II Pasal 2 poin (a dan h) menyebutkan bahwa asas penyelenggaraan pendidikan di Aceh adalah keislaman; dan karakteristik Aceh. Sementara Bab III Pasal 5 tentang “Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan†menyebutkan bahwa “Sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan di Aceh didasarkan pada nilai-nilai Islamiâ€.Namun faktanya, sebagai contoh, misalnya seperti buku bahan ajar mata pelajaran kesenian, ruang untuk seni Aceh yang Islami sangat minim. Begitu juga buku-buku bahan ajar mata pelajaran lainnya. Buku pelajaran agama Islam misalnya, seberapa besar dalam buku tersebut memberi ruang untuk materi-materi syari’at Islam di Aceh, Qanun-Qanun, dan sebagainya. Jawabannya adalah sangat minim. Pun demikian dengan buku bahan ajar mata pelajaran umum seperti sejarah dan sebagainya, ruang bahasan yang mengintegrasikan secara langsung pengetahuan umum dan nilai-nilai Islam adalah hal yang tidak bisa dijumpai. Nilai sejerah lokal juga sangat minim. Kecuali itu, beberapa guru yang professional dan memiliki semangat keislaman yang bagus mungkin bisa memberikan materi pembelajaran yang integratif, namun tetap saja tujuan ideal integrasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam tidak akan bisa tercapai secara maksimal karena buku bahan ajar tidak mengakomodir hal tersebut.Kondisi ini adalah akibat ketika para stakeholder dan praktisi pendidikan kita di Aceh sekian lama hanya mempercayai penerbit-penerbit luar Aceh seperti Erlangga, Yudistira, Ganeca, dan Grafindo untuk urusan buku-buku bahan ajar yang akan digunakan pada sekolah-sekolah di Aceh. Bukan salah secara total memang, namun yang jelas buku-buku bahan ajar di sekolah yang diimpor dari penerbit di Jawa tersebut ditulis untuk standar nasional sehingga tidak mungkin penerbit-penerbit tersebut akan memberikan ruang yang lebih besar bagi materi-materi yang akan membantu Aceh dalam penerapan syari’at Islam dalam buku-buku bahan ajar di sekolah yang mereka terbitkan. Padahal, proses pembelajaran di Aceh memiliki orientasi yang berbeda dari propinsi lainnya di Nusantara. Qanun Pendidikan Aceh tahun 2008 Bab II Pasal 2 poin (a dan h) menyebutkan bahwa asas penyelenggaraan pendidikan di Aceh adalah keislaman; dan karakteristik Aceh. Sementara Bab III Pasal 5 tentang “Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan†menyebutkan bahwa “Sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan di Aceh didasarkan pada nilai-nilai Islamiâ€.Fakta ini diperkuat oleh artikel Saifuddin Dhuhri (SD) di Harian Serambi Indonesia, Minggu lalu (3 Juni 2012) berjudul : “Seni Aceh dalam Kurikulumâ€. Tulisan SD yang berangkat dari hasil penelitian untuk studi Ph.D-nya (Disertasi) menyorot minimnya ruang untuk seni Aceh dalam buku-buku seni yang diajarkan di sekolah-sekolah di Aceh. Para peserta didik di Aceh hanya disuguhkan materi tentang seni-seni luar Aceh (Jawa) yang dalam analisa SD jauh dari moralitas Islam. Idealnya, dengan berbagai keistimewaan yang kita miliki, sesungguhnya sudah saatnya kita memiliki buku bahan ajar yang diproduksi sendiri di Aceh sehingga bisa memberikan ruang yang lebih besar bagi nilai-nilai lokal Aceh yang sarat dengan nilai Islam dan moralitas sehingga para peserta didik baik tingkat SD, SMP, SMU/Sederajat hingga Perguruan Tinggi bisa memahami secara dini secara komperhensif terhadap segala sesuatu tentang Aceh, tentang perjuangan dan perdamaian, tentang tidak adanya dikotomi pendidikan dalam Islam, tentang semua ilmu pengetahun adalah bagian dari Islam, tentang kearifan lokalnya, sejarah, syari’at Islam, perjuangan berat para pahlawan dan ulama Aceh dalam melawan penjajah serta menuntut penerapan syariat Islam di Aceh dan sebagainya. Semua materi bahan ajar seperti ini tentu saja harus ditulis sendiri oleh akademisi atau penulis-penulis dan peneliti di Aceh dibawah naungan stakeholder terkait seperti Dinas Pendidikan dan Majlis Pendidikan Daerah (MPD) serta MPU dan unsur ulama lainnya. Jika hal ini tidak segera dilakukan, maka wacana pendididikan Islam di Aceh hanyalah mimpi.Sebab, karakter seorang manusia sesungguhnya dibentuk oleh pendidikan yang ditempuhnya. Proses pendidikan para peserta didik di lembaga pendidikan akan membawa bangsa ini ke arah yang dicita-citakan. Cita-cita penerapan syari’at Islam secara kaffah di Aceh tidak akan berhasil jika minimnya dukungan dari ranah pendidikan. Artinya, jika kita ingin penerapan syari’at Islam memasuki semua sendi kehidupan bangsa Aceh sehingga potensi-potensi pelanggaran bisa ditekan seminimal mungkin, partisipasi maksimal semua stakeholder pendidikan adalah hal yang niscaya.Dalam konteks usaha penyadaran sejarah bangsa, idealnya para peserta didik seharusnya tidak hanya belajar tentang sejarah yang didominasi oleh sejarah di Jawa saja, tapi juga sejarah Aceh secara komperhensif dengan segala dinamikanya, dari masa penjajahan hingga perjuangan di era kontemporer, sehingga peserta didik bangga menjadi ‘Aceh’ setelah memahami betul kebesaran bangsanya dan demikian akan tersemai pula benih-benih semangat membara dalam jiwa mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan Aceh. Sebab, bukankah bangsa yang bodoh adalah bangsa yang tidak peduli terhadap sejarah bangsanya?
Tentang Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota. Alamat Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242