Di tengah hiruk pikuk zaman yang kian materialistik, hadirnya lembaga negara yang memelihara nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan menjadi secercah cahaya harapan. Kementerian Agama Republik Indonesia, khususnya Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, kembali menegaskan jati dirinya bukan hanya sebagai institusi birokrasi, tapi juga sebagai pelayan umat yang hadir dengan hati, bukan hanya dengan regulasi.

"Peace Full Muharram: Lebaran Yatim dan Difabel" adalah satu bukti nyata dari wajah humanis Kementerian Agama. Mengambil tema “Satu Kesetaraan, Sejuta Harapan Meraih Keberkahan,” kegiatan ini bukan sekadar seremonial menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H, tetapi menjadi panggung empati yang menyuarakan nilai kesetaraan sosial, penghargaan terhadap kemanusiaan, dan ikhtiar meraih keberkahan hidup melalui keberpihakan pada kelompok rentan—anak yatim dan penyandang disabilitas. 

Program ini menggambarkan filosofi baru yang diusung Kementerian Agama: “Kementerian Agama Berdampak.” Bukan hanya terdengar dari mimbar, tapi benar-benar hadir di medan amal. Bukan hanya memberi bantuan, tapi menanamkan harapan. Bukan hanya menyapa, tapi memeluk dengan keikhlasan.

Mengapa berdampak? Karena kegiatan ini menyentuh hati, bukan hanya angka. Ia menyapa anak-anak yatim bukan sebagai objek penerima santunan, tapi sebagai saudara yang direngkuh dalam pelukan negara. Ia mendekap para penyandang disabilitas bukan dengan pandangan kasihan, tetapi dengan pengakuan bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar umat Islam yang memiliki hak yang sama dalam merasakan kebahagiaan dan keberkahan.

Analogi: Seperti pohon rindang yang tumbuh dari akar keikhlasan, Kementerian Agama tak hanya meneduhkan mereka yang berteduh di bawahnya, tapi juga menebar benih-benih harapan agar tumbuh kebaikan di tempat lain.

Ikhlas Beramal: Semangat yang Terus Menyala

Tagline "Ikhlas Beramal" bukan sekadar semboyan kosong. Dalam kegiatan seperti ini, semangat keikhlasan Kementerian Agama kembali dipertajam. Ikhlas bukan berarti diam tanpa program, tapi bekerja tanpa pamrih pribadi. Bukan sekadar menggugurkan tugas, tapi memaksimalkan manfaat, seperti air jernih yang mengalir di bawah tanah—tidak terlihat, tidak memamerkan, tapi memberi kehidupan bagi akar-akar harapan dan tumbuhan kebaikan. Mungkin tak terdengar sorak sorai, tapi ia menjadi rahasia keberkahan yang sejati.

Tema kegiatan ini sangat mendalam. “Satu Kesetaraan” bukan hanya berarti perlakuan yang sama, tetapi pengakuan akan martabat setiap manusia, tak peduli status sosial, fisik, maupun latar belakang hidup. “Sejuta Harapan” adalah janji bahwa selama masih ada negara yang hadir, selama masih ada aparatur yang peduli, harapan akan terus hidup. Dan “Meraih Keberkahan” adalah mimpi besar yang dikejar bukan dengan kemewahan, tapi dengan ketulusan.

Penulis: Dr. Khairuddin, S.Ag. MA