Banda Aceh-KemenagNews (12/12/2012) Muharram, bulan perdana dalam almanak Islam, masih dipercayakan sebagian saudara kita, termasuk ‘bulan baik’, buat menggelar pernikahan, dan walimah. Apalagi tak sampai sepekan ke depan, akan jumpa bulan Shafar (dulu bulan panas, padahal sekarang tak menentu cuaca panas dinginnya), yang di KUA mana pun di Aceh, bulan kedua itu, minim sekali jumlah N (nikah). Hitung-hitung pas tanggal 12 bulan Desember 2012, maka sebagian adik kita, saudara kita, tetangga serta warga kita, dan bahkan tak ketinggalan, pemimpin ibukota, pada Rabu (12/12/12) menggelarkan aqad-nikah di Masjid Raya Baiturrahman, dan tiga hari kemudian, pesta besar-besaran di kawasan Blang Padang. “Kami di antara rakyat kecil, mungkin masuk yang lupa Bapak undang, tentu tidak lupa kami datang, bukan begitu Pak Wali?†bisik kawan saya. Moga, baik yang menikah tanggal itu, maupun sebelum dan sesudahnya, selalu dalam bingkai sakinah, mawaddah dan rahmah. Ada hari (bulan) memang yang nilainya lebih baik, daripada hari (bulan) yang lain. Sebagaimana ada tempat yang lebih utama untuk ibadah, daripada tempat biasanya. Namun hari dan tempat itu, makhluk Allah yang tak kuasa memberi mudarat dan manfaat sedikit pun, tanpa izin Allah. Jika kepercayaan kita ada hari naas dan baik, ada tempat malang dan mujur, di sana bisa mujarab atau di sini tak berkah, tapi lupa pada Allah, itu bagian dari tahayul dan kurafat, yang justru dibasmi Islam. Dasar ilmu dan akidah umat yang kian dangkal, dalih dan tujuan yang beragam, maka sebagian saudara kita lebih yakin pada dukun jahat, mimpi buruk, zodiak, rasi bintang, klenik, peruntungan, dan setan, tinimbang pada pemilik alam semesta, Allah Swt, astaghfirullahal ‘azhim. Menikah di ‘bulan panas’ (Shafar sebelum perubahan iklim sekarang, misalnya), juga bisa langgeng rumah tangga itu lewat doa, restu, ikhtiar, dan kuasa Allah Taala. Sebaliknya, tidak juga panas sekali, tak bakal berantakan, rumah tangga yang nikah pada ‘hari-hari panas’ itu. Bisa kekal hingga rumah tangga diramaikan cucu dan cicit, dan kakek-nenek yang keriput pun bisa disaksikan masih ‘mesra’ saja, subhanallah. Sejoli yang nikah di ‘hari baik’, ‘bulan baik’, ‘tempat baik’ pun, bisa cerai berai jika tidak ada upaya, doa, restu, dan izin Allah. Menikah di depan Ka’bah pun, bisa centang perenang, karena hati pasangan yang kian ‘panas’, tanpa ada usaha optimal buat ishlah (rukun, reformasi) dan tak ada upaya mengundang bantuan ‘pemadam kebakaran’. Sebelum nikah, api cinta membara; usai kawin dan punya anak, api dendam menyala. Nikah sama saja keabsahannya, di mana pun: barak, rumah, KUA, masjid jamik, Masjid Raya Baiturrahman, rumah imam, balai teungku, atau rumah kos penghulu. Asal cukup syarat dan rukun (plus sepakat untuk mengayuh bahtera selamanya, jujur, lapang dada, hati bersih, taat dan ingat Allah), maka yakinlah akan langgeng rumah tangga. Jika modalnya cuma nekat dan ‘cinta monyet’, terbukti kandas dan pacah juga ‘perahu cinta’, diterpa badai karang konflik rumah tangga. Jadi, wahai linto baro, menakjubkan, usai musibah akhir 2005, perceraian di Aceh tidak rasional lagi. Semester pertama, Januari-Juli 2011, terdata di MS (Mahkamah Syar’iyah), sampai 1.623 pasangan suami istri di Aceh bercerai (tentu banyak yang tak dilaporkan, tidak dilafalkan, atau cerai di bawah tangan). Dalam catatan MS provinsi, perceraian terjadi antara lain karena 14 alasan: ketidakharmonisan dalam rumah tangga, kurang tanggung jawab, kekerasan dalam rumah tangga, krisis moral, poligami, masalah ekonomi, nikah di bawah tangan, jarak usia yang terlalu jauh, dan gangguan pihak ketiga. Jangan tersinggung, perceraian terbanyak terjadi di wilayah MS Takengon (239 kasus atau 14,72%). Posisi kedua di Aceh Utara (131 peristiwa atau 8,07%). Berturut-turut Pidie (124 atau 7,64%), Kota Langsa (121 atau 7,45%), Kota Juang Bireuen (118 atau 7,27%), dan Aceh Tamiang di posisi keenam (114 atau 7,02%). Sebagian pernikahan di atas, tentu digelar pada ‘bulan baik’. Pernikahan yang diijabkabulkan dalam masa enam bulan 2011, memang sampai 21.043 pasang --tentu masih ada saja yang tak dicatat, nikha bersama qadhi liar itu. Terbanyak nikah (2.649) dari Aceh Utara, Aceh Timur (2.042), dan Pidie (1.869). Andai diprosentasikan jumlah perceraian berbanding dengan jumlah pernikahan yang terjadi pada enam bulan 2011, maka tidak kurang 7,71% perceraian terjadi, dibandingkan peristiwa nikah, masya Allah.Penyebab perceraian, dari 1.623 kasus setengah tahun, faktor ketidakharmonisan dalam rumah tangga menduduki peringkat satu (695 atau 42,82%). Selanjutnya, tidak ada tanggung jawab, urutan kedua (621 atau 38,26%), faktor ekonomi, posisi ketiga (99 atau 6,1%), dan gangguan pihak ketiga (74 kali atau 4,5%). Uniknya, hampir 60 persen justru istri yang menceraikan suami (gugat cerai, fasakh). Hanya 40 persen suami yang menceraikan. Bahkan secara nasional angka ini lebih tinggi, hampir 70 persen perceraian itu gugat cerai, dan 30 persen cerai gugat. Demikian laporan Dirjen Bimas Islam, Nasaruddin Umar (kini Wakil Menag RI), sebelum pemilihan Keluarga Sakinah Teladan Nasional di Jakarta. Tingginya angka perceraian yang diminta oleh istri karena perempuan semakin pintar, semakin mapan, dilindungi oleh berbagai UU, dan semakin sadar akan perlunya menyuarakan kesetaraan gender dan hak-haknya, dan tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor lainnya.Untuk itu, dimohon oleh ayah, ibu, dan penghulu saat khutbah nikah: jika satu pihak membawa api, yang satu lagi harus menyiram air. Riuh dan ribut dengan takaran tertentu, dalam mengayuh rumah tangga itu, kayak sendok dan gelas, seperti belanga (beulangong) dan irus (aweuek), semacam garam penyedap menu yang sering dan kadang perlu. Tak jarang usai maghrib kita dengar ada pasangan muda dan tua, cekcok sedikit, shubuh pun tiba, ternyata mereka bareng ke kamar mandi, basah-basah, tanda semalam kian mesra, hehehe malu. Pemuda lajang, lihatlah pasangan yang sukses menikah, jadikan pelajaran dari saudara kita yang gagal berumah tangga. Nikah pada 'hari/nomor cantik', bukan hanya artis dan anak pejabat, orang kampung kita, tetangga di kota pun ramai-ramai percaya ‘hari sakti’ dan menikah di pagi ‘hari keramat’ itu. Baik pasangan yang nikah setelah ‘kawin’, maupun bagi yang akad nikah duluan, baru malamnya ‘kawin’, baru berbulan madu yang diimpikan orang, yang aduhai indahnya itu. Karena entah mitos atau kebetulan, tidak heran, dulu ramai juga yang ijab kabul pada 9 September 2009 (09-09-09). Lalu ramai yang dinikahkan KUA Kecamatan pada 10 Oktober 2010 (10-10-10). Usai musim haji 1433 H ini, ramai juga yang memilih menikahkan perawan-jejaka, perawan-duda, janda-duda, atau janda-jejaka, tepat pada Rabu 12 Desember 2012 (12/12/12), juga pada 11 Desember 2011 (11-11-11). Pun demikian, bagi pasangan yang kebetulan nikah hari itu, maupun yang sengaja memilih tanggal itu, juga buat yang sudah beranak cucu, atau belum punya, kita doakan semoga pernikahan semua kekal, dalam bingkai sakinah mawaddah, wa rahmah, amin. [muhammad yakub yahya, ayah empat putra-putri]
Tentang Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota. Alamat Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242