Habib Bugak; Melawan Lupa Merawat Wakaf
Disadur oleh Juhaimi Bakri, Katim Bina Haji dan Advokasi Haji Reguler Bidang PHU Kanwil Kemenag Aceh
Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak adalah seorang Ulama Faqih, Sufi dan seorang Bentara-Laksamana serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Acheh sebagai Teungku Chik yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam, sebagaimana yang dituangkan dalam Surat Keputusan Sultan Mahmudsyah dalam surat bertahun 1224 H (1800 M).
Di Acheh Darussalam sendiri, Gelar Habib sejatinya hanya disematkan untuk Ahlul blBait (keturunan) Rasulullah yang merupakan tokoh atau ulama yang memiliki pengetahuan Ilmu Syari'at, Tariqat, Haqiqat dan Makrifat. Jadi, gelar ini bukanlah gelar warisan.
Sedangkan dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali yang tidak menguasai keempat ilmu tersebut hanya disebut dengan Sayyid atau Syarief.
Di sekitar daerah Bugak, terdapat banyak sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl, al-Mahdali, Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi. Keturunan Al-Habsyi sangat mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu.
Menurut urueng tuha di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki kedudukan terhormat sebagai Wakil Sultan. Hal ini diperkuat dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1270 H yang menyebutkan dengan terang nama Habib Abdurrahman dengan Bugak.
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Negara Acheh Darussalam, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal seperti Al Qutb Al Habib Teungku Chik Dianjong dan dikuti oleh ulama, termasuk di Acheh seperti Maulana Syiah Kuala, Syekh Hamzah Al Fansuri dan lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena beliau tinggal di Bugak.
Adapun ikrar wakaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H. Sementara dokumen Negara Acheh Darussalam yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Negara Acheh Darussalam yang ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib Abdurrahman bin Alwi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Habib Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Acheh Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir bersesuaian dengan tahun wakaf dibuat pada tahun 1222 H.
Setelah mewakafkan hartanya, Habib Bugak Asyi menunjuk Nadzir pertama bernama Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi yang diketahui dari keturunan Ulama ternama Syeikh Abdullah al-Baid.
Syeikh ini dan penerusnya Syeikh Abdurrahim bin Abdullah al-Baid Asyi dikenal sebagai Teungku Chik Awe Geutah yang kompleks dayahnya masih terpelihara di Awe Geutah Peusangan, Bireuen.
Tempat ini berdekatan dengan Bugak yang menjadi asal dari Habib Bugak Asyi. Menurut catatan Rabithah Alawiyah Negara Acheh Darussalam, Syekh Abdullah al-Baid adalah Ulama dari Mekkah yang datang serombongan bersama dengan Habib Abdurrahman Al-Habsyi dari Mekkah, Bertugas di Bandar Acheh Darussalam dan kemudian menetap di sekitar daerah Bireuen atas titah Sultan Acheh Darussalam.
Hal ini sebagaimana disebutkan Sarakata Sultan Acheh yang tersimpan rapi pada keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Kemudian, Habib Abdurrahman Al-Habsyi bermukim di Monklayu dan wafat di Bugak, sementara Syekh Abdullah al-Baid bermukim di Awe Geutah mendirikan dayah dan wafat di sana.
Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Bugak Asyi, setelah mewakafkan hartanya kemudian menunjuk Nadzir dari kalangan ulama yang sangat dekat hubungan dengannya, bahkan tinggal satu daerah yang berdekatan.
Kini Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada Rakyat Acheh Darussalam harta wakaf berharga lebih 300 juta Riyal Saudi atau sekitar Rp 7,5 triliun.[]