Jika kita belum pernah haji, memang kita boleh bilang: rukun Islam kelima itu, cukup sekali. Namun kita simak, siapa pun yang sudah pernah ke Tanah Suci, selalu rindu ingin kembali. Lihatlah petugas haji, dari tim Dinas Kesehatan dan pendamping Kemenag misalnya, selalu ingin menjadi petugas saban tahun, dengan seleksi yang ketat berulang kali. Sebab panggilan haji itu memang hak semua Muslimin dan Muslimat, asal memiliki tekad, semangat, dan modal. Pemerintah lewat kuota dan prioritas, boleh saja membatasi, tapi nyatanya ada saja jalan bagi kita untuk berulang kali naik haji. Saya mungkin di antara jamaah yang naik haji pertama kali, yang diawali dengan kisah unik, tak disangka-sangka. Tiba-tiba ada hamba Allah yang membantu perjalanan haji, saat jamaah lain relatif sudah usai manasik dan nyaris mau berangkat, beberapa tahun lalu. Juga selama di Tanah Suci, sebagaimana jamaah lain, saya punya jadwal tersendiri di luar kebiasaan jamaah lain, yang tentu mendorong kami, lagi-lagi ingin ke sana. Alhamdulillah, benar saja, beberapa tahun lalu, saya kembali haji.Silakan haji sekali atau lebih, plus umrah lagi; silakan antar dan jemput jamaah setiap tahun, asal semakin sering menyaksikan jamaah haji; semakin sering naik turun pesawat ke Tanah Haram, kian bagus dan elok perangai kita. Hujjaj (para haji atau hajjah) itu aset ummat. Kita yang berangkat dengan susah payah: uang sendiri, hadiah, biaya dinas, atau tim petugas dan medis itu, seharusnya menjadi pioner perubahan masyarakat. Seharusnya kita, sekembali ke kampung halaman, sakit atau sehat, menjadi penyeru dakwah ummat. Kita teladankan pada diri, keluarga, dan masyarakat pengorbanan Ibrahim as, kesetiaan Ismail as, kepasrahan Hajar as, atau kejujuran Muhammad Saw. Kita yang haji seyogyanya menjadi panutan dan teladan ummat yang memang sedang krisis panutan dan gersang teladan. Kita harus bisa jadi tempat ditanyai sebagian dari persoalan hidup, dan tak salah juga sebagai orang yang diminta pinjaman modal hidup. Menurut tetangga yang belum ke sana, daftar tunggu atau belum masuk daftar, kita yang sudah haji, telah menyaksikan langsung tempat-tempat suci, dari ihram, thawaf, sai, wuquf, Mudzalifah, Mina, jamarah, masjid-masjid, maqam-maqam Rasul dan sahabat, hingga monumen sebagai simbol di situlah Islam dulu dirintis. Jadi, haji dan hajjah itu aset bangsa yang perlu dibina. Pemerintah dan swasta memang telah banyak membantu penyelenggaraannya. Pemerintah seharusnya juga membina mental jamaah pasca naik haji, biar terjamin kemabrurannya, supaya ongkos yang selangit itu tak menguap percuma seiring dengan mengudara dan mendarat di embarkasi dan debarkasi. Pemerintah dan masyarakat, maunya juga menciptakan sistem dan susana dalam sosial, ekonomi, budaya, bahkan birokrasi yang mendukung akhlaq mulia para haji yang tersebar di beragam profesi. Sehingga menjadi duta-duta kenabian dan kerasulan di daerah masing-masing. Saudara dan tetangga pantas juga memelihara nama baik para haji, tapi kita yang haji duluan menjaganya. Mabrur itu bisa diukur. Kita jaga indera terutama lidah kita, sebagaimana larangan (haram) untuk mengucapkan kata-kata jorok di saat ihram dan luar ihram, juga saat shalat. Kita jujur sebagaimana kejujuran Muhammad (al-Amin) sebelum dan setelah jadi nabi, sehingga kafir pun mengangkatnya sebagai hakim saat hajarul aswad (batu hitam di sudut Kakbah) diangkat kembali ke pojoknya. Kita ajarkan ketabahan dan ketegaran menghadapi krisis sebagaimana ketabahan dan ketegaran Siti Sarah as dalam mendidik dan mencari setetes air buat putra semata wayangnya, Ismail as. Tatalah qalbu dan niat kita sehingg setan tidak bisa sekali jua menceraiberaikan program dan aksi kita, sebagaimana penolakan atas ajakan setan kepada Ibrahim, Ismail, dan Sarah as. Kita lempar setan yang bersarang di hati kita dengan zikir yang kontinu, pikir yang islami, rasa yang empati, karya yang beradab, dan gaya hidup yang bersahaja. Pola pikir dan perasaan kita yang humanistik dan optmistik sebagaimana inti khutbah dari haji perpisahan Nabi Saw (wadak), mesti kita pupuk. Seruan Islam itu bukan untuk saling dendam, rasialis, menjajah, berperang, atau memposisikan manusia dalam kelas dan kasta. Rasulullah saw menekankan sekali universalisme dan humanisme manusia, jauh sebelum ada deklarasi HAM dewasa ini. Dinamika syuuban yang berarti suku atau suku bangsa, qabail yang bermakna kabilah, sub dari suku-suku, atau marga,dibenam dalam persaudaraan Islam. (yakub)
Tentang Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota. Alamat Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242