[Kanwil| Inmas] Sekitar pukul 17.36 WIB (sore Senin, 4 Agustus), Banda Aceh dan sekitarnya digoyang gempa bumi, yang berkekuatan sekitar 5,0 SR (Skala Richter).
Perkiraannya, gempa berpusat di Barat Daya Sabang, tak berpotensi tsunami.
Kami di dapur redaksi web/majalah, yang pas bersisian dengan ruang kerja Kakanwil dan Kabag TU, ikut turun, dan berlarian di belakang ‘rombongan’, yang juga kami saksikan ada Kakanwil, yang ikut ‘berlarian’ dengan para Kabid, Kasi, dan ajudannya
Begitu goncangan pertama, jajaran Kanwil yang belum pulang ke kediamannya, berhamburan keluar ruangan, tak terkecuali yang masih di lantai satu, atau di Aula Kanwil yang baru, yang di atas Bidang PAIS, yang terlihat ‘kokoh’ dan ‘mewah’ itu.
DWP dan jajarannya sedang latihan denga Grup Nasyid Persatuannya.
Apalagi kami yang di lantai dua, yang sedang menanti perkembangan berita dari email masuk, dan dari adminweb. Kami sering mengatur jadwal masuk dan pulang, agak lain, yang berbeda dengan rekan, karena kawan-kawan (admin) atau kontributor di daerah biasa baru memasukkan berita, jelang pulang. Jika kita naikkan besok, saat jam kantor besoknya, news jadi basi (meski sehari/semalam), bukan?
Di samping akan masuk sms atau telepon pada kami, bisa malam bisa shubuh, karena berita sebelumnya, belum naik (padahal dikirim saat kita sudah jadwal off alias jam pulang).
Jadi harus kita tunggu, meski sering dibilang kita ‘kabur’ saat kerja, tapi tak dilihat, kita masih ‘kerja’ saat orang lain pulang (belum masuk). Memang butuh keadilan dan kebijaksanaan dalam menilai dunia ini, ya.
Terkadang sabar menanti berita, yang bisa sampai malam. Atau kembali beraksi usai shalat shubuh, guna meng-update berita kawan dan/atau buat berita kalangan sendiri. Jadi tak ada libur dan kerja, meski di almanak ada tanggal merah dan cuti, dan tak ada siang-malam, seakan semua siang.
Kami, terus-terang, saat orang belum datang, duluan masuk dengan diam-diam, dan saat orang telah pulang, kami balik ke ruang juga diam-diam. Ini baru kami bilang, tak mau diam-diam, sebab ada gempa, beberapa kali bahkan dulu, sedang di gedung tua.
Gempa pun beberapa kali menghentakkan gedung tua Kanwil, seperti Senin, yang paginya baru gelar apel perdana itu. Semua pada turun dan keluar, berkumpul ke depan mushalla Al-Ikhlash. “Jika lebih kencang, ruang kita bisa ambruk ini… dan tsunami,” ujar Khudari, di ruang LPSE, tetangga ruang kami, yang juga belum pulang.
Ruang LPSE baru beberapa bulan dimanfaatkan ruang kosong di sebelah dapus redakasi (dulu mushalla). Ruang redaksi kita, memang juga ada di lantai bawah, di ruang Inmas Kanwil itu. Kawan tentu sering ramai di bawah, juga tamu.
“Ada apa, ada apa…,” tanya Kabag TU, H Habib Badaruddin, yang menyusul di belakang, saat gempa reda. Pak Habib tanyai, entah tak merasakan, atau pura-pura tak merasakan. Padahal kita sedang di lantai dua gedung tua.
Saat gempa, memang masih ramai, sebab semua sedang rampungkan agenda ke Porseni, misal Kasubbag Inmas dan rombiongan yang menuju Bireuen Selasa besoknya (Selasa, 5/8), atau akan dinas ke luar besoknya, seperti agenda Kakanwil di Jakarta (qur-ah haji).
Begitulah kepanikan kami, jika sedang di gedung lama Kanwil, yang banyak retak dan lobang jalanan tikus yang mereka bebas berlarian antar ruang itu. Bukan tikus kiasan, tapi tikus asli. Semoga gedung lama masih tahan gempa, dan gedung baru cepatan kita tempati, amin… [yakub]
[Foto: berlatar gedung lama kanwil, saat salam-salaman usai apel pagi senin (4/8)]