CARI
Rekomendasi Keywords:
  • Azhari
  • Kakanwil
  • Hari Santri
  • Halal
  • Islam
  • Madrasah
  • Pesantren

Tarawih karena Allah; bukan karena Kakanwil, Kakankemenag, Mertua, Menantu, Geuchik, atau Imam

Image Description
Inmas Aceh
  • Penulis
  • Dilihat 1799
Kamis, 3 Juli 2014
Featured Image

[Kanwil | Muhammad Yakub Yahya]  Jika masih ada sementara kalangan yang suka memperdebatkan akan rakaat tarawih, padahal perkara sunnah itu, sudah berbeda pendapat sejak dulu hingga kini (mungkin hingga kiamat), dan semua amalan sunat itu ada dalilnya, maka kita jawabkan pada yang ‘doyan’ berdebat ke sana ke mari itu, dengan dalil yang hanya ingin mencari menang dan betulnya kelompoknya (saja), yang berdebat soal fiqh seperti berdebat soal bola kaki itu, dengan jawaban lantang, “Yang salah yang tidak masuk ke golongan mana pun (8 rakaat ia tidak, 11 tidak, 20 tidak, dan 36 juga tidak), itulah yang malas shalat yang salah,” ajak Waled Rusli Al-Bayuni di Mushalla Al-Ikhlash Kantor Kementerian Agama Provinsi Aceh.

Persoalan tarawih, sebenarnya bukan pada rakaat semata, tapi pada niat, kecintaan pada sunnah Nabi SAW, pada lamanya, dan pada banyak ayat yang dibaca per rakaatnya. Dulu, mungkin sedikit rakaat, tapi bisa khatam berkali-kali. Kini, cuma ayat pendek tiap malam, tapi tak apalah, asal semua pada shalat. Itulah kemampuan hafalan imam kita. Tapi paling tidak khatamkanlah sekali sebulan ini. Saudara kita yang tidak shalat sama sekali, yang salah.

Demikian sindiran Waled dalam kajian yang mengupas Bab Shalat Tarawih dari Kitab Fiqh Islamy wa Adillatuhu, karya Syaikh Prof Dr Wahbah Az-Zuhaily, ulama asal Syiria (kelahiran 1930-an), abad 21, yang masih hidup itu.

Kajian Kamisan selama zhuhur puasa, diiringi tanya jawab yang penuh canda, tapi serius, dan Waled menjawab tuntas itu, berlangsung di hadapan Kakanwil, para Kabid, dan seratusan jamaah (karena ada yang dengar dari dalam ruangan, karena masih sibuk, dan karena jika semua ke mushalla, pasti tak muat!).

“Jadi, ada 3 kelompok soal rakaat tarawih, silakan kita pilih mana yang yakin dan cocok, yang salah yang tak masuk ke dalam satu kelompok pun,” sindir Walid Al-Bayuny lagi pada siang ke 5 Ramadhan, dalam kajian ba’da zhuhur (3/7) itu.

Lanjutnya, Prof Wahbah Az Zuhaili hafizhahullah dalam kitab ini, berkata, “Dalil yang ada menunjukkan, bahwa Ubay bin Ka’ab ra, mengimami orang orang dalam qiyam Ramadhan sebanyak 20 rakaat dan witir 3 rakaat. Ini satu kelompok, tapi para ulama mempunyai tiga pendapat dalam masalah jumlah rakaat tarawih ini:

Yang pertama, pendapat mayoritas ulama, bahwa ia adalah 20 rakaat, dan ini adalah sunnah. Hal ini berdasarkan praktik sahabat Muhajirin dan Anshar ra (radhiallahu 'anhum).

Yang kedua; 36 rakaat tifak termasuk syafa’ (genap) dan witir. Ini terjadi pada zaman ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz ra, dan praktik penduduk Madinah masa lalu.

Dan yang ketiga; yang benar sesuai yang terdapat dalam hadits shahih dari ‘Aisyah ra adalah, bahwasanya Nabi SAW tidak pernah shalat malam lebih dari 13 rakaat, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan yang lain.”

Lanjutnya, “Imam As-Sarakhsi Al-Hanafi rahimahullah (meninggal 483) berkata, “Bilangan rakaatnya adalah 20 rakaat selain witir. Menurut Imam Malik rahimahullah, sunnah tarawih adalah 36 rakaat.  Ada yang mengatakan, bahwa barangsiapa yang hendak mengikuti pendapat Malik, sebaiknya dia melakukan apa yang dikatakan Imam Abu Hanifah rahimahullah, dia shalat dulu 20 rakaat sebagaimana sunnahnya. Adapun rakaat sisanya, dia kerjakan sendiri, setiap empat rakaat dua kali salam. Ini adalah madzhab kami.”

Imam Ibnu Rusyd Al-Maliki rahimahullah (meninggal 595 H) berkata, “Mereka berselisih pendapat dalam masalah bilangan rakaat shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Malik memilih dalam salah satu pendapatnya, Abu Hanifah rahimahullah, Syafi’i rahimahullah, Ahmad rahimahullah, dan Dawud (Azh-Zhahiri rahimahullah), bahwa bilangannya adalah 20 rakaat.

Imam Abu Bakr Al-Hishni Asy-Syafi’i rahimahullah (meninggal 829 H) berkata, “Adapun shalat tarawih, maka tidak diragukan lagi kesunnahannya. Bukan hanya seorang yang mengatakan bahwa ini adalah ijma’. Ketika menjadi Khalifah, Umar ra melihat orang orang shalat malam di masjid sendiri sendiri, dua orang dua orang, dan tiga orang tiga orang. Maka, Umar pun mengumpulkan mereka dalam satu jamaah dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab ra, di mana dia shalat 20 rakaat.

Para sahabat sepakat dengan apa yang dilakukan Umar. Shalat  ini dinamakan tarawih karena mereka istirahat setiap dua kali salam, membaca niat setiap dua rakaat tarawih atau qiyam Ramadhan,” kutipnya.

Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali rahimahullah (meninggal 620 H) berkata, “Qiyam pada bulan Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat tarawih. Hukumnya sunnah muakkadah. Yang pertama kali menyunnahkannya adalah Rasulullah SAW. Pendapat yang dipilih Abu Abdillah (Imam Ahmad) rahimahullah dalam hal ini adalah 20 rakaat. Pendapat ini pula yang dikatakan Ats-Tsauri rahimahullah, Abu Hanifah rahimahullah, dan Asy Syafi’i rahimahullah. Dan, Malik rahimahullah berkata itu 36 rakaat,” lanjutnya.

Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, berkata, “Nabi SAW melakukan qiyamullail dan witir pada bulan Ramadhan dan selain Ramadhan sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat. Namun, shalat beliau ini panjang sekali. Tatkala hal ini memberatkan orang orang, maka menurut Ubay bin Ka’ab ra, shalat tarawih dengan mereka pada masa Umar sebanyak 20 rakaat dan ditutup dengan witir. Dia meringankan shalatnya. Jadi, penambahan jumlah rakaat adalah ganti dari berdiri yang lama,” lanjutnya, seraya menyebut isi kitab itu, yang mengutip ujaran Ibnu Taimiyah, yang menyebut semua pendapat (8,11/13, dan 20) itu hasan, tergantung kita, karena ia sunat, yang sebenar-benarnya tergantung kesepakatan imam shalat dan kita.”

Lanjutnya, “Ibnu Taimiyah mengatakan, yang benar adalah bahwa semuanya itu baik, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah.”

Demikian paparan Syaikh Wahbah, yang pernah ke Banda Aceh, yang mengakui bermazhab Syafi’iyah, tapi selalu kupasan fiqh yang amat luas dalam 100-an kitabnya, memberi kesempatan pada masyarakat untuk memilih menurut pemahaman dan keyakinan. Jadi, bukan karena ikut-ikutan, atau dipaksa.

“Tarawih itu karena imaanan (meyakini itu perintah Allah, bi amrillah), dan ihtisaban (yakin dan tulus), sebagaimana logo dan slogan Kemenag. Jadi, tarawih itu karena Allah, bukan Kepala Perusahaan, Kakanwil, Kakankemenag, mertua, menantu, pak geuchik, atau teungku imum,” tutup dan kutip Waled, alumni Dayah Bayu Aceh Utara itu, yang kenakan kain sarung dan berkacamata, sebagaimana kacamata saya ini. []

Tags: #
Tentang
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota.
Alamat
Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242
Lainnya
Media Sosial
© 2023 Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
Oleh : Humas Kanwil Aceh