[Baiturrahman | Yakub] Kalau Ahad malam (20/7) di Masjid Raya Baiturrahan, KH Muharrir Asy’ari MAg, Rektor Unmuha (Universitas Muhammadiyah) Aceh, bahas soal iktikaf pada 10 terakhir Ramadhan, belajar kesedehanaan jelan lebaran, dan ikat pinggang (hemat), silaturrahmi dan zakat fitrah, tapi pada Sabtu malam (19/7) ceramah bersama Prof Dr Warul Walidin Ak MA, Rektor Unaya (Universitas Abul Yatama) Aceh Besar, ajak kita yang puasa yang ada kelebihan, ada rasa seperasaan dengan saudara kita yang tak seberuntung kita.
Prof Dr Warul, yang juga Pengurus MPD (Majelis Pendidikan Aceh) Aceh dan Dosen S2 UIN Ar-Raniry, di hadapan hadirin yang masih membludak sampaikan sebuah kisah yang dilakoni oknum guru dan penceramah yang kena tegur istrinya.
Kisahnya, pagi atau siang suaminya sudah makan mi caluek (mi lidi yang dijual dan disajika bersama bumbu, yang biasa di-caluek/disodorkan tangan oleh ibu yang menjual ke mi sekali, ke kerupuk sekali, dan ke mentimun sekali) di luar, di belakang sebuah rak kedai, yang jualan sebelum saatnya (sebelum bakda ashar). Saat dia pulang, lalu meuleu-ok, huek huuek huuuek, dan keluarlah mi tadi.
Saat ditanya istri, bahwa kayaknya kita tak masak mi sahur tadi pagi atau buka puasa kemarin, tapi bagaimana bisa keluar mi, cut bang!? “Ada perubahan…” jawab suaminya, yang semula ingin menipu, tapi ketahuan juga bahwa ia sudah buka puasa siang di belakang istrinya. Jadi, dia puasa pura-pura saja.
Dan ini sama saja dengan orang yang puasa hingga senja, tapi berbuka dengan lahapnya, dengan rakusnya, dia tidak ingat hikmah puasa, yang antara lain wajib merasakan kelaparan saudaranya yang mungkin sepanjang bulan atau sepanjang tahun, atau rasa lapar yang orang papa dan berkekurangan sedang rasakan (mungkin hanya berbuka dengan air putih) di luar meja dan di samping rumah dia yang bermenu mewah untuk buka puasa pura-puranya.
Selain nilai sensitifitas, Prof Warul juga bahsa nilai pendidikan dari puasa. Bagaimana puasa kita…? []