Berikut diturunkan sekelumit cacatan Simposium Internasional Madrasah (Bekasi, 3-5 September lalu. Dari Aceh ikut Muktasim Jailani, dari Tangse, Sigli.
Madrasah ke depan harus responsif dan adaptis terhadap dinamika dan perkembangan global yang semakin menantang. Itu harapan besar dari Wakil Presiden RI, Boediono, saat membuka “The Second International Symposium Empowering Madrasa In The Global Context atau Simposium Internasional II Pemberdayaan Madrasah dalam Konteks Global di Aula H.M. Rasyidi Kemenag, Jakarta, pada Selasa (3/9) silam.
Simposium ini berlangsung selama tiga hari 3-5 September 2013 di Hotel Horizon Bekasi. Sebelumnya Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan, madrasah telah melakukan transformasi dan terus mengembangkan diri menghadapi perubahan zaman dan menjawab tantangan global. Di Indonesia, saat ini terdapat 44.900 madrasah yang tersebar di berbagai daerah, baik milik pemerintah maupun swasta.
The Second International Symposium Empowering Madrasa In The Global Context diselenggarakan dari 3-5 September 2013. Kegiatan ini dihadiri oleh 130 peserta, baik dari dalam dan luar negeri, di antaranya: Thailand, Philipina, Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Dari Aceh yang lolos melalui call for paper terdiri atas Muktasim Jailani, MA, guru MIS Krueng Seukeuk Kec. Tangse, juga sebagai staf pengajar STAI Al-Aziziyah Samalanga; Harjoni Desky, M.Si, peneliti Research Institute for Empowerment of Civil Society (LPMM) Aceh; Muhammad Yani, M.Ag, dari Universitas Serambi Makkah dan guru PAI pada SMA 1 Peukan Bada; terakhir Harjono, dari The Center for Analysis of Soscial Change (PASPAS) Aceh.
Fenomena madrasah dalam konteks pendidikan nasional merupakan institusi pendidikan berbasis keagamaan yang bernaung di bawah kementerian agama (sebelumnya: departemen agama). Madrasah ini memiliki jenjang dari tingkat dasar hingga tingkat atas dengan label ibtidaiyah (dasar), tsanawiyah (menengah), dan aliyah (atas).
Madrasah sebagai pendidikan formal di Indonesia sekarang ini dikelola sangat bervariasi, yakni ada yang dikelola oleh pemerintah sebagai madrasah negeri, ada juga yang dikelola oleh masyarakat dengan label swasta. Untuk yang swasta ini juga memiliki ada yang bernaung di bawah yayasan dan lembaga yang memiliki sumber dana yang relatif memadai sehingga pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di lembaga ini menjadi unggulan dan favorit bagi peminat pendidikan madrasah.
Di samping itu ada yang dikelola oleh masyarakat tanpa adanya yayasan atau lembaga yang menaunginginya. Keberadaan madrasah model ini, biasanya di kawasan dan daerah pedalaman, dimana masyarakatnya yang jauh dar akses kota dan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan sumber dana dan fasiliats seadanya madrasah ini mencoba menawarkan pendidikan berbasis madrasah kepada siswa-siswanya.
Sementara itu, madrasah sebagai sistem pendidikan Islam di berbagai belahan dunia, baik yang mayoritas muslim atau yang minoritas, memiliki variasi pengelolaan yang relatif sangat beragam. Intinya, pengelolaan madrasah (sebagai warisan peradaban) bertahan dan dapat mengambil posisi sebagai institusi pendidikan keagamaan. Bahkan tantangannya—khususnya bagi komunitas yang minoritas muslim— relatif sangat berat dan beragam, baik dari dari faktor politik, ekonomi, hukum, dan kultur setempat.
Idealnya, mensikapi problematika lokal dan fenomena global yang semakin menantang dalam pengelolaan madrasah, diharapkan madrasah dapat memposisikan diri secara strategis dalam merespon dan beradaptasi dengan perkembangan itu, sehingga eksistensi madrasah tidak ketinggalan dan terbawa arus kemajuan globalisasi, bahkan lebih jauh menjadi model dalam pengelolaan pendidikan ke depan. [muktasim/m yani/y]
(Foto: Muhammad Yani, M.Ag; Muktasim Jailani, MA; Harjoni Desky, M.Si)