[Karang Baru │ Muhammad Sofyan] Matahari telah naik sepenggalahan ketika dua Karyawan Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Kabupaten Aceh Tamiang dengan mengendarai Sepeda Motor Supra X 125 bergerak menuju sebuah Kampung di pedalaman Aceh Tamiang. Setelah menempuh perjalanan setengah jam kontur jalan berubah, perjalanan mulai melintasi jalan tanah yang berbatu dan berdebu, berliku-liku dan berbukitan, terkadang melewati perkampungan, terkadang melewati perkebunan dan terkadang pula melewati lereng bukit yang ditumbuhi tanaman hutan dan semak belukar.

Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang satu setengah jam, perjalananpun berakhir karena telah sampai ke tempat tujuan yakni Kampung Suka Makmur menyusul tibanya Slamina, MA beserta rombongan yang mengendarai Mobil dinas Bl 204 U yang telah berangkat terlebih dahulu. Kampung tersebut termasuk salah satu Kampung (Desa) terpencil di Kabupaten Aceh Tamiang. Di Kampung tersebut terdapat sebuah Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS Suka Makmur) yang telah berdiri sejak tahun 1999. Tujuan perjalanan ini dalam rangka meresmikan penggunaan Ruang Kelas Belajar yang telah usai di rehab pada akhir tahun 2015 yang lalu. Pada tahun tersebut MIS Suka Makmur mendapat Anggaran Rehab untuk Dua RKB.

Dalam Sambutannya Salamina, MA Kakankemenag Tamiang memberikan semangat kepada Kepala dan Komite MIS Suka Makmur dan Masyarakat sekitarnya, menurutnya orang-orang yang memperhatikan pendidikan maka besar kemungkinan akan memperoleh kesuksesannya, tidak pada dirinya mungkin pada anak-anaknya.

Acara peresmian itu diselingi dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diisi oleh Santri-santri Pondok Pesantren Modern (PPM) Babussalam Tanjung Pura Langkat. Ceramah yang menggunakan tiga bahasa, masing-masing disampaikan oleh satu orang Santri dan salah satunya adalah Putra dari Ibu Paini Kepala MIS Suka Makmur yang saat ini menimba Ilmu di Babussalam Tanjung Pura. Usai acara dalam ruangan berlanjut dengan serah terima langsung di lapangan dan peletakan batu pertama pembuatan pagar madrasah tersebut.

Kegiatan itu ditutup dengan makan bersama yang salah satunya adalah rendang daging Rusa. Daging tersebut sudah sulit didapat karena rusanya telah jarang akibat habitanya telah banyak berubah menjadi perkebunan sawit dan rambung.

Perjalanan pulang kembali kami menempuh jalur yang sama. Perjalanan yang lebih mirip sebuah pertualangan itu, memberikan gambaran betapa menderitanya penduduk pedalaman, mereka harus menempuh jarur yang penuh debu bila musim panas dan berlumpur bila musim hujan. Perjalanan yang harus melewati 48 buah bukit dengan berbagai ketinggian dan kemiringan makanya kami sebut sebaga ``Kembara Di Ujung Tamiang. Memang Ada jalur alternatif lainnya menggunakan perahu melalui Sungai Tamiang, tetapi memiliki resiko yang jauh lebih berbahaya, apa lagi dimusim hujan kondisi air sungaipun banjir dan berarus deras, banyak sudah yang menjadi korbannya, oleh karenanya masyarakat lebih banyak menggunakan jalur darat walupun Berat.