[Banda Aceh | Yakub] Wuquf (wukuf) sebagai puncak haji, sedang dinanti jamaah di Tanah Suci. Juga oleh jamaah asal Aceh, pada Rabu (23 September/9 Dzulhijjah), saat saudaranya sedang meugang di Aceh.
Bersama jamaah haji nusantara, kini jamaah lakukan tarwiyah, sebelum ke ‘Arafah. Mengingat banyak jamaah yang risiko tinggi (risti), lebih dari 60 persen, maka tarwiyah tahun ini menurun, hanya 12.434 jamaah.
Tarwiyah (dari kata kerja rawa-yarwi) itu, berarti menceritakan, meriwayatkan, mengantarkan, mengairi, dan memberi minum. Dikatakan tarwiyah karena setidaknya ada dua alasan.
Pertama, hari ke 8 Dzulhijjah ini jamaah calon haji setelah berihram, mereka menuju Mina untuk bermalam yang keesokan harinya baru menuju ‘Arafah. Ketika di Mina, dulunya para haji menyiapkan air sebagai bekal untuk berwukuf di ‘Arafah esok. Jadi, persiapan untuk wukuf dirasakan lebih utama, karena wukuf di Arafah merupakan rukun haji. Menyiapkan air diistilahkan dengan yatarawwauna yang asal kata yang sama dengan tarwiyyah.
Kedua, dalam sejarah berabad-abad silam, di malam hari ke 8 Dzulhjjah Nabi Ibrahim AS bermimpi pertama kali dari Allah untuk menyembelih anaknya Isma’il as. Ketika mendapat mimpi itu, Khalilullah ‘bertanya-tanya’ kepada dirinya apakah itu mimpi dari Allah atau dari syaithan? ‘Tanya-tanya’ itu diistilahkan dengan bahasa yurawwi dan itu sebabnya kemudian dinamakan hari tarwiyyah.
Ketika mimpi itu datang untuk kedua kalinya di malam hari Arafah, Nabi Ibrahim as akhirnya yakin kalau itu berita dari Allah Swt. Dan yakin berarti adanya pengetahuan, yang dalam bahasa Arab disebut ‘arafa. Karena itulah hari ke 9 dzulhijjah dinamakan hari ‘Arafah.
Di tanah air, saudara jamaah juga terus berdoa, bagi jamaah. Zikir bersama bahkan digelar Senin (21/9) di Taman Sari, buat jamaah. Juga saat berangkat, selain berdoa juga membantu menurut jadwalnya, baik di kampung, di jalan, maupun di embarkasi.
Nah, saat membantu dan dampingi keberangkatan 9 kelompok terbang (kloter) sejak Senin-Kamis (7 hingga 17 September) lalu, ada ‘kisah awam’ dari sebagian petugas, di balik aula, di balik suksesnya keberangkatan.
Memang sukses haji harus dinilai dari semua lini. Sejak peusijuek, dari tingkat daerah, hingga kepulangan nanti. Juga jasa pekerja yang kadang luput dari jepretan kamera dan bidikan wartawan, misalnya: sopir malam, adiministrasi jamaah, khadam masjid, tim talbiyah, MC acara, sekretariat, sekuriti, pelayan kamar jamaah, penjaga kamar mandi, penyaji makanan, tim medis, pengangkat barang, penyapu, tukang tempel foto baitul asyi, penjaga kafe dan penyedia kopi di aula.
Kloter demi kloter berangkat, ada yang open seat. Saat mengetahui ada kursi kosong, ada porlep (pekerja dengan baju biru, yang biasa sibuk jika datang jamaah di asrama, dan angkat koper berat), menyapa jamaah, “Teungku neu ba lon u Makkah, hana bangku, dong pih jeuet.“ Teungku bawa saja saya ke Makkah, jika tak ada bangku, berdiri pun jadi, begitu kira-kira artinya.
Beralasan dia ‘minta ikut’ ke Arab, daripada kosong seat (open seat), karena panjangnya daftar antrian, di samping mahalnya ongkos ke sana.
“Lon di bangku tempe pih jeuet,” balas yang lain sambil angkat koper di samping aula Arafah. Artinya, jika tak ada kursi dalam pesawat, duduk di ‘banku tempel’ pun boleh. Dia memang membayangkan ada bangku tempe dalam pesawat sebagaimana dalam bus atau L300, yang bawa jamaah Aceh Barat.
Saat sebagian kawan dari Kemenag (Seksi PHU Kankemenag) yang belum pulang ke daerah, padahal jamaah yang diantarnya sudah terbang ke awan, saat ditanyai ‘kapan balik ke kampung’, dia menjawab canda, “Lonpreh bangku kosong, hana pat duek, dong pih jeuet.’
Ya juga ya, jika ada bangku pesawat kosong (jamaah yang tiba-tiba membatalkan diri, atau sakit) meski ada jamaah yang stand by di embarkasi, dan siap mengisi seat yang kosong, atau diisi oleh petugas lapangan seperti yang di atas tadi, yang ingin dan cuma mimpi naik haji, yang rela berdiri meski ada bangku kosong. []