[Banda Aceh | Yakub] Dalam diskusi seputar kerukunan umat beragama, Muhammad Sahlan Hanafiah MSi, satu trainer UIN Ar-Raniry dalam hal 'resolusi konflik', sempat menyinggung efek dari liarnya isu di media sosial, yang sebagiannya bahkan 'mengajak' untuk retakkan kerukunan selama ini.
Hal ini ramai, lantaran pengirim pesan dan penerima tidak saling mengenal, karena kebenaran dan emosi pengirimnya tidak diketahui persisnya.
"Pesannya sampai via medsos, fisiknya tidak pernah ketemu," ujar Sahlan, penulis dan pakar 'perdamaian', dalam Focus Group Discussin (FGD), di Grand Nanggroe Banda Aceh. FGD itu bertajuk, "Merajut Perbedaan sebagai Rahmat tanpa Saling Menistakan".
Menurutnya, WA misalnya itu banyak ke sisi bisnisnya. Ada ajakan yang menyebarkan ke pihak lain, dengan misi bisnis. Tamsilannya, kasus di Jakarta misalnya cepat menjalar ke daerah, sebagaimana penyakit di tubuh, yang menjalar ke organ lain.
Peserta diskusi, yang merangkap pembecara antara lain ada Muhammad Sahlan Hanafiah dan Irwan Adabi MA, Dosen Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry; Mahasiswa Sosiologi Agama UIN dari Singkil dan Kota Subulussalam; Mahasiswa FKM Unsyiah; Pemuda Lintas Agama; Teuku Azhar Lc yang lama merantau hingga ke Mesir dan 'Aborigin' yang juga Pimpinan Baitul Arqam Sibreh; Pengurus FKUB dan mitra media.
"Kita ini umat yang moderat, ummatan wasatha, tidak ekstrem kanan dan ekstrem kiri. TIdak menjelekkan orang, dan tidak mentah-mentah mengiyakan ajakan orang," isyarat Dr Hj Nurjanah Ismail MA, bagi umat Islam, di aula Grand Aceh Hotel Banda Aceh.
"Maunya kita umat, atau umat mana pun, mari bertingkah laku dengan tingkah laku yang baik," sambungnya, dalam FGD, akhir tahun, Sabtu (31/12). Dalam diskusi, direportasekan juga sisi lain dari konflik Singkil, dari mahasiswa asal sekitar Simpang Kanan. Jika konflik, pandangan pemeluk agama yang berkonflik, sudah ikut tereduksi, hingga saling prasangka.
Salah satu peserta, dari pemuda Islam bahkan membandingkan potret kerukunan di Aceh, Banda Aceh, yang tidak ada di daerah lain. Di gampong Mulia Banda Aceh, itu benar-benar 'mulia' bagi umat mana pun. Di sana bahkan aman bagi Tionghoa, bersama rumah sembahyangnya, juga umat agama lain, yang nonmuslim di sana.
"Terminal paling aman, yaitu di Aceh, aman juga bagi perempuan," simpul Sahlan, setelah mencontohkan amannya barang yang tertinggal di Bandara SIM, misalnya, dan testemoni pemuda lintas agama, dari Hindu. Simpulnya lagi, hal di luar agamalah yang jadi masalah. Tokoh juga bagian masalah.
Salah satu peserta dari Harian Waspada, Tgk T Mansursyah, bahkan mengutip komentar satu pelanggan di Peunayong yang tidak sepakat dengan sikap Ahok. Wartawan itu juga mengupas dan ajakan perlunya akhlak, bagi umat Islam dengan akhlak Nabinya, Muhammad SAW.
Solusinya, antara lain pahami lingkungan. "Manusia anak lingkungan," kata Ibnu Khaldun, kutip Tgk Azhar Lc. Panjangkan antene warga kian manyang lagi, seperti warga Mesir menanggapi perbedaan, antar mazhab, antar sekte. Ajaknya lagi, awasi komunis!
"Panjangkan antene lagi, belajar lagi, jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan, apalagi suka nge-cap," tutup M Sahlan, yang ditutup kemudian oleh Kasubbag Inmas, dengan ajakan, mari pupuk toleransi, saling menghargai. []