[Kanwil | Muhammad Yakub Yahya] Dalam paparan awal, saat membuka Focus Group Discussion (FDG) bertajuk “Ada Apa di Balk Kasus Singkil”, Kakanwil Kemenag Aceh Drs H M Daud Pakeh jelaskan aspek-aspek yang harus dipahami dalam mencari solusi kasus Singkil.
Kakanwil, yang diwakili Kabid Penyelenggaran Haji dan Umrah (PHU), yang juga mantan Kakandepag Aceh Singkil, Drs H Herman MSc MA, sampaikan bahwa dalam menganalisa dan ambil langkah di Singkil, amati dengan banyak sisi (perspektif).
“Kasus Singkil itu ada ‘banyak’ pemicu, jangan lihat kasuistis itu dalam satu perspektif saja. Jadi, kita berdiskusi dalam FDG ini, dalam bingkai Islam Rahmatan lil ’alamin,“ kata Kabid PHU di hadapan peserta dari jajaran Kanwil, FKUB, Bintal Kodam, Intel Polda, Kesbangpol Linmas, akademisi, Subbag Hukum dan KUB, Pembimas, YARA, pers, dan Ormas/LSM. Safaruddin dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh masuk banyak sampaikan ‘temuan baru’ yang mengejutkan.
“Masalah Singkil bukan hanya soal agama, juga geografis dll. Singkil itu dekat ke Medan, jamaah haji saja, sebelum musim haji ini, banyak lewat Medan, karena di sana ada kesamaan: makanan, bahasa dan lainnya,” lanjut Kabid PHU, H Herman yang juga mantan Kakakdepag Aceh Jaya, di Aula Kanwil, dalam acara yang juga banyak dibahani dari Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) H Ziauddin SAg. Hadir dalam acara sejumlah wartawan dari KWPSI dan budayawan juga.
Lanjut Herman MSc, dalam acara yang dimoderatorkan Drs Hasan Basri M Nur MA bahwa, Aceh Singkil beda dengan Aceh Tamiang, yang berbatasan dengan hutan, baru ke Sumut. Namun di Singkil, batas daerah langsung dengan desa tetangga di provinsi desa. Dalam pemahaman sekilas, undung-undung yang bukan kategori geraja, itu masuk sisi psikologis bagi mereka.
Menurutnya, sisi politik ada, ada juga masalah ekonominya. Fokus mereka pada kebun sawit yang ternyata 80 % itu, dikuasai perusahaan, bukan masyarakat. Masyarakat kesulitan mendapat pekerjaan, sehingga mudah ‘dipanasi’. Dulu Singkil itu, ‘tersisih’ dari Aceh Selatan. Namun usai mandiri (mekar), jadi daerah yang diperebutkan, karena kebun yang kian menggiurkan itu.
Lanjutnya, kepedulian kita pada dakwah perbatasan juga penting, bukan seperti selama ini. “Di Singkil, ada da’i perbatasan, KTP-nya Singkil, tapi dia kedapatan sering di Banda Aceh. Di ditugaskan di Danau Paris, tapi di sekolah sana, yang mengajar agama Islam itu, non muslim. Meski dia guru Muslim sudah sertifikasi, tapi tak mau mengajar di perbatasan. Saya pernah teliti dan dua tahun bertugas di sana,” kata H Herman, sebelum Kabag PHU adalah Kakandepag Singkil.
Sementara dari Ketua FKUB H Ziauddin SAg jelaskan, “Kami duduki posisi FKUB kini, saat kondisi yang ‘tidak rukun’, terutama setahun belakangan. FKUB dihujani isu tentang Aceh yang intoleransi, ‘tamu’ yang ‘datang’ terakhir dari Kedubes Belanda. Saat kita menjawab, dan mereka pahami, ‘ternyata kenyataannya tak seperti yang digembar-gemborkan media’.”
“Apa yang ada di museum Belanda, ada satu gereja yang ditingalkan, kini bertambah, bukankah itu toleransi sekali?” jelas dan tanya H Ziauddin, mantan Kadis SI Aceh, dan mantan Sekretariat Kanwil Depag Aceh. Katanya, mereka ulurkan tangan, karena iba pada warga, maka ada yang menganalisa dan mengambil kesempatan (misal untuk misi), di Singkil.
“Ada masalah dalam kehidupan antaragama, ada kerawanan dalam: soal rumah ibadah, dawah agama, persoalan batuan, peringatan hari besar, dan perkawinan. Kita ingin damai-damai saja. Ketika agama lain ‘masuk’, Aceh aman saja, kenapa sekarang?” lanjutnya.
Prof DR A Hamid Sarong SH MHum jelaskan soal surat bupati, yang terus terang katanya dia yang ‘bawa pulang’ surat Bupati 2012, yang isyaratnya: ‘kalau terpilih akan mudahkan pendirian gereja’. “Bupati di sini, yang meletakkan bom waktu. Pembinaan dari tokoh agama, siapa yang kasih tahu di bawah gereja ada surga,” tanya Prof Hamid.
“Jangan seperti pemadam, jika meledak datang ramai-ramai,” katanya. Safaruddin dari YARA, dipersilakan oleh MC, pertanyakan sisi hukum, akan ‘surat bupati’ itu. Dan YARA akan melanjutkan ke meja hukum.
Lalu ada paparan juga dari Kabintal Letkol Ahmad Husen, dari sisi pertahanan. Pihak Pangdam IM itu, umpamakan target musuh pada RI, kayak “Makan roti, pinggir dulu baru ke tengah,” maknanya kasus Tolikara dan Singkil, akan masuk ke pusat Indonesia. “Kami melihat dari kacamata pertahanan, kita harus melihat dari perkembangan nasional dan internasional. Dengan ‘teori makan roti, pinggri dulu, baru ke tengah’ itu. Ada yang tak ingin Aceh tenang. Sejak zaman Mukti Ali, kerukunan intern, antar, dan umat dengan pemerintah, itu talah ada. Guru ulama soko guru kami. Pembinaan harus ‘sarat’ padat di bawah, agar tak mudah dipancing oleh orang lain,” lanjut Letkol.
Pembimas Masyarakat (Pembimas) Katholik Baron Ferryson Pandiangan SAg, sampaikan, bahwa sebelum kejadian, katanya, “Kami pun telah awasi, tapi meledak juga,” dan dia sudah ingatkan warganya, “Jangan ada kekerasan, harus tanpa kekerasan. Katolik ajarkan, ‘gereja boleh roboh, asal rohani tidak roboh’.
Menurut Baron. “Saya yakin ada komunikasi yang tidak nyambung, ada ‘masalah lain’ di Singkil, ada soal keluarga/marga-marga,” lanjut Baron L, dalam acara yang diprakarsai Subbag Hukum dan KUB di bawah Kasubbag-nya H Juniazi MPd.
Lalu, Idaman Sembiring (dokter hewan di Banda Aceh), tokoh Protestan ajak warga, ke depan jangan lagi ada tema: ‘Ada Apa di Balik Kasus Singkil’, jangan ada tema ‘Singkil Heboh lagi’. Tapi mari kita bahas tema lain, soal babi, merumput dengan ular, singa, kambing, dan lainnya, rukun. Demikian juga ajakan dari Arief Ramdhan MA, dari Serambi Indonesia, yang banyak kaitkan berita dengan ketakpekaan Bupati.
“Kita telah tulis sebelum ribut, bom waktu di Singkil, tapi Bupati kayak tidak baca koran,“ sindirnya. “Masalah rupanya banyak di Bupatinya…,” ulang moderator Hasan Basri, dari Fakultas Dakwah UIN.
DR T Safir Iskandar Wijaya MA, Dosen Teologi UIN, yang aktif di FKUB era 80-an, sampaikan tema teologi bagi agama-agama, sejarah kasih sayang dalam agama. “Semua ingin mengklaim ‘dia lebih benar’, tapi semua muaranya sama: ingin ‘kasih’,” katanya dalam acara yang juga hadir DR Nurjanah Ismail MA dan lainnya. []