[Banda Aceh| Muhammad Yakub Yahya] Setelah ‘siaaap gerak…!’ dan ‘kepada Pembina Apel…, hormaaat gerak…!’ lalu ‘istirahat di tempaaat,gerak…!’ yang diaba-abakan oleh Komandan Apel, salah satu staf Kanwil, apel pagi Senin (17/2) pun, dimulai.
Di halaman Kanwil yang kian asri dengan batubata tapak kuda, peserta apel sudah penuh, tentu minus dengan beberapa mitra kerja yang sudah DL (Dinas Luar) ke Aceh Barat.
Absen manual untuk apel pun, sudah di teken masing-masing aparatur, di pagi 17 Rabiul Akhir itu, kecuali bagi yang agak terlambat, yang akan menandatangani usai apel.
Fingerprint pun sudah ‘dicilet’, baik yang PNS maupun yang honorer, tentu sejak pukul 07.15 – 08.00 WIB, kecuali yang agak terlambat, akan meneken dan menekan usai apel.
Dan, suara ‘kakak cantik’ dalam sidik jari itu, akan menjawab, usai kita tempelkan jempol atau telunjuk atau jari tengah atau jari manis atau kelingking atau ‘jari lainnya’, ‘Silakan coba lagi…, atau ‘terima kasih…, dengan suara merdunya.
Terus, peserta apel, termasuk para Kabid, Pembimas, para Kasubbag, dan para Kasi yang belum ke Meulaboh (untuk acara Gerak Jalan Kerukunan bersama Menag RI), tertib menyimak amanat apel.
Secara garis besar ada dua poin pesan Kabid (kepala Bidang) Urais dan Binsyar (Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariat) Kanwil Kementerian Agama Aceh, Drs H Ridwan Qari, termasuk konsep atau syarat kerukunan.
Pertama, kata Kabid Urais, sambil melihat baliho besar yang didesain Subbag Inmas (Kharul Umami dan kawan-kawan) di sisi kirinya atau di sebelah kanan peserta apel, yang di baliho itu ‘bertahta’ Pak Menteri (sisi kanan) dan Pak Kakanwil (sisi kiri), mari kita dukung penegerian STAI di Pantai Barat – Selatan. Menag RI Dr (Hc) Suryadharma Ali MSi akan ke Meulaboh besok (18/2), dan salah satu agendanya ialah untuk proses penegerian STAIN Tgk Chik Dirundeng.
“Di Pantai Utara dan Timur Aceh, serta Banda Aceh, sudah ada banyak PT (Perguruan Tinggi) yang negeri, sedangkan di pantai Barat – Selatan belum ada yang negeri. Pendidikan bagian penting kehidupan warga Aceh,” ujar Kabid, di awal amanat.
Kedua, Kabid menyampaikan persyaratan kita agar bisa tetap rukun, supaya ada jalinan kerukunan. “Sebenarnya dalam ajaran tak ada persoalan dengan kerukunan,” sambungnya lagi, sambil mengutip sebuah ayat, dalam QS Yunus 99:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Kabid yang mengasuh ‘Konsultasi Fiqh’ di Majalah Santunan dan kontributor Bahasa Gayo untuk rubrik ‘Bahasa di Aceh’, mengisyaratkan bahwa penting ‘gerakan kerukunan’, tapi ada yang lebih penting dari sekadar show dan gerak jalan kerukunan, yaitu terpenuhi empat persyaratan:
1). Adanya Al-Musawah atau equality, atau persamaan dalam makna kemanusiaan, yang tidak dibedakan oleh etnik dan lainnya. Di sinilah indahnya perbedaan dan keragaman, yang sejalan dengan maksud ayat di atas.
2). Adanya Al-Hurriyah atau Kemerdekaan dalam artian kita bebas mengembangkan kepribadian masing-masing ke arah yang lebih baik dan dinamis. Siapa pun tidak dikekang untuk kebebasan kepribadiannya yang baik, atas alasan karena berbeda.
3). Adanya Komunikasi Dialogis dalam rangka memupuk semangat saling memahami dan saling mengerti satu sama lain.
4). Adanya Supremasi Hukum di atas semua perbedaan dan keragaman kita. Jadi, dalam penegakan hukum, tidak ada beda lantaran ia ‘anak tongkol’ dan ‘putra kakap’ atau ‘anak teri’, tapi semua sama di depan hukum. Dengan itu baru kerukunan akan langgeng… [lia/faj/jua]