Beberapa waktu yang berlalu Aceh disebutkan bahwa indeks pendidikannya ke dua dari terbawah dalam perbandingan nasional. Keadaan yang jauh lebih baik dari sebuah propinsi yang juga dianggap tertinggal, Propinsi Papua. Kenyataan ini dalam kacamata penulis jelas tidak bisa diamini. Karena pendidikan kita di Aceh juga di emban oleh Dayah, di mana dayah dalam konteks pendidikan nasional lebih di anggap sebagai pendidikan informal. Untuk konteks Aceh sebagai sebuah propinsi yang memiliki sejarah panjang pendidikan dayah, kenyataan ini sungguh sangat merugikan apalagi mengingat peran dayah dalam pendidikan kita di Aceh cukup dominan baik secara jumlah maupun kualitas.Namun diluar masalah indeks tersebut ada sebuah masalah dimana pendidikan di zaman orde baru maupun di orde lama dianggap lebih berkualitas dibandingkan zaman saat ini, yang saya suka menyebutnya zaman “masa gituâ€. Kenyataan ini semakin diperparah dengan kebanyakan murid di Aceh sangat malas mengerjakan PR dan sangat senang jika sekolah libur. Jika kita merasa dengan pendidikan maka Aceh akan cepat berkembang, lalu apa jadinya jika ternyata generasi muda yang juga disebut generasi masa depan kita sangat takut diberikan PR atau mereka takut kelihatan “bodohâ€(Sebuah bahasa yang biasa bersiweran di zaman sekarang). Generasi sekarang takut dengan ujian, takut dengan kuis, takut dengan tugas, dan semua hal yang berbau pendidikan cenderung tidak disukai seolah mereka adalah hantu-hantu yang membuat mereka harus tidak suka, benci atau memang takut dengan gurunya. Belum lagi dengan masalah yang ditimbulkan oleh siswa yang lambat belajar dan kemudian dianggap “bodoh†dan kemudian mereka mencari alternatif eksistensi diri dengan kenakalan-kenakalan remaja.Ada apa dengan pendidikan kita? Apakah pendidikan kita telah berubah menjadi Hantu? Ataukah Gurulah hantunya yang telah menakuti siswa sehingga mereka takut berkembang, takut untuk menikmati indahnya belajar itu. Padahal guru kita telah diberikan tunjangan yang cukup. Apa yang kurang atau apa yang salah Bu Guru dan Pak Guru?Dalam pandangan subjektif saya, pendidikan masa lalu lebih menekankan didik daripada transfer ilmu. Pendidikan masa lalu lebih melihat Guru adalah amanah dan tanggung jawab masa depan. Sedangkan pendidikan masa kini lebih melihat Guru adalah profesi jabatan fungsional yang berkewajiban mengajar dan berkonsekuensi mendapat gaji dan tunjangan lainnya. Jika guru di zaman lalu rela mengulang jika anak didiknya masih belum mengerti hingga kadang pendidikannya cenderung tak sampai target pengajaran, maka guru sekarang rela mempercepat agar target pengajaran tidak tertinggal walau murid tidak mengerti. Hal yang paling mendasar dalam kajian kritis pendidikan di Aceh sekarang, Guru masa kini sudah jarang yang ingin membuat siswanya berebut menyenangi ilmu yang diajarkannya, karena sesungguhnya pendidikan itu sangat menyenangkan dan inilah yang mulai hilang.Di sisi lain kenakalan siswa dalam pandangan subjektif penulis lebih banyak dikarenakan kurangnya ruang eksistensi siswa sehingga mereka mencari ruang alternatif eksistensi dan kebetulan yang mereka temukan adalah hal yang tidak baik. Bagi penulis keberadaan aneka kreativitas, unit exstra kurikuler di sekolah bukan sekedar ritual namun sesungguhnya amat sangat penting. Ini karena siswa adalah generasi muda yang secara biologis sedang dalam puncak-puncaknya energi hingga jika tidak ada ruang mereka menyalurkannya maka mereka akan jelas mencari alternatif.Jika mereka tidak bisa berprestasi di sekolah dalam hal pendidikan formal paling tidak mereka masih bisa berbangga sebagai juara bulu tangkis, atau juara catur, atau juara bola. Namun anehnya sekarang pelajaran olahraga kadang hanya sekedar buat refresing sajaSuatu ketika penulis pernah berjumpa dengan sosok muda yang melahirkan sebuah MAN biasa di kota Jogjakarta menjadi MAN MODEL NASIONAL. Dalam kacamata beliau, agar siswa pintar maka siswa harus dibuat rajin membaca buku. Karena buku banyak di perpustakaan dan agar siswa berkenan ke perpustakaan, diputuskanlah ruang guru sebagai ruang yang paling indah di sekolah menjadi ruang perpustakaan. Namun inovasi ini tidak berhenti di sini. Perpustakaan sudah indah, lalu bagaimana supaya siswa mau ke perpustakaan? Lalu dirangsanglah siswa dengan aneka bacaan gaul, seperti majalah bola, majalah anak muda, majalah motor, dan juga aneka komik yang intinya untuk menghadirkan siswa senang ke perpustakaan. Setelah siswa rajin ke perpustakaan lalu apakah mereka akan dibiarkan membaca majalah dan komik itu saja? Strategi berikutnya dijalankan. Tiga orang guru muda yang kreatif dan memang menggerakkan program ini dari awal ditunjuk untuk mengajar mata pelajaran muatan lokal. "Namun muatan lokal ini bukanlah belajar bahasa Jawa maupun Arab gundul tapi bedah buku yang kemudian dibuat menggantung; jika siswa ingin tahu kelanjutannya bisa mencari di perpustakaan, buku sekian halaman sekian," ujar beliau.Dari gerakan ini maka pada akhir tahun tahun pelajaran diadakanlah pentas seni dan kreatif siswa sekolah sebagai ruang mengekspresikan hasil baca buku yang selama ini sudah di tanam. Dan dari sinilah perubahan luar biasa tersebut muncul dan berubahlah MAN tersebut menjadi MAN MODEL NASIONAL. Untuk nama persis MAN ini tidak bisa penulis sebut, karena penulis lupa.Luar biasa, ternyata pendidikan harus direkayasa. Karena perubahan lebih baik tidak bisa dilakukan banyak orang tapi dilakukan oleh segelintir orang dengan momentum tentunya dukungan kepela sekolah ataupun instansi terkait. Jika gurunya yang bermasalah maka segenap yang peduli dengan masa pendidikan kita perlu merekayasa bagaimana guru menjadi efektif dalam mendidik dan juga menjadi role model bagi siswanya di sekolah. Dengan fakta ini maka kita jelas tidak bisa lagi menerima pendidikan hanya bersifat ritual “lage ata-ata soetâ€, karena ini berkaitan erat dengan masa depan anak cucu kita, masyarakat kita dan juga bangsa kita.Jika pupuk, 'hantu' yang membuat petani terkejut karena hasil panennya, semoga 'hantu' dalam pendidikan kita tidak lagi muncul dan pun jika muncul maknanya berubah menjadi sangat dicintai oleh siswa di sekolah kita. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Salam.[Penulis: Ibnu Muzab Ary, Staf Keuangan Kankemenag Kab. Aceh Timur]]
Tentang Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota. Alamat Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242