[Banda Aceh | Muhammad Yakub Yahya] Sejak 11-20 November di Museum UIN (depan Auditorium Ali Hasymy) sedang padat agenda rupanya, seperti Aceh Documentary Aceh Fetival II, Workshop Kebencanaan, dan book fair.
Selain konferensi intrnasional, ada bedah buku para tokoh. Misalnya karya DR Hasan Muhammad Di Tiro, bertajuk “Aceh di Mata Dunia” (Jumat pagi, 14/11). Sabtu pagi (15/11) sukses juga dibedah buku “Kebudayaan Tepi Laut”, karya tim yang selama ini rajin menerbitkan buku (kumpulan tulisan).
Sabtu siang (15/11), buku “Perjuangan Janda Mantan PM AM (Catatan Azimar, Istri dokter Muchtar Hasbi)” juga dibedah bersama Zainal Arifin M Nur (Serambi).
Buku yang bercover “Aceh: Kebudayaan Tepi Laut, dan Pembangunan”, disusun oleh tim, termasuk kami (Muhammad Yakub Yahya) dari Subbag Kemenag Aceh.
Bersama 19 kawan/tulisan (misalnya DR Adli Abdullah, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Teuku Muttaqin, Nab Bahany, dan Sulaiman Tripa), insya Allah memperkaya buku ‘adat dan budaya laut’, yang diterbitkan Banddar Publishing kerjasama dengan Kebijakan Perikanan (Unsyiah) itu. Buku ber-ISSN setebal 240 + xiv halaman itu, dikasih pengantar Rektor Unsyiah Prof DR Ir Samsul Rizal MEng.
Pusat Studi Hukum Adat Laot ini memang berlingkup: “kearifan lokal Aceh dan pembangunan perikanan dan kelautan”. Khusus tulisan kami (hal. 192-203), “Di Laut Kita Jaya, di Laut Kita Celaka” mereportasi kejadian keselamatan maritim, sejak Adam hingga era Jokowi.
“Tatkala Adam as dan Hawa ‘mendarat’ ke bumi, Aceh di Asia, Mesir di Afrika, Brazil di Amerika, dan daratan lainnya, pasti masih sunyi dari anak manusia. Jelang turun indatu (nenek moyang), kisah guru kami, setan menyerupai ular masuk ke surga dan menggoda nenek kita: ‘konsumsikan khuldi’, niscaya Anda berdua akan kekal. Namun tipu daya telah mengeluarkan kakek-nenek kita, ke bumi. Putra putri Adam pun lahir, besar dan nikah sesama, ada yang mukmin dan ada yang kafir,” awal isi dari subtema kami itu.
“Nabi pun lahir di Arab, dari jazirah Arab (Timur Tengah), tidak pernah dari Amerika atau nusantara ini. Nabi Idris as, mungkin termasuk mukmin yang mula-mula mendiami utara Afrika, Mesir. Kendati wilayah dakwah ‘nabi penjahit’ itu di benua yang ada Nil, piramida, dan mummi itu, tapi kuburan Idris bukan di Mesir, karena dia diangkat ke langit —menurut riwayat sahih— sebagaimana Isa bin Maryam as. Masa Idris dan nabi lain menebar misi kenabian dan risalah kerasulan, berimanlah beberapa generasi di utara Afrika. Hingga tibalah satu generasi, yang kembali kufur kepada Allah; yang senang memakai pikiran liarnya; memelihara sihir melawan Nabi; calon generasi Firaun yang mendebat Eksistensi Tuhan, melawan mukjizat. Padahal dia sendiri tewas di Laut Merah, celaka dalam air, zat yang paling lunak,” lanjutnya.
“Benua-benua dan kepulauan belum ramai, tapi bah masa Nabi Nuh as amat dahsyat, hingga menenggelamkan wajah bumi, juga memusnahkan semua orang kafir di daratan mana pun, juga Afrika. Kurang dari 100 mukmin, Allah selamatkan di atas perahu kayu, ‘kapal pesiar’ pertama, bersama hewan yang berpasang-pasangan, jantan-betina. Termasuk itik, merpati, anjing, dan babi, orang shalih kira-kira lima bulan tidak menginjak bumi, hingga perahu melabuh atas bukit Judi (QS. Hud (11) ayat 44), sekitar Armenia. Kan’an —putra Nuh yang durhaka, ayah Namruz— ikut ditelan banjir bersama rekan yang angkuh, meskipun ia putra Rasul, meski mendaki dan menaiki ke bukit tinggi. Lain nasibnya dengan putra Nuh yang taat yang selamat —dalam cerita, itulah Sam (ayah Hud as), Ham, dan Yafiz. Yang pertama (Sam) hijrah ke timur, ke arah matahari terbit. Allah Maha Merancang dan Mendesain semua suku, bangsa, dan ras, hingga lahirlah postur Asia yang kuning langsat dan sawo matang, bersama bulu dan rambut yang lumayan lebat. Termasuk orang Aceh di Sumatera,” penggalan tulisannya.
Lebih lanjut, “Kisah laut lebih menawan dan heroik. Ada banyak jaringan sejarah Afrika —keturunan Ham bin Nuh— dengan Aceh, kampung kita, keturunan Sam bin Nuh. Putri sulung Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yakni Sulthanah Safiatuddin (kakak Meurah Pupok), juga beribukan jelita Afrika nan hitam manis, menurut Drs Tgk Ameer Hamzah, dalam ceramah shubuh di Masjid Raya Baiturrahman (1/7/2010).”
“Ketika Iskandar Muda menjadi bagian dari Angkatan Laut Raja Aceh, gabungan Aceh-Turki yang akrab melabuh di lautan dan merapat di pelabuhan, dipertemukan dengan gadis Afrika, hingga menjadi permaisurinya, masya Allah. Jadi, dulu seorang gadis Afrika menyumbangkan seorang Sulthanah, Sri Ratu Safiatuddin (1641-1675) —istri Iskandar Tsani (1636-1641) itu, lewat petualangan dan perjuangan, tapi kini orang Aceh cuma asyik menyumbangkan sangak dan raheung, misal dengan nonton bola ke Afrika (Afsel) empat tahun lalu (2014 Brazil), atau hanya menonton saudara seiman dibantai, bagaikan orang yang asyik sangak deungo haba katok atau lagee urueng deungo hikayat uleue (bagaikan pendengar hikayat ular), tanpa berbuat apa-apa untuk jazirah Arab. Doa kedamaian, salah cara kita membantu mereka…,” sambungannya.
“Saat kita di Aceh sedang eforia, menikmati ‘milad damai’ MoU Helsinki ke 9 (15 Agustus 2014), saudara kita di Kairo lagi dibantai. Saat kita rayakan HUT RI ke 69 (17 Agustus 2014), Mesir sebagai negara yang pertama sekali ikrarkan kemerdekaan kita, terus bergolak. Bulan depan ‘milad tsunami’ ke 10, ‘ultah doa dan airmata’,” begitu isinya.
“...Jadi, sama saja, di daratan atau di lautan, kita jangan mencela dan mengkhianati hukumnya, bersahabat dengan ‘penghuninya’, biar kita tak celaka dan tersandera, tapi selamat dan kaya hingga anak cucu. Kisah Panglima Tibang, Portugis, perompak, perahu terbalik, penjajahan lewat pantai, dan illegal fishing; serta Iskandar Muda dan Malahayati, ialah secuil kisah kecelakaan dan kejajayaan, di laut kita, yang oleh Pemerintah Jokowi, kini lebih menfokuskan pada misi kemaritiman/kebaharian dalam misi dari ‘negara besar ini’, itu,” pungkasnya. []