[Singkawang | Farhan] Hari ke tiga berada di Kalimantan Barat (Kalbar), rombongan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Aceh lakukan study banding ke Kota Singkawang, Jum’at (27/11). Kunjungan ke kota yang berpenduduk 245.285 jiwa tersebut dalam rangka melihat dan menggali informasi pengelolaan keberagaman agama, suku dan budaya Singkawang sehingga dapat meraih predikat Tingkat Nasional sebagai Kota Toleransi Terbaik Ke Tiga pada tanggal 16 November 2015 berdasarkan hasil penelitian indeks Kota toleran oleh Lembaga Penelitian Setara Institute.
Setelah menempuh perjalanan pesisir pantai dan pegunungan selama empat jam dari Pontianak, rombongan Aceh yang dipimpin Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, tiba pukul 13.00 Wib dan langsung dijamu makan siang oleh Kepala Kantor Kementerian Agama dan Ketua FKUB Kota Singkawang beserta jajarannya di Restoran Taman Sari. Usai menikmati hidangan kuliner, seluruh peserta langsung diboyong menuju Kantor Sekber FKUB Singkawang yang telah dinantikan Walikota Singkawang beserta jajarannya.
Dalam pertemuan silaturrahmi dua daerah tersebut, Walikota Singkawang, Awang Ishak merasa tersanjung dan bangga atas kehadiran rombongan Aceh, yang telah mempromosikan Kota Singkawang sebagai tempat tujuan study bandingnya. Dalam suasana santai, sosok humoris tersebut menjelaskan sejarah singkat Kota Singkawang yang menurutnya Singkawang memiliki kepanjangan dari Singgah Kasih Uang, hingga membuat seluruh peserta tertawa, larut dalam canda tawa. “Kami persilahkan Bapak-Ibu nantinya melihat sendiri rumah ibadat yang ada disini dan silahkan nikmati objek wisata yang ada di Singkawang yang terkenal dengan wisata alamnya” tutur Walikota.
Mendengar sambutan hangat sang Walikota, Kakanwil Kemenag Aceh, Drs. H. M. Daud Pakeh, ungkapkan terima kasih mendalam atas penyambutan kehadiran rombongan Aceh. Selain itu, Kakanwil juga menjelaskan secara singkat kondisi Aceh yang memiliki kehidupan kerukunan beragama yang rukun dan harmonis, termasuk kondisi Aceh sekarang yang sudah kondusif dan aman pasca tsunami dan penandatangan MoU Helsinki. “Di Aceh tidak pernah terjadi konflik antar agama, yang terjadi selama ini, termasuk kasus di Aceh Singkil, terjadi karena konflik social dan politik”. “Untuk itu kami mengundang Walikota Singkawang dan FKUB Singkawang untuk mengunjungi Aceh yang terkenal dengan Syari’at Islamnya” ungkap Kakanwil sembari mempromosikan wisata Aceh.
Kunjungan rombongan Aceh dilanjutkan dengan menyaksikan perkembangan rumah ibadat Kota Singkawang. Hampir setiap sudut kota terlihat Klenteng dan Vihara. Ini sesuai dengan julukannya sebagai Hongkongnya Indonesia dan Kota Seribu Vihara/Klenteng. Kehidupan masyarakat yang harmonis dalam multi etnis dengan etnis terbesarnya yakni Tionghoa (42 %), Melayu dan Dayak terlihat jelas dalam pengamatan rombongan.
Selama rombongan berada di Kota Singkawang yang menurut versi bahasa Cina ‘San Kew Jong’ yang artinya gunung, mulut, lautan sedangkan menurut versi Melayu, Singkawang merupakan nama tanaman “Tengkawang” yang terdapat diwilayah hutan tropis, rombongan Aceh disambut dengan ramah, tidak ada pembatasan dan perbedaan yang ditunjukkan masyarakat Singkawang baik agama, suku dan ras.
Menurut cerita dari masyarakat, dahulunya Singkawang merupakan bagian Kerajaan Sambas yang lebih dikenal sebagai koloni cina pada masa kongsi penambang emas berkuasa dengan Monterado sebagai pusat kekuasaan para penambang emas berkuasa. Pada masa Belanda dan Jepang berkuasa di Indonesia, Singkawang ditetapkan sebagai sebuah kewedanan dibawah Residensi Kalimantan Bagian Barat dengan Ibukota Pontianak. Pada masa Belanda-Jepang itu lah pembangunan pelabuhan dan Jalan berkembang pesat hingga sekarang terlihat jelas pelabuhan internasionalnya.