CARI
Rekomendasi Keywords:
  • Azhari
  • Kakanwil
  • Hari Santri
  • Halal
  • Islam
  • Madrasah
  • Pesantren

Rumah Cut Nyak Dhien Ramai Sabtu - Ahad

Image Description
Inmas Aceh
  • Penulis
  • Dilihat 1209
Senin, 9 Juni 2014
Featured Image

[Lampisang | Muhammad Yakub YahyaSekitar 1300-an murid dan walimurid TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran) Plus Baiturrahman Banda Aceh, Ahad (8/6), kunjungi Rumah Cut Nyak Dhien. Sebelum ber-HB3 ke Pantai Ritting Lhoknga, TPQ Plus yang berulang tahun ke 18 itu,  adakan studi sejarah ke Rumah Pahlawan Nasional, dan istri Teuku Umar kawasan Lampisang, Aceh Besar itu. 

Anak-anak senang naik turun kamar dan tangga Rumoh Ache yang besar itu. "Ramai tamu, juga anak TK yang kunjungi rumah ini, pada Sabtu dan Minggu (hari Ahad)," jelas Asiah, penjaga, honorer Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemkab Aceh Besar.

Ahad kemarin, dalam momen HB3 (Hari Belajar, Bermain, dan Beramal) dan Tasyakkur ke 17, giliran tamu dari Santri, Walisantri, dan Ustadz TPQ Plus Baiturrahman.

Kemudian rombongan dengan delapan Damri dan 60mobil itu rihlah atau piknik tahunan, ke Pantai Ritting, Jalan Banda Aceh – Lhoknga, Km 21 (lewat PT SAI).

Dalam paparan dari penjaga, juga bisa dibaca dalam tulisan-tulisan di dinding rumah, diceritakan bahwa, aura kewanitaan dari Pahlawan Nasional ini, telah melahirkan segenap kewibawaannya. Sehinga beliau disegani kawan dan ditakuti pihak lawan.

Kecerdasan dari sosok menawan, Cut Nyak Dhien, yang lahir di Aceh Besar pada 1848 ini, kian menonjol dalam kesehariannya. Pribadinya lembut, tabah, dan tawakkal. Ini berkat didikan di usia remajanya, tentang agama, adat, dan etika. Termasuk ketaatan pada orang tua dan suami, dan tata bermasyarakat.

Kepandaian putri dari seorang ibu bangsawan dari Lampagar Aceh Besar ini, sungguh  terandalkan dalam kalangan berdarah biru. Kendatipun tanpa istana. Tentu saja beliau juga diperhitungkan dalam kalangan masyarakat Aceh, dan dalam kacamata para penjajah. Dari Barat pula biang kolonialisme yang telah memprovokasi bangsa-bangsa di Timur yang mayoritas muslim, seperti Aceh.

Wanita yang berhati baja yang dicatat dengan tinta emas di samping yang lainnya, bernama indah Cut Nyak Dhien. Istri Teuku Umar itu, lebih aktif dan berperan besar dalam perang dengan kolonial. Kehadiran paksa Belanda ke sini, telah menyulut perang besar sejak 1873, setelah semula orang asing tersebut (hanya) berdagang di pesisir Selat Malaka. Mereka merampok dan merompak kapal-kapal orang Aceh juga kapal asing, misalnya kasus di kawasan Pidie.  

Adalah Cut Nyak Dhien--menurut Zentgraaff dalam buku Atjeh—terekam sangat piawai dalam mengomandoi perlawanan sengit melawan Belanda dalam sebagian babak Perang Aceh (1873-1942). Setelah Teuku Umar (suaminya yang kedua) meninggal, beliau mengambil alih komandan perang Aceh.

Sementara suami pertamanya, ialah Teuku Ibrahim--Putra Teuku Po Amat, uleebalang dari Lam Nga XIII Mukim Tungkop, dalam Sagi XXVI Mukim, Aceh Besar. Teuku Ibrahim ini sering dipanggil dengan Teuku Di Bitai atau Teuku Nyak Him. Suami pertama ini meninggal, Cut Nyak Dhien nikah dengan Teuku Umar, hingga beliau juga meninggal.

Sedangkan kuburan dan monumen kepahlawanan Teuku Umar, sang Johan Pahlawan, kini, ada di Aceh Barat. Maka jika kita melewati pantai Barat-Selatan, dari Banda Aceh ke Meulaboh, akan terlihat di sisi kanan jalan sebuah Kupiah Meukutop (memang ini bukan kuburan). Satu simbol kepemimpinan Teuku Umar di pinggir Samudera Indonesia yang bertiup keras.

Walaupun sedikit lebih tua daripada Teuku Umar, Cut Nyak Dhien (menikah kedua di usia 30 tahun) tampak semakin jelita. Saat itu, yang spesial di hati Teuku Umar, hanya Cut Nyak Dhien. Walaupun bersamaan dengan ini, ada dua istri lain, yakni Cut Nyak Sapiah dan Cut Nyak Meuligoe di bawah Sang Teuku.

Buah kasih sayang mereka, dianugerahkan seorang putri. Cut Gambang namanya. Kelak, dia nikah dengan Teungku Mayet alias Teungku Di Buket--anak laki-laki Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman.

Taktik Teuku Umar dan 15 pengikutnya, dengan menyerah kepada Belanda pada 30 September 1893, telah merubah beberapa jalan sejarah Aceh selanjutnya.  Belanda menghadiahinya senapan, peluru, mesiu, sumbu mesiu, timah panas, candu dan uang. Yang paling mengesankan hingga kini, itulah Rumah Aceh yang sempat dibangun di Lampisang.

Tiga tahun kemudian, ‘sandiwara besar’ ini diakhiri. Pihak Belanda geger dengan membaliknya Teuku Umar ke pangkuan orang Aceh. Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal Deijckerhoff yang menganugerahkan ‘Panglima Perang Besar’ buat Teuku Umar dipecat. Penggantinya, Jenderal van Heutsz. Dan rumah keluarganya yang bercorak Aceh, dibakar habis.

Perjuangan gerilya selanjutnya ditempuh lewat belantara menuju Woyla di Aceh Barat, berbulan-bulan. Strategi perang ini, hingga suami tercinta ditembusi peluru Belanda pada Februari 1899, dan dimakamkan di luar pengetahuan marsose Belanda, di Aceh Barat.  

Seluruh harta benda dan sisa kekuatan Cut Nyak Dhien sepeninggal Teuku Umar, demi fi sabilillah. Ketulusan dan kelembutannya ternyata dibalas oleh para pengkhianat yang telah menikam dari dalam, pada titik strategis perjuangan. Liku-liku keperihan selanjutnya telah menyebabkan dia masuk tangkapan musuh Belanda. Setelah penangkapan, dia dibawa ke Meulaboh, lalu ke Kutaraja. Demi keamanan, diasingkan dari Aceh, hingga dua tahun menjelang wafatnya, pada 9 November 1908 di Sumedang, Jawa Barat. []


 

Tags: #

Tentang
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota.
Alamat
Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242
Lainnya
Media Sosial
© 2023 Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
Oleh : Humas Kanwil Aceh