Naik Gunung Menjadi Penyuluh: Menolak Narasi 'Turun Derajat'
Oleh Tgk. Mukhlisuddin, SHI, MA
Ketua PD IPARI Pidie, Juga Dosen PTKIS UNISAI Samalanga
Tulisan Elbahry Spn berjudul “Fenomena Doktor Turun Gunung Jadi Penyuluh” menggambarkan keprihatinan yang bernada getir dan elegi keilmuan tentang dosen Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) yang memilih menjadi penyuluh agama lewat jalur P3K, walau dengan ijazah S1. Dalam narasinya, Elbahry menyebut langkah ini sebagai bentuk 'menurunkan derajat' intelektual. Sayangnya, seharusnya sebagai akademisi dan praktisi dakwah hendaknya tulisan ini lebih mencerminkan kegagalan memahami hakikat dakwah dan bias elitis yang merendahkan profesi mulia: penyuluh agama.
Narasi bahwa doktor dan magister yang menjadi penyuluh agama adalah bentuk 'turun gunung' atau bahkan 'turun derajat' merupakan konstruksi berpikir yang sempit dan merendahkan esensi pengabdian keilmuan dalam masyarakat. Anggapan ini bukan hanya menyesatkan secara logika, tetapi juga menafikan nilai luhur dari ilmu dan dakwah yang saling bertaut erat dalam sejarah Islam dan pembangunan bangsa. Justru, kehadiran lulusan magister dan doktor sebagai penyuluh agama harus dimaknai sebagai naik gunung yakni perjuangan mendaki medan yang menantang demi menerangi jalan umat dengan cahaya ilmu.
Penyuluh agama bukanlah profesi kelas dua. Dalam struktur sosial keagamaan Indonesia, penyuluh merupakan ujung tombak dalam menjaga harmoni, membumikan ajaran agama dalam konteks kebangsaan, serta menjawab persoalan umat dengan pendekatan inklusif dan berwawasan luas. Kehadiran SDM unggul dengan latar belakang pendidikan tinggi di posisi ini justru memperkuat kualitas penyuluhan. Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 10 Tahun 2018 tentang Penyuluh Agama Islam, ditegaskan bahwa tugas penyuluh mencakup penyampaian informasi, pembinaan keagamaan, dan pemberdayaan umat secara partisipatif dan berkelanjutan. Apakah tugas seberat dan sestrategis ini layak diserahkan hanya kepada SDM dengan kompetensi minimum?
Maka, saat doktor dan magister hadir dalam arena penyuluhan, mereka bukan sedang menurunkan martabat akademiknya, tetapi sedang memperluas jangkauan pengaruh keilmuannya secara konkret. Mereka membawa metodologi ilmiah ke lapangan, menjembatani idealisme kampus dengan kebutuhan riil masyarakat. Mereka membumikan teori ke dalam praktik, dan memberi corak baru dalam penyuluhan yang selama ini mungkin terjebak dalam rutinitas normatif tanpa strategi pembaruan.
Islam sendiri memberikan penghormatan tinggi kepada mereka yang menyebarkan ilmu dan memberikan manfaat bagi umat. Bukankah Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain." (HR. Ahmad).
Dalam konteks ini, apakah menjadi penyuluh agama yang turun langsung ke masyarakat, memberikan edukasi keagamaan yang mencerahkan dan menyejukkan, bukan bentuk kebermanfaatan yang mulia? Bahkan Allah SWT menjanjikan derajat tinggi bagi mereka yang berilmu dan mengajarkan: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11)
Dengan dalil tersebut, menjadi penyuluh bagi lulusan doktoral bukanlah kemunduran, tetapi bentuk konsistensi dalam misi keilmuan dan keagamaan.
Lebih lanjut, dalam kerangka regulasi nasional, keberadaan penyuluh agama sangat diandalkan. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, hingga program deradikalisasi oleh BNPT dan Kementerian Agama, penyuluh agama menjadi elemen sentral dalam pelaksanaannya. Negara membutuhkan penyuluh yang bukan hanya paham teks agama, tapi juga konteks sosial-politik kekinian. Dan siapa yang lebih tepat mengisi peran ini selain mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi dan terlatih dalam berpikir analitis dan solutif?
Membaca realitas ini dengan kacamata sempit, hanya dalam perspektif ekonomi atau status sosial semata, jelas menyesatkan. Menjadi penyuluh bukan sekadar alternatif hidup, tapi bisa jadi adalah pilihan sadar dan luhur bagi mereka yang ingin menjangkau medan pengabdian yang lebih luas. Mereka tidak lari dari dunia akademik, tapi menyambungnya dengan aksi sosial yang lebih inklusif dan substantif.
Kita juga perlu membongkar dikotomi keliru antara kampus dan masyarakat. Kampus bukan tujuan akhir, melainkan titik tolak. Ilmu bukan untuk dipamerkan di podium, tapi untuk dibagikan agar bisa menumbuhkan peradaban. Jika para doktor dan magister turun ke desa, ke masjid, ke kelompok masyarakat kecil, mereka sedang menjalankan visi intelektual sejati: membawa ilmu kepada mereka yang membutuhkan.
Sudah saatnya kita mengubah narasi. Bukan 'doktor turun gunung', melainkan 'doktor naik gunung' memikul tanggung jawab intelektual dan spiritual untuk menyapa masyarakat secara langsung. Jika dunia penyuluhan diisi oleh SDM unggul, maka penyuluhan akan naik kelas: dari sekadar ceramah tekstual menjadi pendampingan transformatif, dari khutbah monolog menjadi dialog kebudayaan, dari mimbar ke musyawarah, dari indoktrinasi ke pemberdayaan.
Tentu, ini tidak menafikan pentingnya perbaikan sistemik di dunia akademik, khususnya kesejahteraan dosen PTKIS. Negara harus hadir, tidak hanya dalam bentuk regulasi, tetapi dengan keberpihakan anggaran, afirmasi kebijakan, dan penghargaan yang layak atas dedikasi para pendidik. Namun kita juga tidak boleh menjebak pilihan penyuluh sebagai bentuk keputusasaan. Banyak dari mereka yang justru menemukan makna sejati ilmu saat bersentuhan langsung dengan denyut kehidupan umat.
Pada akhirnya, kita harus kembali kepada akar: ilmu bukan tentang di mana kita bekerja, tetapi ke mana kita mengabdi. Menjadi penyuluh agama bagi seorang doktor bukanlah penurunan martabat, tapi peninggian pengabdian. Bukan kemunduran karier, tapi perluasan medan dakwah. Bukan simbol kegagalan, tapi ekspresi keberanian untuk menyatu dengan realitas umat.
Dan sejarah akan mencatat, bahwa para doktor yang memilih menjadi penyuluh bukan sedang turun dari menara gading, tetapi sedang mendaki puncak kebermanfaatan yang sesungguhnya.