Bireuen|Dewi Sofiana| Seorang Bapak Guru yang sedang piket memergoki seorang siswa didiknya yang merokok di belakang gedung sekolah, saat jam istirahat. “Hei kamu, kemari!“ perintah si Bapak sambil menunjuk kearah siswa tersebut.
Sang siswa yang tak menyangka akan kepergok dengan gurunya itu terkejut. Reflek rokok pun terjatuh dari tangannya. Dengan rasa takut dia menghampiri sang guru. “Kenapa masih merokok? Apa kamu tidak tahu peraturan sekolah?” Sergah si Bapak dengan cepat. “Sekarang saya kasih hukuman. Push up 30 kali!” Perintahnya sambil menuding siswa tersebut dengan tangan terselip sebatang rokok yang masih mengepulkan asap.
Rokok, si jahannam. Perokok kerja setan. Rokok hanyalah sebuah benda berbentuk batang sepanjang jari telunjuk orang dewasa yang dibuat dari hasil racikan bahan dasar tembakau. Rokok yang “melabeli” dunia laki–laki ini menyedot ketertarikan luar biasa khususnya bagi penikmatnya. Tak susah mencari pengisap rokok di sekeliling kita.
Rumah tangga, fasilitas umum, perkantoran bahkan di sekolah mudah dijumpai para pengisap rokok. Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi wadah pendidikan bagi setiap sendi kehidupan, tak luput juga dari keberadaan rokok. Banyak siswa laki–laki yang kedapatan merokok di lingkungan sekolahnya. Padahal peraturan sekolah jelas–jelas melarang perbuatan ini.
Menyikapi pelanggaran ini pihak sekolah pun bersikap tegas. Aneka hukuman diberikan kepada siswa yang kedapatan merokok baik sebagai peringatan maupun untuk memberi efek jera. Tujuannya tentu agar peraturan sekolah dapat ditegakkan.
Hal ini patut diacungi jempol. Artinya pihak sekolah tidak memberi ruang sedikitpun bagi siswa perokok. Akan tetapi ada yang masih mengganjal. Apakah efektif menerapkan larangan merokok bagi siswa sedangkan asap rokok masih mengepul di ruang kantor sekolah? Kepala sekolah, guru dan staf masih bebas merokok di lingkungan sekolah.
Mereka tidak termasuk dalam daftar yang harus mematuhi peraturan sekolah tentang larangan merokok. Keadaan ini, tentu tak luput dari perhatian siswa pada umumnya dan siswa perokok khususnya. Tak sedikit siswa yang komplain. Dari yang terang–terangan hingga yang cuma berani ngomel di hati.
“Mengapa kita sangat dilarang merokok ? Pak guru saja boleh bebas merokok di sekolah?” Menyikapi pembedaan ini rasanya ada yang perlu ditinjau kembali. Apakah larangan merokok bagi siswa didik sebagai salah satu peraturan sekolah yang notabene harus dipatuhi sudahlah bijaksana. Sementara, ada “anggota” sekolah lainnya yang tidak termasuk sebagai pihak yang harus mematuhi peraturan tersebut.
Rasanya sulit memberlakukan larangan merokok kepada siswa secara verbal, sedangkan secara visual mereka masih mendapati pemandangan yang bertolak belakang!Pada hakikatnya, sebuah peraturan berpotensi efektif tingkat keberhasilannya bila aparat penegak hukumnya ikut menunjukkan dedikasi yang tinggi terhadap pemberlakuan hukum tersebut. Jika polisi selaku penegak hukum harus menunjukkan sikap dan citra yang baik kepada masyarakat agar menjadi contoh, begitu pula bila dianalogikan kedalam peraturan sekolah.
Sudah sepatutnyalah perangkat sekolah (Kepala Sekolah, guru dan staf) minimalnya (bila belum mampu berhenti merokok secara total) tidak merokok di lingkungan sekolah agar menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya. Selama ini, bisa dilihat bahwa sekolah belum seratus persen bebas dari asap rokok. Bapak guru masih bebas merokok di ruangan kantor dan pekarangan sekolah. Bahkan, ada pula guru yang tidak sungkan mengepulkan asap rokok di ruangan kelas.
Sedangkan bagi siswa, peraturan untuk tidak merokok di sekolah adalah sebuah peraturan yang tidak bisa ditawar lagi. Rokok memang unik. Semua iklan tentang rokok selalu disertai informasi “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Meski rokok adalah satu–satunya produk yang memiliki iklan paling jujur, namun tak pernah kalah dengan produk lainnya yang selalu beriklan dengan “wah” dan muluk–muluk. Mungkin ini karena rokok bersifat candu.
Setiap yang mencobanya pasti ketagihan. Padahal riset menunjukkan dalam sebatang rokok terdapat ribuan zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Celakanya, bahaya utama menyerang perokok pasif alias orang yang berada disekeliling perokok yang ikut menghirup kepulan asap rokoknya. Hasil penelitian juga menunjukkan nikotin yang terkandung dalam rokok dapat merusak sel utama pada otak manusia dan akan melekat pada gen.
Ini artinya, keturunan perokok bakal membawa generasi yang cacat otak atau bodoh. Meskipun demikian, hingga kini rokok masih tetap menjadi barang kontroversial. Di satu sisi rokok sudah menjadi bagian dari gaya hidup yang sulit terpisahkan. Produsen rokok terus berlomba memengaruhi konsumen melalui iklannya yang bombastis. Di sisi lain, pihak–pihak yang sangat menyadari bahaya merokok terus “ berjuang” melalui berbagai sosialisasi ke masyarakat. Bahkan ada sebahagian ulama sudah mengeluarkan fatwa haram untuk rokok setelah mempelajari bagaimana sebenarnya tingkat bahaya rokok bagi kesehatan.
Kita mungkin tak bisa berbuat banyak menyikapi fenomena ini. Namun sebagai aparatur pendidikan kita mungkin bisa memulainya dengan menjadikan lingkungan sekolah masing–masing bebas dari asap rokok. Hal ini adalah salah satu upaya yang paling dekat dengan kita, karena diinstitusi inilah saat ini kita berada.Saatnya kini sama–sama kita berkata “This is no smoking area”. Mari kita wujudkan peraturan sekolah untuk tidak merokok, tidak hanya berlaku bagi siswa tetapi juga terhadap seluruh anggota di dalamnya yaitu aparatur pendidikan itu sendiri.
Mudah–mudahan dengan langkah kecil ini dapat membawa perubahan besar bagi tatanan hidup kita. Tanpa kita sadari, banyak hal besar sesungguhnya dimulai dari hal yang kecil, bahkan yang sering terabaikan oleh kita. Oleh karena itu mari kita mulai upaya ini dengan basmalah! [Dewi Sofiana, S.PGuru honor di MTsS Juli Kec. Juli, Bireuen/y]