Kota Subulussalam-KemenagNews (4/9/2013) Sekretaris Redaksi Majalah Santunan Kemenag Aceh, Muhammad Yakub Yahya, ajak jajaran Kemenag mau 'menelurkan', dan mau dengan tulus membagi ilmu, berita, kabar, dan rahmat-Nya dalam sebait info bagi sesama. Sebab itu juga ajang dakwah dan beramal. Apalagi bagi yang sudah ikuti semacam pembekalan menulis. Menulis ternyata mudah saja, itu semudah mengungkapkan, mudah saja asal biasa dan motivasinya tidak ke mana-mana."Setelah ini, usai acara ini, terbantu kita pembicara atau penulis (komunikator) untuk lebih siap meyampaikan uneg-uneg, pesan, ide, program, masukan, kritikan, atau perasaan. Dengan sistematis, runtut, dan runut, tidak loncat-loncat, latah, dan terkejut-kejut. Buat pendengar atau pembaca (komunikan) dalam level mana, di mana, dan kapan pun. Komunikasi lewat berbagai media: podium, corong mic, surat kabar, media elektronik, majalah dinding (mading), papan pengumunan, brosur, selebaran, atau surat (cinta)," ajak Yakub, Direktur TPQ Baiturrahman, dan kontributor Gema Baiturrahman, di Hotel Helmes One, Kota Subulussalam. Yakub, staf Subbag Inmas lanjutkan, "Tampilan kita keseharian boleh dalam format seminar, loka, meeting, forum ilmiah, diskusi, khutbah, ceramah, sambutan, atau protokol (MC). Yang disertai dengan tulisan: draft, konsep, atau coret-moret. Baik tampil lewat media elektronik (radio, televisi, multitele, dunia maya (cybernetik)/ situs/web, maupun lewat media cetak (buletin, harian, mingguan, jurnal, tabloid, majalah, serta mading). Nah, semua melibatkan tulisan." "Media cetak memuat beberapa halaman/bagian seperti: desk, rubrik, dan kolom. Berisi editorial, berita utama (head line), berita (news), features, wawancara (dialog), opini, artikel, resensi, komentar (pembaca), advertorial (pariwara) dan release press. Serta boks media dan karikatur. Juga foto-foto," jelas ayah berkaca mata itu di hadapan peserta sosialisasi jurnalistik, kehumasan, dan keprotokolan (4/9). Menurut Yakub, ada lima syarat, agar lancar menulis, yakni: 1). Iqra’, sebab kapasitas akademik tidak menjamin produktif menulis. Atau gelar yang disandang belum tentu bermankan dan menarik hasil karyanya. Sebab sebagian hanya menulis untuk kewajiban kampus belaka. Membaca banyak, prasyarat menulis. Sehingga sebagian penulis yang produktif itu, bukan alumni kampus tertentu, atau tidak sempat diwisuda oleh rektorat. Padahal otak dan hatinya melebihi doktoral dan profesor. Di sini seakan sang otodidak (belajar, membaca sendiri) seakan lebih unggul.2). Aktif, sebab siapa yang menjaga jarak dengan komunitas tidak akan melahirkan ide dan solusi atau persoalan hidup. “Kepala dua lebih baik daripada kepala satu.†Kita yang rajin dengan orang ramai, biasa akan ada kompensasi lain yang tak terduga: mudah rezeki, ide banyak, banyak akal, atau banyak kucuran doa.3). Mulai, karena menunda adalah penyakit akut yang menimpa si pemalas. “Hari kerja pemalas adalah besok, hari ini libur.†Ini laksana tulisan ‘awas hutang’ di pintu toko orang pelit: “Hari ini kontan, besok boleh utang.†Ayo mulai menulis hari ini, sekarang, begitu ide muncul.4. Realistis, artinya hadapi dan terima kenyataan, bahwa kita lemah dan berkekurangan. Cet langét (utopia) perlu, tapi sadar bahwa kita tetap di bumi. Juga, “Kesempurnaan adalah penyakit yang mematikan.†Sebab tak ada yang sempurna di sini (dunia). Tipologi orang begini sulit maju, karena selalu takut gagal. “Orang jatuh karena berjalan, kita tak melihat orang tersandung karena duduk.†Jangan takut menulis, lantaran takut ditendang dan dikomplain. Itu biasa, dinilai kita macam-macam.5). Biasakan, sebab sebagus apa pun konsep dan resep (kue), jika tak pernah kita coba dan tekuni, tetap akan tinggal di dalam buku. Kue tak akan masak dan tersajikan dengan menghafal ukuran berapa gram tepung, gula, dan padum boh, boh manok. Tulisan tak akan lahir dengan hanya menghafal, misalnya rumus 5W + 1H (apa, mengapa/kenapa, siapa, kapan/bilamana, di mana, dan bagaimana). Tulisan tak lahir dengan hanya kaya data dan vocab (bahasa). [narto/yyy]