[Takengon | Yakub] Dengan membaca semestinya kita sehat, tidak sesak nafas usai membaca. “Kita akan terengah-engah mengeja kata yang lebih dari 36 kata,” sindir Fakhrurradzie Gade SSosI, dalam sesi terahir ‘Pelatihan Jurnalistik’ bagi Aparatur Kemenag se Aceh.
Kenapa bahasa dalam karangan atau jurnalistik harus pendek? “Karena orang tidak akan menghabiskan waktunya, dengan hanya membaca berita,” jawab Fakhrurradzie Wartawan Aceh Kita.com dan AP (Association Press) itu. Orang kini sibuk, selain ingin menagaji, juka lelah mencari sesuap nasi. Juga segera ingin duduk di kedai kopi.
Ada penulis, yang semestinya dalam kalimatnya itu titik (.), justru disisip koma (,). Akhirnya satu alenea itu berisi cuma satu kalimat, yang idealnya ada tiga-empat kalimat pendek. Kalimat yang kepanjangan tidak tambah keren tulisan.
Jadi semakin panjang kalimatMaka media ada ruang lead, teras berita, yang dengan membaca lead saja, pembaca sudah memahami maksud tulisan/berita.
Bahasa di media, di koran misalnya, sederhana, kecuali jurnal dan buku tertentu. “Bahasa jurnalistik meski sederhana, hindari istilah dan singkatan yang tidak dipahami umum. Kata yang lazim dipakai umum. Bahasa singkat, tidak bertele-tele, langsung ke pokok persoalan,” kata Fakhrur, yang pernah jadi Humas Media Center KIP.
Lanjutnya, bahasa harus padat, informasi dan menarik. Lugas, tegas, dan tidak ambigu. Tidak menggunakan eufimisme, atawa penghalusan kata.
“Bagaimana bisa disebutkah eufisme jika kita menggunakan penghaluskan kata, tapi sesuai dengan kebijakan di lembaga kita?” tanya H Zainal Arifin SAg MA, Kasi Sistem Informasi Haji Bidang PHU Kanwil Kemenag Aceh, peserta pelatihan.
“Gunakan bahasa yang netral,” jawab Fakhrurradzi, yang pernah jadi staf Humas BRR Aceh.
Ajaknya, minimal penulis miliki dua kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Atau mengkik di situs ‘kamus’, bawa ke mana-mana.
Selanjutnya, bahasa media massa ialah jelas, mudah dimengerti. Juga jernih, tidak menyembunyikan sesuatu yang negatif, bukan fitnah, dan bukan prasangka. Akhirnya, menarik atau mampu memancing pembaca.
Hindari pengulangan kata yang membuat kasta. Di media setara, antara wali nanggroe, gubernur, dan tukang kebun. “Maka cukup sekali kita menulis Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Tgk H Malik Mahmud Al-Haytar. Selanjutnya cukup Wali Nanggroe.
“Jika kita berulangkali memakai kata yang membangun kasta, akan diperolok kawan, dan pembaca memprasangkakan kita ada bayaran,” sindirnya.
Karakter bahasa media, antara lain gramatika. Kata, harus mengikuti bahasa baku. Hindari istilah asing, hindari bahasa tutur, logis, populis dan sebagainya.
Akurasi data penting, agar tidak bermasalah dengan narasumber pembaca, atau tidak diadukan kita ke kepolisian.
“Dosa besar bagi seorang wartawan ialah tidak akurat. Ketidakakuratan, melibaskan banyak orang,” tutupnya.
“Apa guna sektor editing seperti kami di web, yang kerja tak ada Januari-Desember, tak lihat Sabtu-Ahad, dan tak kenal senja, malam, dan ku’uek manok?” tanya kawan dalam hati dalam Pelatihan Jurnalistik se Aceh di Paviliun Seulawah Hotel (25-7/8) itu.
Jawaban pemateri Fakhrurradzie Gade, di hadapan peserta ‘pelatihan jurnalitik’ (yang sebagian besar peserta dari Kankemenag lanjutkan ke Rakor Data se Aceh ke Takengon), bahwa editing ialah selain mengedit juga menyaring dan mensensor masuknya opini wartawan, tidak ungkit SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Suku), iklan, pengulangan, trial by the press, pencemaran nama baik, dan basi. Juga mendeteksi sumber siluman. Jadi, menulis, membaca, juga mengedit bacaan sungguh kerja mulia dan menyehatkan diri dan sesama, bukan?
[muhammad yakub yahya, peserta pelatihan jurnalistik di paviliun seulawah blang padang banda aceh 25-27 agt]