[Kanwil | Juniazi Yahya] Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh Drs. H. Ibnu Sa’dan M.Pd, mengatakan madrasah dapat menggagas dan memprakarsai pendidikan berbasis multikultural kepada siswanya di madrasah. Hal ini disampaikan Kakanwil saat membuka Workshop Pendidikan Multikultural Tahun 2014 di Banda Aceh, Selasa (21/10) sore.
Menurut Kakanwil, pendidikan multikultural sangat strategis dalam mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan. Pendidikan yang berperan dalam membentuk siswa dan setiap peserta didik untuk meningkatkan penghargaan terhadap keberagaman dan kemajemukan.
”Madrasah dan lembaga-lembaga keagamaan di Aceh dapat menggagas pendidikan berbasis multikultural ini,” ujar Kakanwil.Pembukaan workshop ini dihadiri Kepala Bagian Tata Usaha, H. Habib Badaruddin, S.Sos, Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam, Drs. H. Saifuddin AR, Pembimas Katolik dan Hindu pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, narasumber serta sejumlah undangan lainnya.
Menurut Kakanwil dalam sambutannya, kemajemukan bangsa Indonesia pada sisi menjadi modal penting membangun bangsa dan Aceh ke arah yang lebih maju dan sejahtera. Namun, jelasnya, kemajemukan itu bisa memunculkan konflik sosial yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan daerah ini.
Dalam banyak kasus yang terjadi, jelasnya konflik sering kali terjadi karena tidak ada empati terhadap perbedaan dan keragaman yang tumbuh dalam masyarakat. Karena itu, urainya, perlu dicari sebuah strategi untuk menumbuhkan sikap empati terhadap perbedaan yang ada.
”Dan salah satu strategi yang dapat ditawarkan adalah pemberdayaan dan pemanfaatan pendidikan multikultural melalui lembaga-lembaga pendidikan, di madrasah, sekolah, pondok pesantren maupun di perguruan tinggi,”. Kakanwil berpendapat, bahwa kita sekarang sangat membutuhkan model pendidikan agama yang mampu membentuk cara pandang yang terbuka, toleran, ramah, dan simpatik terhadap perbedaan.
“Pendidikan agama yang mampu menjelaskan kepada setiap peserta didik bahwa agama itu adalah rahmat bagi alam semesta, santun, saling menghormati, saling menyayangi kepada sesama. Namun di sisi lain, model itu harus mampu memperkokoh keyakinan dan praktik ibadah setiap umat beragama, mampu menampilkan budaya dan identitasnya yang unggul,” ujarnya.
Pendidikan multikultural harus mampu menanamkan cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural yang demikian diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
“Dalam berbagai kesempatan sering saya mengutarakan, kita belum pernah mendengar di Aceh terjadinya konflik antar etnis, antar umat beragama. Walaupun sudah sekian lama Provinsi Aceh melaksanakan syariat Islam, namun belum pernah kita mendengar syariat Islam di Aceh merusak tatanan kehidupan umat beragama di daerah ini. Sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di Provinsi Aceh, sudah sepatutnya kita bersyukur dan mendoakan, semoga suasana harmonis, kondusif, rukun dan damai ini terus terpelihara di masa-masa mendatang,” kata Ibnu Sa’dan.
Kakanwil menyambut baik kegiatan Workshop Pendidikan Multikultural Tahun 2014 yang difasilitasi oleh Sub Bagian hukum dan Kerukunan Umat Beragama Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh. Menurut Kakanwil, dari sejumlah tugas dan fungsi Kementerian Agama, Kerukunan Umat Beragama, mengelola multikultural menjadi salah satu tugas penting Kementerian Agama dalam rangka menjaga dan memelihara harmonisasi kehidupan umat beragama di republik ini.
Kakanwil berharap ke depan, perlu terus dilakukan dialog-dialog dalam rangka menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa perbedaan suku bangsa, beda keyakinan, adalah sebuah realitas dalam kehidupan bermasyarakat. Perlu terus diciptakan suasanan kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi terbinanya kerukunan hidup intern, antar dan antara umat beragama dengan pemerintah.
Workshop pendidikan multikultural akan berlangsung sampai dengan 23 Oktober 2014, diikuti oleh 40 orang peserta dari tenaga pendidik, kependidikan Agama pada madrasah, sekolah dan pondok pesantren, Perguruan Tinggi Agama Islam, dan penyuluh agama dari seluruh agama yang ada di Provinsi Aceh.
Kegiatan ini bertujuan untuk membekali peserta tentang materi pendidikan multicultural dan arti penting menjaga dan memelihara kerukunan di tengah masyarakat. Kegiatan ini difasilitasi sejumlah narasumber, yakni H. Badruzzaman Ismail, SH. M.Hum, Suraiya IT, MA, PhD. Yarmen Dinamika, Juniazi Yahya, dan Sahlan Hanafiah, M,Si. [Juniazi, Kepala Sub Bagian Hukum dan KUB Kanwil Kemenag Aceh/Yakub Inmas]