Anakku Penyejuk Hatiku
[Banda Aceh | Darwin] Membangun keluarga bahagia merupakan dambaan setiap manusia. Salah satu unsur penting dan signifikan yang menghadirkan bangunan keluarga bahagia adalah adanya anak sebagai permata dan penyejuk hati yang senantiasa memberikan senyum kebahagiaan kepada orang tuanya bukan sekedar dalam hidupnya di dunia tetapi bahkan juga di akherat kelak.
Inilah yang menjadi harapan setiap orang tua dan inilah yang pernah didambakan Nabi Zakaria as dan Nabi Ibrahim as. Kedua Nabi ini senantiasa berdoa sebagaiman dijelaskan Allah dalam al-Qur’an: “Dan orang-orang yang berkata: Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS al-Furqan: 74).
Keberhasilan orang tua dalam mendidik dan menghiasi anaknya dengan iman dan akhlak yang mulia merupakan sebuah kesuksesan mengkonstruksi hidup dalam bingkai kebahagiaan. Anak akan menjadi penyambung kebahagiaan hakiki bagi ibu bapaknya di akhirat kelak. Ia adalah investasi akhirat yang sangat gemilang.
Rasulullah Saw telah bersabda: Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka semua amalnya akan terputus kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya” (HR Muslim).
Namun, anak juga bisa menjadi fitnah bagi keluarga dan masyarakatnya. Dengan demikian maka anak bisa juga menjadi petaka kehidupan yang menyesakkan dada, “Dan ketahuliah bahwa harta-harta dan anak-anakmu hanyalah sebagai fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang bersar” (QS al-Anfal: 28).
Dalam situasi seperti ini, anak tak lagi menjadi penyejuk hati, tapi malah menjadi penyempit hati. Berbagai tindakan kriminal yang begitu merebak di masyarakat yang banyak dilakukan oleh anak-anak dan remaja: mabuk-mabukan, membunuh, merampok, memperkosa dan lain sebagainya bahkan membunuh orang tuanya, merupakan cermin kegagalan pendidikan anak, baik di dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Posisi anak yang menjadi fitnah dalam kehidupan orang tua dan lingkungan serta gempuran budaya global yang melingkari kehidupannya semakin mempertegas urgensi orang tua dalam memelihara fitrah anak dan memberikan pendidikan yang baik.
Anak penyejuk hati adalah seorang anak yang memiliki kepribadian yang kokoh secara spiritual, emosional, intelektual dan fisikal dalam pengertiannya yang komprehensif. Karenanya, pendidikan orang tua terhadap mereka hendaknya diarahkan kepada unsur-unsur tersebut.
Pendidikan yang benar dari orang tua terhadap anak memberikan implikasi dan refleksi signifikan dalam mencapai sasaran tersebut. Akibat kesalahan dalam mendidik, anak yang semenjak lahir memiliki fitrah suci dan cenderung kepada hal-hal yang positif dapat terkontaminasi dan rusak sehingga berubah menjadi cenderung kepada hal-hal yang negatif.
Signifikansi dampak tersebut dapat dilihat dari pernyataan Rasulullah saw dalam sebuah sabdanya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hanya saja kedua orang tuanya bias menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR Bukhari).
Lanjut Kakanwil Kemenag Aceh Drs HM Daud Pakeh dalam dialog interaktif Ramadhan secara live, sore Kamis (25/6), ada ada banyak cara yang dapat diterapkan orang tua dalam mendidik anak, sebagaimana dicontohkan atau dianjurkan Rasulullah saw, antara lain:
1. Keteladanan
Pendidikan orang tua terhadap anak-anak dengan metode keteladanan memberikan pengaruh besar terhadap model kepribadian mereka karena anak dapat melihat langsung secara praktis dan menyerap dari apa yang diterimanya secara teoritis.
Metode ini sangat ditekankan sehingga Allah SWT memberikan peringatan dan mencela kepada orang yang mengabaikannya, “Wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan” (QS as-Shaff : 3-4).
2. Kebiasaan
Pendidikan dengan pembiasaan merupakan sarana yang Rasulullah saw anjurkan untuk membiasakan anak melakukan shalat tatkala ia berumur lima tahun “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berusia lima tahun dan pukullah mereka (jika enggan) ketika merteka berusia sepuluh tahun” (HR Abu Dawud).
Dorothy Low Nolte, dalam bukunya Children Learn What They Live With mengidentifikasi beberapa cara untuk membangun kebiasaan. Ia mengatakan “Jika anak banyak dicela, ia terbiasa menyalahkan. Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasibnya. Jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu. Jika anak banyak diberikan dorongan, ia akan terbiasa percaya diri. Jika anak banyak dipuji, ia akan terbiasa menghargai. Jika anak ditimang tanpa berat sebelah, ia akan melihat keadilan….”
3. Nasehat
Nasehat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata dan membangun anak-anak akan hakekat sesuatu, mendorong mereka menuju harkat dan martabat yang luhur, menghiasinya dengan akhlak mulia dan membekalinya dengan prisnip-prisnsip Islam. Nasehat yang tulus dan benar jika memasuki hati yang bening, hati yang terbuka dan akal yang jernih maka akan cepat dapat merespon yang baik dan meninggalkan bekas yang sangat dalam.
Firman-Nya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peruingatan bagi orang-orang yang mempunyai akal yang menggunakan pendengarannya sedangkan ia menyaksikannya” (QS Qaf : 37).
4. Perhatian dan Pengawasan
Perhatian dan pengawasan terhadap anak memberikan motivasi yang kuat terhadap anak untuk menunikan tanggung jawab dan kewajiban. Perhatian orang tua juga dapat menumbuhkan rasa percaya diri anak yang pada gilirannya menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kebakan.
Sebaliknya, perhatian yang kurang terhadap anak seringkali menjadikannya sebagai anak yang keras dan liar yang sulit dikendalikan. Umar bin Sabi Salamah bertutur: “Dahulu ketika masih kecil, aku berada dalam asuhan Rasulullah saw.
Pada suatu ketika tanganku bergerak hendak mengambil makanan, maka Rasulullah saw bersabda: Wahai anak, bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang ada di dekatmu” (HR Bukhari).
5. Pujian dan Hukuman
Pujian yang diberikan kepada anak baik dalam bentuk ungkapan kata, hadiah atau lainnya dpat memberikan motivasi kepada anak untuk senantiasa melakukan hal yang positif bahkan meningkatkannya. Namun hukuman juga bisa diberikan manakala anak melakukan hal-hal yang negatif. Metode ini diterapkan setelah metode-metode lainnya sudah diupayakan tetapi kurang menuai hasil.
Tentu saja hukuman yang diberikan tersebut adalah hukuman yang benart-benat bersifat mendidik. Inilah yang difahami dari hadis Rasulullah saw tatkala memboleh memukul anak yang tidak mau melakukan shalat setelah bersusia sepuluh tahun.
Metode-metode tersebut seyogyanya diaplikasikan dalam situasi dan kondisi yang relevan. Timing yang kurang tepat dalam menerapkan metode tersebut dapat mengakibatkan kurang berhasilnya sasaran yang ingin dicapai. [yyy]
[disampaikan dalam dialog interaktif Kakanwil secara live di RRI, Kamis (25/6)]