[Embarkasi Aceh | Muhammad Yakub Yahya] Jika saat pergi ke Tanah Suci, koper merek Garuda Indonesia itu, ‘kempes’, ringan, dan alakadar isinya. Namun saat pulang, 40 hari kemudian, biasa beratnya ‘setengah mati’, harus ikut dua menantu mengangkatnya. Apa isi di dalamnya? Apa lagi, kalau bukan oleh-oleh….
Ada kiat untuk kurangi beban saat pulang haji, sekarang, saat banyak agen kurma, dan souvenir Timteng (Timur Tengah) di mana-mana.
Salah satunya dengan kurangi doyan belanja, karena ke Tanah Suci bukan untuk belanja semata, juga bukan untuk dagang semata, meskipun halal dan boleh.
Kiat lainnya, dengan menyortir barang, mana yang bisa dibeli di Pasar Tanah Abang, Petisah, atau Pasar Aceh, dengan merek, rasa, dan kualitas yang sama. Sebab sebagian besar jajanan dan belanjaan jamaah itu, bukan produk Arab (Saudi Arabia), kecuali kurma, zaitun dan zamzam, di antaranya.
Asal buah kurma pun, nyaris lupa kita, membedakannya, mana yang Madinah-Makkah, dan mana yang dari negara sekitarnya. Kadang dibilang kurma kebun Nabi, padahal dari Pakistan, Yaman, Iran, atau Afrika Utara. Sebab kebun Nabi tak ada lagi, bukan?
Sedangkan barang lain, dari sajadah, tasbih, cerek, celak, mangkuk, gelas kecil, lips, permadani, talam, habbatussaudah, madu, odol, kain khas Arab, dan lainnya, itu rata-rata bukan made in Arab, tapi kebanyakan dari China. Satu-satu dari non-Cina, seperti sajadah Turkey.
Jadi, untuk khusyu’ di sana, beli saja di stand di Asrama Haji, atau pesan duluan di toko souvenir Arab (di Aceh), dan sekembali nanti ambil berbarengan dengan ketibaan ke rumah. Sekan-akan memang, barang dan jamaah, datang bersamaan, padahal barang memang sudah di sini sejak berankat.
Sebab, memang bawaan berat dari sana, dan/atau beli di sini, untuk barang yang sama pun, tetap di mata tetangga tidak masalah, yang penting ada, yang penting zamzam, yang penting nenek kakek pulaaaaaang, bukan? []