CARI
Rekomendasi Keywords:
  • Azhari
  • Kakanwil
  • Hari Santri
  • Halal
  • Islam
  • Madrasah
  • Pesantren

Cahaya Tastafi Menyapa Medan

Image Description
Muhammad Yakub Yahya
  • Penulis
  • Dilihat 147
Kamis, 17 Juli 2025
Featured Image

Cahaya Tastafi Menyapa Medan

Oleh Tgk Mukhlisuddin Marzuki

 

Malam itu, langit Marelan menggantung awan tipis. Kota Medan seperti menahan napas dalam diam, memberi ruang bagi ratusan langkah yang menyusuri jalan-jalan kecil menuju Mesjid Jamiyatul Khairiah. Rabu malam, 16 Juli 2025 ba’da Isya, adalah malam yang tak biasa, malam di mana ilmu mengetuk pintu hati para pencarinya. Malam itu, pengajian rutin bulanan TASTAFI Sumatera Utara kembali digelar, namun kali ini lebih dari sekadar rutin. Ini adalah malam yang agung diisi oleh ulama besar Hazramaut, Syeh Shaleh Bin Muhammad Al-Faqir dari Baidho, Yaman dan Penerjemah Habib Ahmad bin Idrus Al Madihij dari Binjai Sumatera Utara.

 

Suasana masjid mulai ramai sejak azan Isya bergema. Deretan sandal di luar masjid mengular hingga ke jalan. Seisi masjid, teras, bahkan halaman, dipenuhi jamaah dari berbagai penjuru kota Medan dan sekitarnya. Ada yang datang dari Tembung, Lubuk Pakam, Binjai, dan Deliserdang. Para jamaah dari berbagai majlis ilmu datang membawa semangat, membawa hati yang ingin disucikan oleh cahaya ilmu.

 

Panitia pelaksana, Majlis  Al-Mukhtar Medan Marelan, membuka acara dengan sambutan hangat oleh Waled Abdullah, sosok Ulama Muda alumni MUDI Samalanga yang akrab di tengah jamaah Tastafi Marelan. Dalam suaranya yang tenang, ia menyampaikan dukungan penuh majelisnya untuk kegiatan TASTAFI. “Setiap malam Kamis, kami istiqamah dengan pengajian Tastafi Marelan. Dan malam ini adalah bentuk ikhtiar kita bersama untuk menjaga nyala ilmu di tengah masyarakat,” ucapnya, disambut anggukan penuh haru dari jamaah.

 

Selanjutnya, Abi Dr. Fahmi Karimuddin, Ketua Tastafi Sumatera Utara yang juga Doktor lulusan Filsafat Pemikiran Islam UIN Sumatera Utara, mengambil mikrofon dengan penuh khidmat. Beliau menegaskan, “TASTAFI adalah warisan para ulama Aceh, yang mana Abu Mudi sebagai muassis gerakan ini dukungan penuh seluruh Ulama Ahlusunnah wal jamaah  untuk menjaga aqidah ummat dan membumikan ilmu fardhu ‘ain: Tauhid, Tasauf, dan Fiqh. Ini bukan sekadar pengajian, ini adalah gerakan pencerahan.”

 

Ia menambahkan, “Malam ini istimewa. Jamaah membeludak. Allah kirimkan ulama dari Yaman, dari negeri para waliyullah. Bukti bahwa jalan ilmu masih dirindukan. Bukti bahwa hati-hati kita belum mati.” Sambut Abi Fahmi yang juga Pimpinan Dayah Fahmussalam Al Aziziyah Marendal Medan itu.

 

Kerja bak Nabi, Gaji bak Allah Taala merupakan Motto Tastafi  tak hanya tertulis di spanduk dan baliho, tapi hadir dalam semangat para panitia yang mengatur parkir, mempersilakan jamaah, menyuguhkan teh hangat, hingga membersihkan sejadah di akhir majlis.

 

Tepat pukul 20.25 WIB, sosok yang dinanti hadir. Syeh Shaleh Bin Muhammad Al Faqir, ulama karismatik dari Baidho, Yaman, penyusun kitab “24 Jam Bersama Nabi”, mengisi tausyiah dengan wajah bercahaya. Suaranya lembut namun menggigit kalbu. Satu per satu kalimatnya menembus kerumunan malam yang syahdu.

 

“Berbahagialah kalian yang Allah pilih untuk hadir malam ini,” ucap Syeh Shaleh, “Karena hadir di majlis ilmu adalah taufiq. Bukan semua orang bisa datang. Ini tanda Allah ingin kalian dekat dengan-Nya.”

 

Ia mengajak jamaah untuk muhasabah, mengevaluasi diri. Katanya, “Iman manusia itu naik turun. Ada seperti malaikat yang terus naik, ada seperti jin yang terus turun. Tapi manusia... bisa naik dan turun. Maka hadir ke majlis seperti ini adalah bahan bakar untuk menaikkan iman.”

 

Syeh Shaleh melanjutkan dengan analogi yang sederhana namun dalam. “Datang ke majlis jangan sekadar bawa tubuh. Hadirkan hati. Kalau hati tertutup oleh sombong dan merasa cukup, ilmu tak akan masuk. Jadilah seperti gelas kosong siap diisi, siap merendah.”

 

Ia mengisahkan pengalaman dakwahnya di Pahang, Malaysia. Ia menemukan sekelompok ahli zikir yang tampak agamis, memakai sorban dan jubah. Tapi ketika diajak shalat, mereka berkata, “Zikir kami lebih tinggi dari shalat.” Syeh Shaleh menggeleng lirih saat bercerita, “Itulah bahayanya jika tasauf dilepaskan dari fiqh. Bisa sesat meski tampak suci.”

 

Kemudian ia menegaskan, “Berfiqh tanpa tasauf bisa fasiq. Bertasauf tanpa fiqh bisa zindiq. Ilmu itu harus utuh, tauhid, fiqh dan tasauf. itulah yang diajarkan dalam Tastafi. Itulah yang diwariskan para ulama besar dari Aceh.”

 

Ia mengakhiri tausyiah dengan penghormatan mendalam kepada Abu Mudi, muassis Tastafi. “Saya takzim kepada Abu Mudi. Beliau adalah cahaya dari Serambi Mekkah. Dan hari ini, cahaya itu menyapa Medan.”

 

Tausyiahnya bukan hanya menyentuh nalar, tapi membasahi jiwa. Jamaah terlihat menunduk, ada yang meneteskan air mata, ada yang menggenggam erat tasbihnya.

 

Setelah Syeh Shaleh, giliran Habib Ahmad bin Idrus Al Madihij, pimpinan Pondok Pesantren Darusalihin Binjai, yang berbicara. Ia menegaskan pentingnya kebersamaan antara ulama dan habaib.

 

“Jangan kita terprovokasi. Jangan dibentur-benturkan antara habaib dan ulama. Dahulu, Abdullah bin Abbas, Paman Rasulullah (ahlu bait) sangat menghormati Zaid bin Tsabit, ulama sahabat. Mereka saling memuliakan.”

 

Habib Ahmad melanjutkan, “Tujuan kita sama: mengajak ummat kepada Allah. Jangan bawa ummat ke konflik, tapi bawa ke kasih sayang. Jangan ajarkan perpecahan, tapi persatuan. Tastafi adalah contoh jalan tengah, jalan rahmah.”

 

 

Majlis kemudian ditutup dengan doa yang menggetarkan jiwa, dipimpin oleh Habib Haikal Alaydrus, pimpinan Rubath Ad Zikra Lil Mu’minin, Medan. Suaranya menggema, mengalun antara linangan haru dan harapan. “Ya Allah, jangan Engkau pisahkan kami dari majlis ilmu ini. Jadikan langkah kami malam ini sebagai cahaya di padang mahsyar nanti.”

 

Jamaah yang sebelumnya duduk lelah pun menengadahkan tangan dengan semangat baru. Mereka tak ingin cepat pulang. Malam itu terasa terlalu suci untuk segera berakhir.

 

Setelah doa penutup, semua jamaah disuguhi konsumsi hangat. Teh manis, roti, dan kue-kue tradisional dibagikan sukarela oleh panitia. Beberapa kelompok kecil terlihat berswafoto dengan Syeh Shaleh dan Habib Ahmad. Senyum mengembang di wajah para ibu, pemuda, hingga anak-anak kecil yang datang bersama orang tua mereka.

 

Meski malam kian larut, tak seorang pun tampak tergesa-gesa meninggalkan masjid. Seperti enggan memutus tali ruhani yang baru saja tersambung. Di sudut teras masjid, dua remaja tampak berbincang, “Besok kita ikut pengajian TASTAFI di tempat lain yuk,” kata yang satu. Yang lain mengangguk, matanya berbinar.

 

Malam itu menjadi catatan sejarah kecil bagi ummat di Sumatera Utara. Sebuah malam yang mengajarkan bahwa ilmu adalah cahaya, dan Tastafi adalah lentera yang menjaganya tetap menyala.

 

Dari Aceh ke Medan, dari ulama ke ummat, dari hati ke hati. Tastafi bukan sekadar majlis. Ia adalah perjalanan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Dan malam itu, di Mesjid Jamiyatul Khairiah Marelan, cinta itu mengalir seperti air hujan yang jatuh ke tanah kering menghidupkan, menyegarkan, dan menumbuhkan harapan. “Kerja bak Nabi, Gaji bak Allah Taala” Tastafi Sumatera Utara mengajak kita semua untuk merasakannya, bersama-sama.

Fotografer : Mukhlisuddin Marzuki
Tentang
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota.
Alamat
Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242
Lainnya
Media Sosial
© 2023 Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
Oleh : Humas Kanwil Aceh