CARI
Rekomendasi Keywords:
  • Azhari
  • Kakanwil
  • Hari Santri
  • Halal
  • Islam
  • Madrasah
  • Pesantren

Ramadhan 'Oplosan'; Ketika Spiritualitas Tercemar oleh Budaya Konsumtif

Image Description
Muhammad Yakub Yahya
  • Penulis
  • Dilihat 376
Selasa, 4 Maret 2025
Featured Image
Tgk Munawir SHI

Ramadhan 'Oplosan'; Ketika Spiritualitas Tercemar oleh Budaya Konsumtif

Oleh Munawir, S.HI, Penyuluh Agama Islam Seunuddon, Aceh Utara. 

 

Ramadhan sejatinya adalah bulan penuh berkah, di mana umat Muslim berlatih menahan diri, meningkatkan spiritualitas, serta memperdalam kepedulian sosial. Namun, dalam praktiknya, sering kali esensi Ramadhan bercampur dengan budaya konsumtif, melahirkan fenomena yang mungkin dapat disebut sebagai Ramadhan 'Oplosan'. Kata "oplosan", saat ini terdengar cukup mengkhawatirkan, sehingga tertarik penulis untuk mengaitkannya dengan praktik Ramadhan 'oplosan'. 

 

Diakui, dalam menjalankan Ramadhan, seringkali kita melihat perubahan yang mencolok dalam pola konsumsi masyarakat. Alih-alih menahan diri, justru menjadi momen peningkatan konsumsi yang sangat drastis. Pusat perbelanjaan menjadi ramai, iklan makanan semakin gencar, dan hidangan berbuka puasa seolah berubah menjadi ajang pesta besar. Ironisnya, puasa yang seharusnya melatih kesederhanaan malah berujung pada perilaku boros.

 

Tak hanya itu, aspek ibadah pun kadang ikut terpengaruh. Masjid, musalla dan surau, di awal-awal Ramadhan memang penuh, tapi sebagian orang lebih fokus pada aspek seremonial dibandingkan makna mendalam dari ibadah yang dilakukan. Tarawih bahkan menjadi ajang pamer busana, begitupula sedekah lebih sering digunakan sebagai pencitraan dibandingkan niat tulus berbagi.

 

Selain itu, dalam menjalankan Ramadhan sering pula kita melihat praktik di mana seseorang berpuasa di siang hari tetapi tetap menjalani kebiasaan buruk di malam hari, seperti berpesta ria, begadang tanpa tujuan, atau bahkan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. 

 

Realitas ini mencerminkan bagaimana sebagian orang hanya menjalankan puasa sebagai formalitas tanpa benar-benar memahami maknanya. Salah satu penyebabnya bisa jadi adalah pergeseran budaya dan tekanan sosial. Bagi sebagian orang, Ramadhan hanya sebatas menahan lapar dan haus, bukan momen refleksi dan perbaikan diri.

 

Hal ini telah disinyalir dalam Hadis Rasulullah yaitu: ”berapa banyak orang yang berpuasa tapi hanya mendapatkan rasa lapar dan haus karena puasanya (tanpa mendapat pahala)”. Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah ra. Padahal, puasa seharusnya menjadi latihan untuk mengendalikan hawa nafsu, meningkatkan empati terhadap sesama, serta memperkuat hubungan dengan Tuhan.

 

Praktik Ramadhan oplosan ini menggambarkan bagaimana nilai-nilai spiritual tercemar dengan budaya konsumtif. Ini menjadi tantangan bagi umat Muslim untuk kembali ke esensi sejati Ramadhan yakni pengendalian diri, kesederhanaan, serta peningkatan keimanan dan kepedulian sosial. Jika tidak, Ramadhan hanya akan menjadi bulan perayaan konsumsi tanpa makna yang mendalam.

 

Dampak dari Ramadhan Oplosan

Di antara dampak dari Ramadhan oplosan adalah hilangnya makna kesederhanaan, di mana Ramadhan yang seharusnya menjadi latihan menahan diri malah menjadi ajang konsumsi berlebihan. Terkait hal ini, Al-Qur'an dan Hadis telah menekankan tentang pentingnya kesederhanaan. Misalnya, dalam Surah Al-A'raf ayat 31, Allah menyebutkan bahwa kita seharusnya tidak berlebihan dalam konsumsi. Rasulullah juga bersabda bahwa "Sebaik-baiknya umatku adalah yang sederhana."

 

Selain itu, juga berdampak pada kesenjangan sosial yang semakin nyata, di mana sebagian masyarakat menikmati kemewahan berbuka di restoran mahal, masih banyak yang kesulitan sekadar untuk mendapatkan makanan berbuka. Padahal ajaran Islam mengajarkan pentingnya berbagi sebagai salah satu nilai dasar dalam kehidupan sosial dan spiritual. Islam meyakini bahwa setiap tindakan berbagi akan mendapatkan balasan yang baik dari Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah menjanjikan pahala bagi mereka yang bersedekah dan membantu orang lain, baik di dunia maupun di akhirat. 

 

Dampak lainnya dari prakti Ramdhan oplosan adalah ibadah menjadi formalitas, hal ini disebabkan seseorang itu menjadi lebih fokus pada kesenangan duniawi, sehingga membuat nilai-nilai spiritual Ramadhan terkikis dan ibadah hanya dijalankan sebagai rutinitas tanpa penghayatan mendalam.

 

Mengembalikan Esensi Ramadhan 

Fenomena budaya di atas, seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi juga tentang bagaimana kita memperbaiki diri, memperkuat nilai-nilai kebaikan, dan menjadi pribadi yang lebih baik setelah bulan suci ini berakhir. Jika Ramadhan hanya menjadi ajang formalitas tanpa perubahan yang berarti, maka kita kehilangan esensi dari ibadah itu sendiri.

 

Dengan demikian, daripada terjebak dalam tren ini, sebaiknya kita memanfaatkan Ramadhan untuk benar-benar memperbaiki diri, meningkatkan spritualitas dan memperdalam kesadaran sosial serta menjadikan bulan ini sebagai momentum perubahan ke arah yang lebih baik.[]

 

Tentang
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota.
Alamat
Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242
Lainnya
Media Sosial
© 2023 Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
Oleh : Humas Kanwil Aceh