[Kanwil | Teuku Zulkhairi/Yakub] Lahirnya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam memberi harapan besar bagi pengembangan pendidikan pesantren (dayah) di nusantara.
Pasalnya, PMA ini memberikan legalitas hukum bagi hadirnya program Pendidikan Diniyah Formal (PDF), suatu program pendidikan di lingkungan pesantren yang setara Sekolah dan Madrasah dan juga akan dibiayai oleh negara.
Lahirnya program Pendidikan Diniyah Formal ini adalah berawal dari riset panjang Litbang Kemenag yang menemukan kenyataan bahwa di sekolah selama ini mata pelajaran agama hanya diajarkan 2-3 jam pelajaran/minggu.
Begitu juga dengan Madrasah di mana mata pelajaran Agama dikembangkan hanya melalui 5 mata pelajaran saja, yaitu Alquran-Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.
Hal ini dianggap belum cukup mampu melahirkan kader-kader baru ulama yang mutaffaquh fiddin.
“Baik sekolah maupun madrasah dipandang belum cukup mampu untuk melahirkan ahli di bidang ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin),” kata Dr Mohsen dalam rapat kordinasi Pendidikan Diniyah Formal yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Pusat di Gedung Pusdiklat dan Litbang, Ciputat.
Pada tahap awal, ada lima Provinsi yang akan dijadikan sebagai pilot project Pendidikan Diniyah Formal ini, yaitu Aceh, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.
Masuknya Aceh dalam pilot project awal ini kami ketahui setelah mendengar pemaparan materi tentang “Grand Desain Pendidikan Diniyah Formal” yang disampaikan oleh Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Ditpdpontren) Kementerian Agama Pusat, DR. H. Mohsen, MM.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Pendis), Prof. Dr Nur Syam, dalam lampiran keputusannya antara lain menjelaskan, bahwa Pendidikan Diniyah Formal merupakan bentuk layanan pendidikan baru sama sekali yang sebelumnya belum pernah hadir di bumi nusantara ini.
Kehadiran PDF ini merupakan ikhtiar Kementerian Agama dan kalangan Pondok Pesantren guna mewujudkan lulusan pendidikan yang memiliki kompetensi pengetahuan keagamaan Islam yang handal (mutafaqqih fiddin) baik di tingkat Ula,Wustha (pendidikan dasar) maupun ‘Ulya (pendidikan menengah).
Dijelaskan juga, program Pendidikan Diniyah Formal adalah satuan Pendidikan Formal yang diselenggarakan oleh dan berada di dalam pesantren (dayah) dengan menggunakan literatur kitab secara terstruktur dan berjenjang untuk menghasilkan lulusan yang memiliki penguasaan ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) yang mencakup Pendidikan Diniyah Formal Ula, Wustha dan ‘Ulya.
Akan dibiyai oleh negara
Kepala Seksi Ketenagaan pada Subdit Pendidikan Diniyah Kemenag Pusat, Dr.H.Suwendi, M.Ag menyampaikan alur pendidikan diniyah formal dan perbandingannya. Kalau jenjang sekolah umum dimulai dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi Umum, dan Madrasah mulai dari MI, MTs dan Perguruan Tinggi Agama Islam, maka jalur Pendidikan Diniyah Formal ini adalah dari Tingkat Ula, Wustha, Ulya dan berlanjut ke tingkat Ma’had ‘Aly.
“Program Pendidikan Diniyah Formal ini didirikan untuk memberikan hak-hak anak bangsa, akan diakui oleh negara dan akan dibiayai sepenuhnya oleh negara, baik gaji guru maupun kebutuhan lainnya, “ kata Dr Suwendi sewaktu kami meminta kejelasan terkait dengan kebutuhan anggaran untuk program ini.
Dijelaskan juga, semua guru yang akan mengelola program Pendidikan Diniyah Formal ini adalah guru-guru pesantren itu sendiri yang sudah memenuhi kriteria seperti telah meraih gelar sarjana dan berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Guru-guru itu nantinya juga akan disertifikasikan.Kurikulum
Adapun kurikulum yang ditetapkan oleh Kemenag Pusat untuk program ini, untuk tingkat Ula adalah mata-mata pelajaran seperti Al-Qur’an, Hadits, Tauhid, Fiqh, Akhlaq, Tarikh dan Bahasa Arab. Sementara untuk tingkat Wustha, mata pelajarannya terdiri dari Al-Qur’an, Tauhid , Tarikh, Hadist-Ilmu Hadits, Fiqh-Ushul Fiqh, Akhlaq-Tasawuf, Bahasa Arab, Nahwu-Sharf, Balaghah dan Ilmu Kalam.
Sementara untuk tingkat ‘Ulya, mata pelajarannya terdiri dari Alquran, Tauhid, Tarikh, Hadist-Ilmu Hadits, Fiqh-Ushul Fiqh, Akhlaq-Tasawuf, Tafsir-Ilmu Tafsir, Bahasa Arab, Nahwu-Sharf, Balaghah, Ilmu Kalam, Ilmu ‘Arudh, Ilmu Mantiq dan Ilmu Falak. Kebanyakan dari mata pelajaran ini selama ini memang sudah menjadi kurikulum dasarnya pendidikan dayah di Aceh.
Selain mata pelajaran keIslaman di atas, dalam Pendidikan Diniyah Formal ini, juga terdapat mata pelajaran umum yang diwajibkan, namun mata pelajaran umum ini akan dikemas secara Islami dan integratif dimana buku panduannya juga ditulis dalam bahasa Arab.
Syarat pendirian
Persyaratan teknis awal, syarat pendirian Pendidikan Diniyah Formal ini adalah adanya santri mukim (menetap) minimal sebanyak 300 orang selama 10 (sepuluh) tahun terakhir yang dibuktikan dengan perkembangan jumlah santri mukim laki-laki dan perempuan dari tahun ke tahun berikutnya yang ditanda tangani oleh pimpinan pesantren.
Syarat lain yang harus dipenuhi oleh pesantren yang ingin menyelenggarakan Pendidikan Diniyah Formal ini antara lain memiliki calon peserta didik paling sedikit 30 (tiga puluh) orang, mendapatkan rekomendasi dari kantor wilayah kementerian agama provinsi setempat, memiliki tanda daftar pesantren dari Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota dan berbadan hukum.
Sebagaimana diketahui, dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, terdapat inisiasi lembaga pendidikan khas pesantren yang mampu mengangkat Angka Partisipasi Kasar (APK) yaitu Pendidikan Diniyah Formal, Ma’had Aly, Satuan Pendidikan Muadalah pada Pesantren, Pendidikan Kesetaraan, dan Penyetaraan lulusan Pesantren dan Madrasah Diniyah Takmiliyah dengan pendidikan formal setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
[Teuku Zulkhairi, MA, Pegawai di Bidang Pendikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kanwil Kemenag Ace. Peserta Rapat Kordinasi Pendidikan Diniyah Formal yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Pusat di Gedung Pusdiklat dan Litbang, Ciputat, Senin-Rabu, 15-17 dua bulan lalu]
[Foto: kailah Aceh di MQK Nasional di Jambi September empat bulan lalu; foto: Yakub]