[Jambi | Muhammad Yakub Yahya] Di Arena Musabaqah Tilawatil Kutub Nasional (MTQN) V tinggal pengumuman. Kafilah yang masuk final, masih ada yang riuh mengulang di posko, siang dan malam, bersama ustadz dan ustadzah. Sepertinya kontingen luar Aceh, ramai yang membawa ‘syaikh’ yang ukho-ukho, alias tua-tua. Kontingen Aceh relatif muda.
Usai semua itu, fokus peserta pada belanja dan anjangsana, yang memang ada dalam agenda sejak 1 hingga 9 September. Rasanya usai ajang peserta sudah agak lega, merasa sudah mengeluarkan kemampuan terbaik untuk meraih prestasi tertinggi pada even 2 tahunan itu, juga pelatih.
Perasaan yang tersisa, dag did dug jelang MC mengumumkan sang juara I hingga juara harapan III pada setiap cabang lomba. Aceh yang ‘hanya’ antar lima finalis, juga begitu, tegang menanti pengumuman. Syukur masih ada harapan Aceh, karena ada kafilah seorang pun, tidak sertakan peserta ke final.
Kaltim cuma satu lulus. Semua finalis hampir diambil semua sama Jatim, Jabar, Kalsel, dan Jateng.
Mungkin, sedikit menutup ‘kekecewaan’, mungkin memang kebutuhan jika hampir usai ikuti dalam sebuah even besar, keliling bazaar mencari dan memilih oleh-oleh di lokasi pameran untuk sekedar menjadi buah tangan untuk saudara atau teman dan handai tolan yang mereka tinggalkan di Pondok Pesantren. Atau untuk kawan di ruangan kerja.
Di arena dan kedai pameran, ada barang unik seperti ‘Kapsul Motivasi’ (berisi kapsul kata bijak Rp 8000) dan kue khas Jambi, dari rambutan hingga durian, yang digoreng semua. Juga ada poster Ulama Nusantara di arena. Jika baju, gunting kuku, pen, dan gantungan kunci yang berlogo Musabaqah itu memang sudah biasa.
Panitia memang menyediakan stand bagi para daerah peserta MQKN untuk bisa memperkenalkan dan memperdagangkan produk-produk baik produk dari Pondok Pesantren maupun produk unggulan daerah asal provinsi peserta MQKN.
Ada stan ekspo provinsi di Indonesia, tapi Aceh tidak tampak. “Kapan PKA bang…? tanya satu penjual sablon baju MQKN, asal Padang, yang sering ke Aceh, saat saya menyuruh sablon nama Yusuf, Harun, Daud, serta nan di kakaknya, Alifah.
Harga di Jambi memang lumayan murah. Meski di Aceh ada barang, kafilah banyak yang juga belanja bawa pulang, sebab murah. Murah bukan hanya di arena, juga di Kota Jambi yang besarnya bisa dua kali Banda Aceh. Bukan hanya harga barang yang miring, juga transpor air (ketek Rp 2000), RBT/ojek (Rp 5000), dan ongkos lainnya, sangat murah (kecuali biaya dalam dan dekat hotel).
Jika di Aceh, mana bisa, lumpoe? Tukang becak dan taksi, sebagian pedagang, ‘mencekik’ sang tamu…. bukan? “Nyan jemee ka cok laju….?” kata pedagang dan awak becak kita. “Peumulia jamee adat geutenyoe…” hah hah hah, mungkin lebih cocok di Jambi. Misal, dari Kota ke Lampineung Rp 30 ribu, ke Darussalam Rp 50 ribu. Ulee Lheue-Baiturrahman Rp 50 ribu. Ini namanya, peumulia jamee…? [inmas]