Ansaruddin, Kasubbag Tata Usaha Kantor Kementerian Agama Kabupaten Simeulue, menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Ar-Raudhah Kecamatan Simeulue Timur (4/7). Dalam khutbahnya, ia mengajak jamaah untuk memaknai hijrah bukan sekadar peristiwa sejarah perpindahan Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, melainkan sebuah prinsip kehidupan yang relevan hingga kini.
Ansaruddin menjelaskan bahwa hijrah Nabi Muhammad SAW bukanlah sebuah pelarian, melainkan strategi ilahi yang menunjukkan kebijaksanaan dan ketahanan.
"Kondisi di Mekah kala itu sangat sulit bagi kaum Muslimin," ujarnya. Ia menyoroti penyiksaan, perundungan, dan pembunuhan yang dialami umat Islam, seperti kisah Sumayyah dan Yasir, serta pemboikotan ekonomi yang menyebabkan kelaparan. Kondisi ini mengancam kebebasan beragama dan ketahanan umat.
"Hijrah adalah sebuah keharusan bagi mereka yang tidak dapat menjalankan syariat Islam secara kaffah di lingkungannya," tegas Ansaruddin, mengutip Surah Al-Baqarah ayat 218:
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ يَرۡجُونَ رَحۡمَتَ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ غَفُورࣱ رَّحِيمࣱ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Lebih lanjut, Ansaruddin menguraikan makna hijrah berdasarkan Al-Qur'an, khususnya Surah Al-Baqarah ayat 218 di atas, yang menunjukkan tiga pilar keimanan yang saling terkait.
Pertama, iman (orang yang beriman) yang menunjukkan kemantapan akidah dan kesediaan berkorban demi keyakinan.
Kedua, hijrah (orang yang berhijrah) merupakan tindakan nyata, baik fisik maupun kondisi, perpindahan dari hal yang buruk menuju kebaikan, dari kemaksiatan menuju ketaatan.
Ketiga, jihad (orang yang berjihad), melibatkan pengorbanan harta dan jiwa di jalan Allah.
Ia juga menekankan bahwa iman, hijrah, dan jihad adalah jalan keselamatan dari api neraka sebagaimana Firman Allah swt dalam Surah As-Saff ayat 10-11.
يَآأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ هَلۡ أَدُلُّكُمۡ عَلَىٰ تِجَٰرَةࣲ تُنجِيكُم مِّنۡ عَذَابٍ أَلِيمࣲ
تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرࣱ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui." (QS.61:10-11)
Ansaruddin kemudian menjelaskan tiga makna hijrah yang relevan dalam sejarah Islam dan kehidupan kontemporer:
Pertama, Hijrah dari Segi Tempat. Secara literal Hijrah adalah perpindahan fisik dari Mekah ke Madinah. Namun, dalam konteks modern, ini berarti berpindah ke lingkungan yang lebih mendukung ibadah dan pengembangan diri Islami jika lingkungan saat ini tidak kondusif.
Kedua, Hijrah dari Segi Keadaan, Perpindahan dari kondisi yang tidak aman atau tidak nyaman menuju kondisi yang lebih baik. Contohnya, beralih dari lingkungan yang penuh maksiat ke lingkungan yang religius, atau meninggalkan pekerjaan yang haram dan mencari yang halal. "Ini adalah upaya mencari “kampung spiritual yang lebih baik," jelasnya.
Ketiga, Hijrah dari Segi Sifat/Karakter. Hijrah Ini adalah proses memperbaiki diri secara terus-menerus dari akhlak yang buruk menjadi mulia. Contohnya, berubah dari malas beribadah menjadi rajin, dari suka berbohong menjadi jujur, atau dari pemarah menjadi penyabar. "Ini merupakan jihad melawan hawa nafsu dan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri," imbuh Ansaruddin. Ia juga mengingatkan jamaah untuk berhijrah dari kebiasaan asyik sendiri dengan gadget, yang seringkali menjauhkan kita dari interaksi sosial dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar, menuju interaksi yang lebih bermakna dan bermanfaat.
Ansaruddin juga mengingatkan jamaah tentang tiga hal fundamental yang dilakukan Rasulullah SAW setelah tiba di Madinah, yang menjadi fondasi peradaban Islam, yaitu:
Mendirikan Masjid. Fungsinya bukan hanya sebagai tempat shalat, melainkan pusat komunitas, musyawarah, dan pembelajaran Islam.
Mengukuhkan Ukhuwah Islamiyah. Mempersaudarakan kaum Muhajirin (pendatang) dengan Anshar (penduduk Madinah), memberikan pelajaran tentang pentingnya persatuan dan solidaritas.
Menyusun Dustur (Undang-Undang/Piagam Madinah): Mengatur hubungan antara komunitas Muslim dan non-Muslim, menekankan pentingnya tata kelola yang adil, toleransi beragama, dan hidup berdampingan secara damai.
Mengakhiri khutbahnya, Ansaruddin menegaskan bahwa hijrah adalah sebuah perjalanan spiritual dan fisik yang tidak pernah berhenti. Ia mengajak seluruh jamaah untuk senantiasa berhijrah menuju kebaikan dalam berbagai aspek: memperbaiki sifat dan akhlak pribadi, mencari dan menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk beribadah dan berkembang, serta mengamalkan seluruh ajaran Allah SWT di muka bumi.
"Semoga semangat hijrah ini terus menggerakkan kita untuk maju, meninggalkan keburukan, dan membangun peradaban yang diridhai Allah SWT," tutup Tgk Ansar, yang lama mengabdi di Bidang PAI Kanwil Kemenag Aceh.[]