[Takengon | Muhammad Sofyan] Matahari telah jauh condong ke barat ketika dua mobil plat merah perlahan keluar dari pelataran parkir Hotel Bayu Hill Takengon. Avanza BL 159 Y milik Kankemenag Bener Meriah dan Kijang Krista BL 332 BA milik Kankemenag Gayo Lues melaju melintasi jalan dua jalur Kota Takengon dengan membawa 9 orang peserta Rakor Data yang sedang rehat sebelum melakukan sinkronisasi.
Tak lama kemudian mulai menelusuri jalan meliuk-liuk bak ular raksasa yang sedang berjalan di lereng pegunungan bukit barisan.
Di sebelah kanannya berupa tebing yang ditumbuhi pohon Pinus dan semak belukar, sedangkan di kirinya berupa jurang terjal di tepi danau Laut Tawar yang membentang luas. Pegunungan Bukit Barisan itu mengelilingi kota Takengon membentuk Kuali raksasa dengan kota Takengon dan Danau Laut Tawar sebagai dasarnya.
Setelah perjalanan yang meliuk-liuk dan terkadang mendaki, terkadang menurun lebih kurang tiga puluh menit, akhirnya rombongan berhenti dan melanjutkan dengan jalan kaki menuruni jalan setapak selama 2 menit.
Sampailah rombongan di depan sebuah goa, “Selamat Datang Di Goa Loyang Koro” tertulis pasa sebuah pamplet di depannya.Karena lampu yang tergantung di langit-langit goa tidak menyala rombongan tidak berani masuk lebih jauh ke dalam goa, hanya masuk sampai di mulut goa dan berpose sejenak.
Rombongan kembali naik dan melanjutkan perjalanan mengelilingi Danau Laut Tawar setelah membayar retribusi sebesar 45 ribu rupiah. Satu jam kemudian robongan kembali berhenti di depan sebuah goa. “Objek Wisata Putri Pukes Pelaleni Ateng (Aceh Tengah, pen),” tertulis di dinding goa dekat pintu masuk.
Beberapa orang rombongan menyempatkan diri berpose dengan latar belakang goa tersebut. “Selamat datang pak,” ujar seorang pemuda yang menjadi Guide (Pemandu Wisata) yang ingin masuk ke dalam goa. Guide yang bernama Iwan melangkah ke dalam goa memancing kami untuk ikut bersamanya.
Iwan menuturkan Legenda Putri Pukes sambil menunjukkan sebuah bongkahan batu yang bila diperhatikan seolah-olah seperti seorang manusia yang sedang dudul di kursi. “Putri Pukes berarti Putri Kesayangan, karena ia anak satu-satunya.”
Iwan mengisahkan bahwa Putri Pukes berasal dari Kampung Losari di seberang Danau Laut Tawar. Setelah menikah dengan seorang pemuda seberang, sang suami bermaksud memboyong Putri Pukes ke kampung halamannya. Ibunya berpesan kepada Putri Pukes kalau ia pergi maka tak boleh kembali dan tak boleh menoleh ke belakang. Putri pun menyeberangi Danau Laut Tawar menggunakan perahu.
Sesampainya ia di seberang Danau ia teringat pada ibunya dan iapun menoleh, tiba-tiba terjadilah badai Putri Pukes bersama rombongannya ketakutan dan lari masuk ke dalam goa untuk berlindung.
Setelah badai reda rombongan keluar dari goa, karena mereka tidak melihat Putri Pukes tidak keluar rombongan kembali masuk ke dalam goa dan mendapati Putri telah berubah menjadi batu.
Berita ini pun disampaikan kepada suaminya yang terpisah rombongan dari Putri. Setelah suaminya melihat Putri Pukes Istri tercintanya menjadi batu iapun tak mau hdup lagi dan memohon untuk diubah menjadi batu juga. “Itu jalan suami Putri Pukes saat naik ke atas bukit,” tutur Iwan sambil menunjukkan sebuah lorong menuju ke atas, tetapi lorong itu sudah tidak dapat dilalui lagi karena terjadi penyempitan akibat terbentuknya Stalaktit (batu yang menjorok dari atap goa) dan Stalaknit (batu yang menonjol dari lantai goa) akibat terjadi endapan kapur dari air yang menetes. “Suaminya pun kahirnya menjadi batu, 3 ratus meter di atas bukit sana.”
Kembali Iwan menuturkan. Karena sulitnya medan yang ditempuh menuju batu jelmaan suami Putri Pukes maka tak ada orang yang melihatnya ke sana.
Dalam goa yang tak terlalu luas itu dan telah diberi penerangan dengan lampu listrik yang digantung di langit-langit goa, terdapat juga sebuah sumur yang dulunya hanya berair tiga bulan sekali dan airnya menurut kepercayaan masyarakat setempat dapat menjadi obat, tapi kini keberadaan air sumur itu tak dapat diprediksi lagi.
Iwan juga menunjukkan kepada kami berhala yang dipuja orang zaman dahulu. Didalam goa itu juga terdapat sebuah Altar tempat bertapa, (Jamaluddin Penulis berita terbaik untuk website; aceh.kemenag.go.id, bersama Danil Kota Langsa sempat berpose di Altar tersebut).
Ada juga batu seribu hayalan, yang apabila dilihat dari sudut yang berbeda akan terlihat gambar yang berbeda pula. Terkadang ia terlihat seperti onta, terkadang seperti orang yang sedang duduk dan lain sebagainya sesuai hayalan yang melihatnya. Terdapat pula sepasang jejak kaki seolah-olah pemiliknya menuruni dinding goa dengan berjalan.
Ada lesung, ada ular yang menjadi batu, ada kendi dan ada pula kampak yang terbuat dari batu. Setelah puas melihat-lihat rombongan keluar dan kembali harus merogoh kantong dan membayar retribusi Rp 5 ribu rupiah perorangnya. Perjalanan mengelilingi Danau Laut Tawar pun dilanjutkan.
Lebih kurang satu jam kemudian rombonganpun tiba kembali di penginapan dan jam telah menunjukkan pukul 18:00 WIB. “Danau yang terlihat kecil dari sini, ternyata sangat luas. Kita butuh waktu hampir 3 jam untuk mengelilinginya,” ujar Khairul Fu`ad, Pelaksana Urusan Umum Kankemenag Tamiang yang ikut dalam rombongan. [y]
[Muhammad Sofyan dkk, peserta Rakor Data 29-31 Agustus, dan Pelaihan Jurnalistik 25-27 Agustus yang digelar Subbag Inmas di Takengon dan Banda Aceh]