CARI
Rekomendasi Keywords:
  • Azhari
  • Kakanwil
  • Hari Santri
  • Halal
  • Islam
  • Madrasah
  • Pesantren

Kuliah Shubuh: Adab Makan di Warung

Image Description
Inmas Aceh
  • Penulis
  • Dilihat 884
Jumat, 22 April 2016
Featured Image

[Banda Aceh | Yakub]  Jika mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)disampaikan pada pagi Kamis (oleh Drs Tgk H Ameer Hamzah), Ilmu Hadits dijadwalkan pagi Sabtu (oleh Drs H Muharrir Asy’ary MAg), dan mata kuliah Ilmu Kesehatan disampaikan shubuh Ahad (oleh dokter dari Ikatan Dokter Indonesia/IDI Aceh), maka seusai shubuh Jumat, ceramah di Masjid Raya Baiturrahman disampaikan oleh Drs Tgk H A Karim Syeh MA.

Dalam kuliah shubuhnya, Ustadz A Karim, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh banyak memilih tema aktual, problem umat, dikaitkan dengan Ilmu Tauhid. Dalam kuliah shubuh yang disiarkan langsung berbagai radio itu, Tgk A Karim sampaikan adab memilih dan menikmati mi, martabak, kopi, nasi, dan ikan asin.

Martabak Telor dan Tahi Ayam 

Dalam tema Adab Makan di Warung itu, Kepala MPU itu sampaikan, “Serekanan turis di Banda Aceh, memesan martabak telor, di sebuah warung. Namun kali ini, kejijikan dipertontonkan oleh salah satu pedagang martabak kita. Ada kotoran di cangkang telur, yang masuk ke adonan martabak. Andai bule tidak melihat, dan kalau saja ia tak menegur, atau ia menegur tapi diacuhkan pembuatnya, tentu najis itu akan ikut ke piring, bersama sajian enak pada siang itu.”

Lanjutnya, “Ini hanya sebaris kisah mendebarkan dada dan mengocok perut kita. Itu cuma kasus (kasuistis) sepiring martabak yang bernajis. Kulit telur yang lahir ke dunia, satu jalan dengan tahi dan tinja ayam itu, tetap najis selama belum dicuci. Padahal praktis saja, hanya dengan mencuci telur sebelum dipajang  di rak, sebelum masuk wajan, dengan air suci yang mengalir, akan meyakinkan kita untuk menikmati telur setengah matang, martabak, mi spesial, dadar, dan mata sapi.” Penceramah juga ajak penjual nasi, cucilah beras dengan air yang tak terpercik dengan air kamar kecil.

Katanya, ini bisa menyibak sedikit kesadaran kita, yang rata-rata sibuk siang dan malam, di sini. Tabiat kita, yang biasanya menyepelekan esensi dalam piring, isi bungkus, dan plastik, lantaran enak dan kecanduan, justru menentukan barakah atau tidaknyasarapan dan menu siang kita. Maka adab (misalnya adab makan, minum, omong, tidur, duduk di jalan, masuk warung, dan etika buang angin dan air) itu, mesti kita pasang di atas segalanya.

Katanya, itu satu kisah memiriskan, sekaligus itu, nilai A Karim, juga memalukan, soal sepiring martabak, dan mi (dibedakan mi dengan mie, karena mi itu jenis makanan kecil panjang dari tepung, tapi mie dalam bahasa Aceh, berarti ‘kucing’).

Kisah itu ialah satu pemandangan klasik, saat serekanan turis memesan martabak pada sebuah warung. Kita yakini saja sementara, laci, rak dan apa saja yang di bawah rak, milik saudara kita itu, bersih dan dibersihkan, hingga sebening kaca, yang berjejer ‘telur australi’, dari negara tetangga itu. Meskipun abu bisa saja menebalkan rak, karena umumnya rak di depan warung, pinggir jalan.

Lanjut A Karim (pengajar di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry) di shubuh Jumat barakah itu, turis menonton (mungkin juga memfoto), aksi abang penjual martabak, di nanggroe syariat tercinta ini.

Dengan tangan kanannya, penjual yang duluan (biasa sedari pagi), telah siapkan cane, menakar kadar on bawang pre, on sop, boh kol, campli dan lainnya. Banyak dan sedikit rempah, tergantung berapa bungkus, berapa piring martabak akan dibikin, yang kita pesan. Ini lain lagi, jika sepiring dengan dua telur, tentu berbeda dengan sebungkus dengan satu telur. Juga di samping berbeda taksirannya, di mana rak itu berada.

Kita yakini saja sementara, cane sebagai bahan dasar martabak, sudah steril dengan tepung dan racikan lainnya, yang halal, dari belanjaannya di pasar. Penjual tadi, dirabanya rempah dan garam. Sementara api kompor, bertabung 3 kg atau 12 kg disetelnya, dengan tangan kanannya. Jika ada yang perlu digeser lawat api, digeser juga dengan tangan kanannya.

Dimasukkan rempah dan telur ke dalam gayung di tangan kirinya. Lalu dikocok, diaduk, dan sendok digoyang dengan kencangnya, hingga siap ditumpahkan ke belanga datar lebar. Tergantung api dan panas, tak sampai 10 menit martabak masak, siap disaji. Kita bisa terka, saat penjaja martabak, di sisi belanga lebar besar itu, memecahkan telur dalam gayung, atau menanti masak, dia bisa layani pelanggan di dalam, dengan memegang gayung kopi, atau mengembalikan duit, dengan tangan kanan yang meraba dan memecahkan telur tadi.  

Ini kasus kecil? Terlepas dari siapa yang menyantap: kali ini mereka selaku tamu, lain kali tentu kita sebagai tuan rumah. Namun jika kita yang menyantap mau jujur, dan pedagang juga mau lurus, dan kita bersama-sama mau merunut lagi: kasus pemutih, pengawet, penyedap, pewarna, pestisida, atau pencampuran sajian enak dengan zat haram, percampuran najis hewan dengan ikan jemur, taji dengan biji kopi, ini bisa kasus besar!

Atau ada zat pembunuh dalam, misalnya mi, bakso, siomai, sosis, sate, beras, ikan, ikan asin, kecap, saus, kuah, sayur masak, atau iekupi dan seterusnya, tentu itu bukan kasuistis lagi, tapi sudah malapetaka! Sungguh, seteguk minuman dan sesuap makanan, juga menentukan alamat di keabadian kita hamba-Nya, akan ke surgakahatau ke nerakakah langkah kita kelak. Usai kita singgah di alam barzakh, esok hari, karena sakit atau kecelakaan.

Memang doa awal makan-minum, belum memadai, jika kita masih pura-pura dan menutup mata, untuk hindari makanan dan minuman. Meskipun sepenggal doa, insya Allah bisa menawarkan (peutabeue) kuman, virus, bakteri jahat, dan benih penyakit.Dan ini bukan hanya soal makanan ringan, cemilan, dan menu makan keluarga yang sudah siap santap, tapi juga sumber dan cara meraciknya.

Kesadaran kita ini, soal ulah sebagian saudara kita yang mengais rezeki, tapi masihsaja suka bercanda dengn najis. Kadar jijik, jorok, dan kotornya sebagian pengelola warung kita misalnya, memang abai dan cuek dari kontrol kita bersama.

Jika menu sudah ke meja, mulut, dan perut, maka halal dan syubhat sama rasanya. Namun, barakah atau belum menu si kaya dan si papa, hati ini saja yang bisa merasa, naluri ini saja yang bisa meraba, saat kepuasan kian menjauh dan penyakitan makin mendekat.

Mi Spesial dan Daging Mentah

Potret itu, juga barangkali secuil dari kelicikan sebagian pedagang kita. Sama saja, kelihaian itu, tumbuh dari deretan rak di cafe dan restoran, atau di ujung lorong, di ujung gampong kapupaten dan kecamatan pemekaran.

Dalam ceramah shubuh Jumat di Masjid Raya Baiturrahman (yang imam rawatibnya rutin bacakan QS As-Sajadah, lantas ada sujud tilawah sekali dalam rakat pertama) itu, penceramah juga uraikan sebagian pedagang, yang layani pelanggan dengan mi spesial, dengan telur dihamburkan di dalam mi itu.

Sama halnya, telur yang sama bulatnya dengan telur si pedagang martabak tadi, ia terbit dari anus ayam betina. Kisah mi spesial, dengan daging di atas rak, digantung di kawat itu, juga disindir oleh penceramah di Baiturrahman (yang halaman masjid sedang dibikin basemen, perparkiran, dan payung) itu.

Penceramah kisahkan, ada suatu kali mereka memesan mi spesial, dengan daging cincang. Saat ketahuan, dan ini ulah umumnya tukang mi dengan daging yang belum dicuci, yang langung terjun ke belanga. Menurutnya, daging yang dibeli mesti dicuci dulu, baru digantung, atau dicuci lalu dicincang, jika mau halal. Meski dalih penjual, jika dicuci, katanya cepat busuk, tetap daging itu najis, jika dimasak tanpa dicuci. Akhirnya, mi, nasi goreng, sate, siomai, dan lainnya, jadi najis lantaran bercampur dengan daging bernajis tadi.

Ikan Asin, Biji Kopi, dan Kencing Anjing

Penceramah juga sindir dan gambarkan betapa jijik dan bernajisnya penjual ikan (ikan asin di pantai, misalnya), yang dibiarkan hewan masuk dan berak serta pipis dalam ikan itu. Sama halanya dengan penjemur aneka kerupuk ikan dan kerupuk lainnya, yang ayam, bebek, kucing, dan anjing main ‘petak umpet’ (meu’en petpet) di atas jemuran, sebelum dipasarkan, dan dibeli anak belia dan istri tercinta kita.

Dalam kuliah shubuh di Masjid Raya (yang malamnya sesak oleh majeli zikir, (tapi shubuhnya dimakmurkan oleh jamaah lain, yang kurang dari lima shaf, sedangkan majelis zikir makmurkan masjid di dekat rumah masing-masing), penceramah juga singgung nikmatnya secangkir kopi hitam. Namun, mari kita lirik sesekali, saat lewati penjemur kopi di sana itu. Jemuran biji kopi (yang usai masuk cafe miliki puluhan nama nanti) itu, berebutan dengan ayam, bebek, kucing, dan anjing, main ‘petak umpet’, dan sesekali mereka juga buang hajat joroknya di situ!

Tujuan penceramah urai topik makanan halalan dan thayib (baik, higine, dan menyehatkan), pada shubuh dingin Jumat itu, selain agar pelanggan dari Balohan hingga Haloban kian hati-hati, waspada, dan bijak sebelum memilih jajanan warung dan kantin, juga sekalian cambuk perih dan desakan bagi penjaja, di rak seluruh Aceh itu. Zat haram dalam badan insan, membentuk jaringan, dan terus dikejar neraka.

MPU dan kita harap, menjual, hilangkan pengawet dan penyedap yang merusak. Agar penyembelih, bacalah minimal basmalah saat menyembelih, dan tunggu betul-betul binatang mati, baru bersihkan dan mencincang. Agar penjual sudi mencuci daging dan telur, dan penjemur ikan dan kopi, mau menjaga area jemuran dari najis. 

Tujuan akhirnya, katanya, kita bisa meminimkan unsur haram dalam tubuh, baik kita yang duduk nongkrong, maupun kita yang pesan bawa pulang bungkusan. Akhirnya kita dan generasi Aceh bisa terang hati dan cerdas otaknya, bukan kita dan generasi Aceh, pemakan najis, na’udzubillah. Terlepas semua itu, mari jaga adab makan, tidak loba, cuci tangan, pakai tangan kanan, dan minimal bacalah bismillah di awal, dan akhirnya iringi dengan alhamdulillah, meski tidak geureu-op (sendawa), oouughffhb![]

Tags: #
Tentang
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota.
Alamat
Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242
Lainnya
Media Sosial
© 2023 Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
Oleh : Humas Kanwil Aceh