[Ulee Kareng | Muhammad Yakub Yahya] Mari kita simak tiga ujaran dari Khalifah ke 3, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw (karamallahu wajhah). Moga tiga nasehat ini, jadi cemeti bagi saya pemberi taushiah, dan bagi jamaah ta’ziyah, serta pembaca sekalian.
Sayyidina Ali, menantu Nabi Muhammad SAW, nasehati kita, yang sarjana atau belum, “Alangkah indahnya hidup jika pertama, jadikan Islam sebagai kenikmatan.”
Maknanya, jika pedoman hidup sesuai dengan tuntunan Allah dan risalah Rasulullah, maka akan terasa nikmatnya hidup nan singkat ini. Tapi kenikmatan bagi siapa? Jawabannya, bagi yang tidak sakit, atau kenikmatan bagi yang sehat lahir batin (qalbun).
Bagaikan makanan lezat bagi si sakit, yang tidak akan melezatkannya (bahkan bau makanan itu saja dia bisa muntah), demikian juga dengan kenikmatan Islam, yang tidak bisa melezatkan jiwa bagi yang sakit.
Jadi, Islam tidak akan lezat dan ‘gurih’ bagi yang ada penyakit hati dan penyebabnya, seperti dendam, dengki, riya’, sombong, ‘ujub dan saudaranya.
Sambung Baginda Ali, suami Fathimah binti Muhammad itu, pada kita yang padat volume kerja atau tidak di kantor atau luaran, “Alangkah bahagianya, alangkah indahnya jika ketaatan kita jadikan sebagai kesibukan.”
Maksudnya, bagaimana pun sibuk kita, itu kesibukan masih dalam bingkat ibadah, bukan cuma hura-hura, dan hanya ikut-ikutan, atau sibuknya itu bukan atas ketaatan pada Allah dan Nabi-Nya. Jika beradu ketaatan pada yang bukan pada ketaatan Allah, dengan ketaatan pada Allah, mari menangkan yang itu perintah Allah SWT.
Lanjut Ali bin Abi Thalib (yang mula-mula masuk Islam dari kalangan pemuda di Makkah), pada kita yang dapat tunkin, dapat sertifikasi, atau homorer, “Alangkah bahagianya, alangkah indahnya kita, jika kematian saudara kita, kita jadikan sebagai ‘ibrah.”
Maksudnya, kita ambil hikmah dan pelajaran dari kematian saudara kita, mungkin itu yang se kantor atau satu kampung. Atau keluarganya. Jika kematian tidak bisa jadi obat, maka tak ada apotik dan doto lagi, untuk mengobati kedurhakaan kita.
“Kita harus sadar, saat kenakan baju baru, misal saat ke kantor, bisa saja itu baju cantik, tapi nanti kita akan dikenakan ‘baju putih’ tanpa dijahit (kafan),” jelas Drs H Herman MSc, di hadapan jamaah ta’ziah, termasuk Kakanwil, Kabag TU, para Kabid, Kakankemenag Bener, para Kasubbag/Kasi, DWP, dan jajarannya, serta staf Pembimas (15/1).
“Kita bisa tinggal di rumah mewah, komplek Kanwil atau bukan, mungkin mewah (baca: antik) atau sederhana, tapi kita harus sering ingat, nanti akan ditidurkan dalam tanah hingga kiamat tiba, pertama memang di atas papan yang tak diketam pula, dan dimandikan tanpa wewangian yang mahal pula….,” tutup H Herman, Kabid PHU Kanwil, sambil terisak dan sekakan air mata, dalam taushiah di Jalan Kebun Raja, Lr H Yahya, Ulee Kareng, di kediaman Saudara Faisal Yahya, SHI (Staf di Bidang Urais Binsyar), atas meninggal dunia ayahandanya, tahun lalu, Almarhum H Muhammad Yahya bin H Muhammad Yusuf.
Allaahummaghfir lahum warhamhum wa ‘afihim wa’fu ‘anhum…
[amwar/ahsan/fajriah/lia/akhyar/gepe]