[Karang Baru | Muhammad Sofyan] Tulisan ini terinspirasi dari masukan teman-teman sesama operator keuangan saat berbincang-bincang santai saat istirahat siang. Mereka mengeluhkan mengapa terjadi ketimpangan dalam penentuan grade remunerasi.
Ketimpangan penentuan grade Tunjangan Kinerja (Tunkin) yang kami maksudkan di sini adalah ketimpangan yang terjadi antara Fungsional Umum (Struktural) terutama bagi mereka yang memegang JFU (Jabatan Fungsional Umum) dengan Fungsional Tertentu (Fungsional), seperti penyuluh.
Menurut hemat kami ada beberapa ketimpangan yang sangat dirasakan oleh pemegang JFU (terutama para operator keuangan seperti BMN, PDG, Bendahara).
Bila kita mau jujur mereka ini sebenarnya adalah salah satu ujung tombak berhasilnya Kementerian Agama memperoleh prediket WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) laporan keuangan dari BPK.
Mereka telah bekerja pontang-panting menyiapkan segala tek-tek bengek laporan keuangan namun saat penentuan Grade mereka justru seakan dimarginalkan.
Sementara itu para penyuluh yang bekerja santai justru mereka lebih banyak menikmati Tunkin (Tunjangan Kinerja) karena gradenya jauh lebih besar.
Para Operator Keuangan dan Bendaharawan hanya mendapat Grade 7 Maksimal (bila berpendidikan S.1) dan Grade 6 (bila pendidikannya masih SLTA) bahkan ada yang berada pada Grade 5 (seperti PDG) dan kenaikan pangkat mereka tidak mempengaruhi pada Gradenya.
Sementara itu Jabatan Fungsional Tertentu (seperti Penyuluh) Grade mereka minimal berada pada Grade 7 dan kenaikan pangkat mereka mempengaruhi Gradenya.
“Ini tak adil, kita yang pontang-panting tapi kita termarginalkan,” teriak mereka oleh karena itulah lewat tulisan ini kami sangat berharap perhatian semua pihak di jajaran Kementerian Agama mohon kirannya mereka-mereka ini diperhatikan atidaknya bisalah disejajarkan dengan penyuluh. Setuju... [yyy]