Ketika Cahaya dari Dayah Mulai Redup (Sebuah Tafsir Kritis atas Marginalisasi Intelektual Dayah di Kampus Islami)
Oleh Dr. Saiful Bahri, M.A., Pemerhati Pendidikan Islam dan Peneliti Isu Sosial Dayah.
Dalam ruang-ruang akademik yang bergelimang modernisme, kita sering mendengar cibiran halus hingga sinis kepada para Teungku (Tgk) dari dayah. Mereka dicitrakan tertutup, enggan membuka diri, dan dituduh menolak perkembangan zaman. Stereotip ini begitu kuat, bahkan menjadi narasi dominan yang membentuk cara pandang institusi formal terhadap dunia dayah. “Pikiran mereka sempit,” begitu suara-suara itu bergema, nyaris tanpa ruang klarifikasi.
Namun zaman bergerak. Transformasi pelan tapi pasti terjadi. Para intelektual dayah mulai menempuh pendidikan tinggi, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Mereka kini menjejakkan kaki di jenjang magister, doktoral, bahkan tengah bersiap menuju gelar profesor. Tak sedikit pula yang lulus seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai dosen, dan kini berdedikasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Bukankah ini sebuah prestasi kolektif yang seharusnya disambut sebagai pertanda bangkitnya sinergi antara tradisi dan modernitas?
Namun sayang, angin perubahan itu kini terasa hambar. Justru di tengah semangat inklusivitas dan keadilan akademik, muncul fenomena baru yang memprihatinkan: marginalisasi terselubung terhadap intelektual dayah di institusi yang mengaku berbasis Islam. Di salah satu PTKIN di Aceh yang baru beralih status dari institut menjadi universitas, santer terdengar kabar bahwa alumni dayah yang kini menjadi dosen, meskipun memiliki kompetensi dan kontribusi yang jelas, tidak diberi ruang dalam struktur manajerial. Pikiran mereka yang cemerlang seakan dikebiri, kontribusi mereka dihalangi, dan kepercayaan terhadap mereka dikikis secara sistemik.
Apakah ini yang dimaksudkan dengan meritokrasi akademik? Apakah PTKIN kita telah menjadi ruang kompetisi yang sehat atau justru menyuburkan eksklusivisme baru atas nama akademik semata?
Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menyatakan dalam Pasal 8 bahwa “Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan oleh satuan pendidikan tinggi tempat bertugas.” Tak ada satu pun ayat atau pasal yang menyebutkan latar belakang kultural (seperti alumni dayah) sebagai penghalang dalam mendapatkan peran strategis di kampus.
Demikian pula Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 58 Tahun 2017 tentang Statuta PTKIN menegaskan bahwa jabatan-jabatan struktural dan fungsional dalam PTKIN harus diberikan secara objektif, proporsional, dan berdasarkan kompetensi serta prestasi, bukan asal-usul.
Ironisnya, ketika dunia akademik menuntut keberagaman perspektif dan keterbukaan pemikiran, justru ada segelintir elit institusional yang mencoba memonopoli otoritas dan menafikan kontribusi kalangan tertentu. Padahal, jika kita menengok kembali pada nilai-nilai dasar pendidikan Islam, sebagaimana diajarkan oleh para ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali atau Syekh Nawawi al-Bantani, ilmu tidak mengenal tembok dan tidak boleh dibatasi oleh kasta sosial atau latar lembaga.
Hari ini kita dihadapkan pada ironi sejarah: ketika cahaya dari Timur, yakni pesantren dan dayah, telah menyinari ranah intelektual kampus, justru terang itu ingin diredupkan oleh kepentingan sempit. Bila hal ini dibiarkan, maka PTKIN hanya akan menjadi menara gading yang kehilangan akarnya. Kampus yang mestinya menjadi rumah bersama umat Islam, justru akan menjadi ruang eksklusif elit akademik yang alergi terhadap kearifan lokal.
Sudah waktunya kita membangun kesadaran bersama bahwa integrasi antara tradisi dayah dan dunia akademik bukanlah ancaman, melainkan peluang besar menuju peradaban Islam yang utuh: berpijak pada akar dan terbuka pada langit. Memberi ruang kepada intelektual dayah bukan soal belas kasih, tapi tanggung jawab moral dan konstitusional. Karena sejatinya, membunuh satu pemikiran yang jujur, sama saja dengan mematikan satu generasi pembaru.[]