[Banda Aceh | Yakub] Sejumlah harapan diminta dari santri dayah, misalnya melalui workshop karya tulis untuk santri salafi se Aceh, Rabu-Jumat (24-26/8) itu.
"Bagaimana cara santri di pesantren kini bisa lanjutkan tradisi ulama dulu, yang banyak menulis kitab. Di samping menulis kitab, santri dimohon juga mampu menulis di media," di antara harapan yang disampaikan Plh Kakanwil Kemenag Aceh H Abrar Zym SAg, saat membuka workshop bagi 25 santri salafi se Aceh, di Grand Permata Hati Hotel Blang Oi, Banda Aceh.
Lanjut H Abrar Zym yang juga Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kanwil Kemenag Aceh itu, bagaimana dulu, pengaruh tulisan ulama dayah. Seperti dulu, karya Tgk Chik Pante Kulu atawa Tgk Tanoh Abee, yang mempengaruhi pembaca untuk berjuang, melawan penjajah.
"Karya santri akan jadi pelita seluruh dunia," harapnya, di hadapan undangan dari jajaran Kanwil. Saat yang sama Bidang Penaiszawa pun sedang gelar acara di tempat yang berbeda.
Plh Kakanwil uraikan peran santri, dikaitan dengan pelita tadi, dibandingkan dengan apa yang ditulis kalangan lain, katakanlah oleh sekuleris. "Apa yang ditulis sekarang di media, kadang dicampur dengan hal yang tidak benar. Sedang enak kita baca, di ujungnya ada upaya pemurtadan. Enak-enak kita baca, di ujungny ada pendangkalan akidah. Enak-enak kita baca, di ujungnya ada kesesatan. Enak-enak kita baca di ujungnya ada radikalisme, ada syirik," banding H Abrar, antara liarnya media sekarang di tangan kalangan sekuler misalnya, dengan yang di tangan santri.
H Abrar bahkan menyebut kehebatan santri, yang bisa menggenggam nusantara, semisal Gus Dur itu. Harapnya lagi, santri dan pesantrenny bisa menjadi penyejuk, dan penyelesai problem (problem solving) umat. "Santri juga bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah," kutipnya dari satu motto, meminjam mottonya Pegadaian.
Harapnya, lewat acara ini, santri rajin menulis. Menulis apa saja, sebelum hilang bersama pemiliknya. "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya...," ulang H Abrar, dari kutipan Ali bin Abi Thalib ra.
Katanya, "Berbicara, berdakwah di mimbar sebenarnya sama juga dengan menulis. Namun berbicara itu hilang, menulis akan tidak hilang, meskipun penulisnya meninggal dunia."
Maka harapnya, "Budayakan menulis. Kadang omongnya enak, menulis sulit. Dengan dibiasakan akan mudah."
"Dengan bahasa indah, susunan kata yang menarik, bisa mengubah orang lain, bisa mengubah sebagaimana mengubah lewat mimbar itu," bandingnya lagi.
"Dengan menulis, santri harus paham jurnalistik. Orang yang paham jurnalistik, akan paham dunia. Penulis, kayak penceramah, biasa dia yang banyak membaca," sebutnya berkiat, dalam acara yang dipandu doa oleh salah satu peserta Tgk Ismail (foto).
Akhirnya, H Abrar membandingkan opini dari ujung pena santri dengan yang bukan santri. "Jika santri menulis, opininya insya Allah positif," tutupnya, dalam acara bertemakan Melanjutkan Tradisi Menulis untuk Taklukkan Dunia, yang juga ada materi Motivasi Menulis Santri oleh Abdul Hamid M Jamil Lc, dan Menulis Opini pada Media berasam Arif Ramdan MA, dari Harian Serambi Indonesia itu. []