[Banda Aceh| Muhammad Yakub Yahya] Jika dokter ada spesialisnya, maka guru pun juga dispesialisasikan. Sejak beberapa tahun lalu, difortofoliokan berkas guru. Atau jika belum lulus, dimasukkan lewat PLPG. Demikian di antara paparan Drs Saifuddn AR, Kabid PAI Kanwil Kemenag Aceh, di Hotel Grand Naggroe (21/2).
Ada tenaga medis, yang belum spesialis saat mengobati orang, bukan sembuh pasiennya, tapi mungkin meninggal. Sehingga lulus dari kedokteran, di-koas-kan dulu, kuliah lagi, dan ambil spesialisasikan lagi.
Bagamana lagi yang disembuhkan jiwa dan mental anak didik, jika yang di depan itu belum spesialis. “Selama ini, pendidik yang diluluskan PT (keguruan) masih dalam tahap pendidik, bukan guru,” tambah Saifuddin AR, dalam acara Sosialisasi USBNPAI 2014.
Ada kala juga, saat yang sama guru lebih, tak merata, tapi guru kuran, karena seselasi S1 guru itu tak mau pulang lagi ke kampungngya. “Ke kampung sendiri tak mau dia mengabdi, apalagi ke kampung lain,” jelas Saifuddin, di hadapan 50 peserta dari Kasi PAIS/PENDIS/PAKIS Kankemenag se Aceh, juga Kabid dari Disdik se Aceh.
Kabid PAIS Kanwil Kemenaterian Agama Aceh yang lama melalangbuana di Bidang Pekapontren dan Bidang Mapenda Kanwil Kemena Aceh, kupas dengan sarat lelucon itu, di antara permasalahan guru agama, dan guru lainnya hari ini.
“Ada guru yang sampai pensiun tak pernah ikut Diklat. Padahal mestinya dua tahun sekali, ia harus diiukutkan Diklat,” sambungnya.
“Ada guru yang kampusnya saja sekarang tinggal ruko,” saat menyindir ada foto yang dipajang guru di dinding, yang saat ditanyai anaknya, di mana kampus mama dulu. Begitu nasib kampus swasta kita.
“Saat seorang rektor meminta peserta (acara guru) mengacungkan tangan, yang mana yang lulusan PT negeri, maka yang tunjuk tangan cuma 3 dari puluhan lainnya,” kisahnya, yang mengandung makna, bahwa kebanyakan guru dari swasta,” jelasnya.
“Ada yang diploma matematika atau biologi, karena PT yang ada jarak jauh di daerah, sementara guru harus S1, dan tak boleh meninggalkan tugas, maka dia sambung S1 di PAI,” sindirnya. Ini karena di daerah yang banyak konsektrasi untuk keguruan itu jurusan PAI.
Demi setifikasi, bagaimana pun cara disiasati sebagian guru. Ada main mata mungkin dengn Disdik atau Kasi PAI di daerah, atau di Kasi lainnya. “Jika ada uang sertifikasi, kadang satu buku pun tak dibelikan guru dengan uang itu. Padahal buku Abu Nawas kan bisa dibelikan satu dan dibaca-baca. Bagaimana mengembangkan SDM-nya?” tanya Pak Din (sapaan untuk Drs Saifuddin).
“Belum lagi ada pengawas yang tak turun ke lapangan. Ada pengawas yang turun, tapi dia tak paham SP tapi saat melihat tebalnya berkas, ia manggut-manggut saja,” kisahnya.
Soal sarana, Pak Din cerita, “Ada guru yang cinuet murid saat tak mau shalat, tapi mushalla sempit, dan kran cuma 3 buah. Akhirnya anak-anak terpaksa shalat dalam kubangan dosa, karena tidak ada wudhuk.”
“Dalam ranah politik, ada tekanan dari Bupati pada Kadisdik. Kepala Dinas menekan Kepala Sekolah, hingga korban anak didik,” jelasnya. [a/f/l]