[Kanwil | Yakub] Jika dalam apel pagi Senin (22/6) Kabid PD Pontren (Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren) Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh H Abrar Zym SAg, berkisah satu dialog antara raja-kakek (dialog singkat ini mengajarkan kita, yang muda dan tua, yang baru dan yang akan pensiun, agar tetap kerja dan semangat), maka dalam taushiah ba’da zhuhur, H Abrar mengisahkan tragedi 'anak raja dan seorang nenek'.
“Alkisah, suatu pagi, anak raja yang tunggani kuda menabrak seorang nenek, meninggal diinjak kuda!” Kabid mengawali kisah dengan sedikit kocak.
Dulu anak raja istimewa, diistimewakan di depan hukum. Kini, bagaimana? Maka saat dihadapkan ke mahkamah, hakim menuntut anak raja itu dihukum mati, qishash."Nyawa dibalas nyawa...!" kutip pak hakim dan pak jaksa.
Anak raja membela diri, bahwa ia tak mau disalahkan. Sebab saat dia lewati jalan itu, dia keasyikan melihat seorang gadis yang kenakan pakaian yang merah sekali. “Hukumlah gadis itu….,” pinta anak raja.
Wanita itupun dipanggil dan dituduh sebagai penyebab masalah: karena dia pakai baju yang terlalu merah di siang bolong, maka anak raja terpana, kudanya membelok, nenek mati diinjak kuda. "Hukum dia...!" hakim berdalih.
"Saya tak mau disalahkan..., salahkah yang jual baju, kenapa dia jual baju merah sekali," wanita itu membela diri.
Penjual baju merah dipanggil, dihadapkan ke meja hijau. Gara-gara dia jual baju sangat merah, wanita itu membelinya, dan dia kenakan siang itu, anak raja terpesona, dan nenek terinjak kuda aneuk raja. "Gantung dia...!" hakim menvonis.
"Saya tak mau disalahkan..., salahkan orang pabrik yang menenun dan mengecat kain baju terlalu merah. Saya hanya menjual," bantah penjual, sembari memohon agar awak pabrik kainlah yang dihukum.
Orang pabrik dipanggil. Manajernya ditanyai, kenapa pabriknya memproduksi kain merah, baju merah, sehingga dibeli penjual, dan penjual menjual di tokonya, yang gara-gara itu, dibeli wanita, dan wanita itu memakainya dengan anggung, serta anak raja terkesan memandangnay, dan akhirnya kuda yang ditungganginya menabarak wanita itu. "Gantung manajer!" teriak hakim, sambil memegang palu.
Memang jika salah satu bidang, Kadbid yang kena, jika salah di kantor sang bos yang kena, ini barangkali. "Jangan salahkan saya...., salahkah anak-anak buah saya, kenapa dia mencampur cat terlalu merah," bela direktur pabrik kain, bagai jen ek u langet itu.
Hakim bilang, "Panggil anak buah pabrik." Staf membela diri, tapi dia kurang pendidikan, kata-katanya kacau, dia sempat bilang meutunggeng plok cet saat meramu warna kain, tumpalah warna merah semua.
"Algojo, gantung dia!" Diikat di tiang gantunganlah dia. Namun sayang dia tak mati, karena tinggi dan panjang....
"Pak hakim, dia tak mati....," komplain algojo.
"Ah, cari yang pendek, karyawan yang lebih pendek. Gantung ia!" Maka yang sosok yang pendek (seperti saya mungkin), yang digantung, padahal ia tak bersalah," hhhh begitulah, danjamaah tersenyum.
Selain kisah anak raja-nenek, Kabid juga ulangi, di Mushalla Al-Ikhlash itu, akan pentingnya kita mencatat dan menghitung catatan sendiri, sebelum dihitung malaikat kelak, saat mati.
“Terutama di bulan barakah yang dilipatgandakan amalan baik kita, mari kita tingkatkan halaman buku amalan baik yang dicatat detil malaikat itu,” ajak Pak Abrar Zym.
“Orang yang senang dengan datangnya Ramadhan, dan beramal siang dan malamnya, dia taat pula seusainya, maka kelak akan menerima buku amalan dengan tersenyum,” jelasnya, sambil mengutip sebuah ayat dalam QS Al-Ghasyiah, “wujuuhuy yawmaidzin naaimah…. ‘hari itu wajah-wajah tersenyum senang….’
Lanjut Ustadz Abrar Zym, “Ada yang masuki Ramadhan dia tetap maksiat, tidak senang, dan tidak beramal baik, serta lewat puasa dia beasa aja, maka wajahnya saat menerima buku amalan dengan masam dan malu…..”
Di sini Ustadz yang malamnya tampil di Masjid Raya Baiturrahman, sebelum tarawih malam ke 6 itu, kutip ayat, “wa wujuuhuy yawmaidzin khaasyi’ah….“
Paginya, di hadapan peserta apel Senin (22/6), dari Staf, para Kasi/Kasubbag, para Kabid, dan para Pembimas di Kanwil Kemenag Aceh, Ustadz Abrar memulai satu kisah, dengan gaya kocaknya:
“Seorang Raja bernama Nusyirwan, pada suatu hari jalan-jalan di pedesaan. Raja dapati seorang kakek yang sedang menanam kurma. Dan raja ingin mengetes ketekunan kakek,” H Abrar memulai.
Tanya Raja dari Kekaisaran Persia itu, “Apa di tangan kakek, dan kek sedang apa di sana?”
“Sebiji kurma, sedang menanam kurma, wahai Tuan Raja,” jawab kakek yang sudah ‘uzur, yang sudah dekat kubur.
“Untuk apa kek, bukankah kakek sudah senja, kurma belum berbunga, kurma belum sempat berbuah, kakek sudah meninggal…,” tanya Raja, penguasa negara yang kini disebut Iran, pada kakek yang tubuh ringkih dan badan sudah bungkuk.
“Tuan Raja, ada dua alasan saya menanam biji ini. Pertama saya teringat amanah Rasulullah SAW yang mengajarkan, bahwa ‘Jika di tanganmu ada biji, dan kamu tahu besok akan kiamat, tanamlah biji itu….’,” jawab kakek yang rambutnya sudah memutih, dan giginya sudah ompong itu.
“Kedua, bukankan yang kita makan sekarang ini buah dari tanaman yang ditanam orang sebelum kita. Salahkah saya wahai Tuan Raja, andai saya menanam agar bisa dinikmati orang sesudah kepergianku?” tanya dan jawab kakek diplomatis.
“Bahwa apa yang kita ukir sekarang, akan dikenang dan dipetik oleh anak cucu kelak, meskipun cucu nanti berebutan memanen hasil kerja kakeknya,” jelas Ustadz Abrar, yang beberapa bulan lalu sempat ke Lebanon, jajaki kerja sama dayah Aceh dengan negara Timur Tengah itu.
“Cerdik sekali pemikiran kakek ini,” Raja membatin, dan diserahkannya pada kakek sejumlah dirham, tanda Raja senang dengan tekad dan motivasi dari kakek.
“Iya ‘kan Tuan Raja, baru kita menanam, sudah bisa mengetam hasilnya…,” balas kakek setelah menggenggam dirham, sambil berterimakasih, syukran pada Raja.
H Abrar yang tahun ini dapat amanah sebagai petugas TPHI Aceh, mengakhiri amanat apel perdana, pagi Ramadhan (5 Ramadhan) itu, “Raja tambah senang, dan diserahkannya lagi dirham, lalu diterima kakek, dan balasanya lagi dengan kalimat syukran.”
“Iya ‘kan baru menanam, belum berbuah sudah dapat pensiunan….,” tutup Pak Kabid, yang disertai tawa jamaah apel, sambil hadap kanan dan hadap kiri, masuk ke ruang, karena kantin tutup.
[foto: sebagian jamaah bersama kabid pd pontren kanwil kemenag aceh saat taushiah di mushalla al-ikhlash kanwil, zhuhur senin (22/6)]