[Aceh Besar | Irfan Siddiq ***] Dalam rangka mencegah penyalahgunaan narkoba, Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Narkotika Nasional telah berupaya keras menumpas segala bentuk peredaran serta penyalahgunaan narkoba, berbagai kebijakan hukum juga diterapkan bagi pengedar dan pemakai narkoba, ditambah lagi dengan Milyaran rupiah yang digelontorkan untuk mensosialisasi bahaya penyalahgunaan narkoba kepada masyarakat, namun hingga kini usaha-usaha tersebut belum mampu mencegah penggunaan dan peredarannya secara tuntas.
Ketidakberhasilan pemerintah dalam menumpas narkoba secara menyeluruh, menimbulkan dua pertanyaan besar dikalangan masyarakat awam, Siapakah yang harus diperbaiki dalam kasus ini (narkoba)? Pengguna narkoba itu sendiri atau penjual dan pengedar narkoba yang harus dibasmi secara habis-habisan?
Menjawab pertanyaan tersebut adalah sesuatu yang sangat sulit dan tidak ada titik temunya, karena adanya penjual dan pengedar narkoba disebabkan karena ada permintaan akan narkoba itu sendiri. Begitu juga dengan sekian banyak kasus, penyalahgunaan narkoba terjadi karena barang itu sendiri ada dihadapan pengguna. Maka, perlu dikaji lebih jauh solusi-solusi apa yang yang saat ini harus disajikan kepada masyarakat agar narkoba itu sendiri dibenci oleh penggunanya, meski narkoba telah terpampang dihadapan mata.
Pemuda merupakan populasi terbanyak yang terjangkit kasus dan virus narkoba, mereka adalah kelompok sosial yang harus mendapat perhatian lebih dalam pencegahan narkoba. Cara demi cara harus digiatkan untuk kalangan muda agar benar-benar terjahui dari narkoba.
Menyoal pemuda, tentunya ada berbagai kelompok usia muda yang saat ini berkumpul di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia, jika di sekolah umum disebut siswa atau di bangku perkuliahan dikenal dengan mahasiswa, maka pelajar di pondok pesantren disebut sebagai santri. Baik pondok pesantren yang menjalankan pendidikan formal maupun informal, pada umumnya santri dididik fokus mempelajari bidang agama. Namun pada dasarnya, tidak ada perbedaan karkter khusus antara siswa beragama Islam di sekolah umum dengan santri yang ada di pondok pesantren. Karena prinsip setiap lembaga pendidikan adalah satu, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun demikian, ada hal menarik lainnya yang patut dikaji lebih mendalam tentang dunia pondok pesantren, sehingga kehidupan didalamnya jauh dari penyalahgunaan narkoba.
Provinsi Aceh misalnya, di daerah ini pondok pesantren dikenal dengan nama lain dayah. Baik dayah modern dan tradisional (disebut juga salafiyah), jumlahnya secara keseluruhan mencapai ribuan yang tersebar di 23 kabupaten atau kota. Menjamurnya jumlah dayah di Aceh dari tahun ke tahun, adalah fenomena yang patut disyukuri juga, mengingat selain mendukung penegakan syariat Islam di Aceh, kehadiran dayah juga secara otomatis telah mengurangi dan mencegah penyalahgunaan narkoba dikalangan pemuda Aceh.
Dalam tulisan ini, penulis menarik untuk mengupas dua faktor penting yang menjadikan proses pendidikan di dayah mampu melahirkan ratusan ribu kader berakhlakul karimah, santun, potensial, serta terjauhi dari pada hal-hal tercela, baik saat berada dilingkungan dayah maupun diluar dayah.
Beberapa cerdik pandai di Aceh hingga kini mengakui secara lisan atau tulisan bahwa praktik pendidikan yang diterapkan di dayah telah terbukti membentuk kader muda yang berjiwa santun, dapat diterima oleh masyarakat, dan jauh dari narkoba. Hal ini tidak terlepas dari proses Taklim dan Takdhim yang diterapkan di dayah itu sendiri.
Makna Taklim dan Takdhim
Dalam bahasa arab, taklim bermakna pengajar an (masdar dari ‘alama-yu’alimu-ta’liman), secara istilah berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Menurut Abdul Fattah Jalal, ta’lim merupakan proses pemberian pengatahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya ( ketrampilan). Mengacu pada definisi ini, ta’lim berarti adalah usaha yang dilakukan secara terus menerus oleh manusia sejak lahir hingga meninggal dunia untuk berangkat dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’ seperti yang telah tertuang dalam surat An Nahl ayat 78 yang maknanya ; “dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Dari tinjauan definisi, maka dapat dipahami bahwa setiap orang yang telah belajar (taklim) , maka akan memperoleh beragam hikmah dalam kehidupan, serta mengarahkannya kepada keadaan hidup yang baik, mempunyai aturan, dan terjauhi dari kekejian.
Dayah yang merupakan tempat berkembangnya ilmu agama, tentu kesehariannya dipenuhi dengan jadwal majelis taklim. Adapun pelaksanaan taklim di dayah, pada umumnya mengandung beberapa prinsip penting diantaranya, keikhlasan, ketekunan, keyakinan kuat dan rasa hormat (takdhim) terhadap muta’allimin (pengajar).
Ta’dhim yang di dalam bahasa Arab bermakna hormat, adalah sifat atau rasa yang tertanam dalam jiwa setiap santri setelah ia mengenali dengan baik orang yang telah memberinya ilmu pengetahuan, dan mengarahkan kehidupannya kepada jalan yang benar. Sehingga dalam menjalankan aktifitas kesehariannya, selain “diawasi” oleh ilmu yang dimilikinya, santri juga menanam rasa takut durhaka terhadap gurunya jika ia melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh gurunya. Dalam bahasa lain, setiap apa yang diajarkan oleh teungku (pengajar), maka santri mengibaratkan perkataan gurunya seperti “kalam Rasul”. Sehingga untuk menolak dan membantahi ajaran teungku, adalah hal yang naif bagi mereka (santri).
Ta’lim dan ta’dhim, dalam perjalanannya berproses secara bersamaan, takdhim tumbuh seiring perkembangan ilmu agama yang dimiliki seseorang, dan taklim akan seterusnya mendorongnya untuk terus bersikap santun dan beradab, hal ini sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW bahwa adab (rasa hormat) adalah diatas ilmu pengatahuan. Inilah ideologi yang tertanam dalam setiap jiwa santri, sehingga dengan rasa hormat itu, santri akan terus berjuang untuk tidak menyalahinya dan menganggap diri durhaka jika telah berbuat salah terhadap guru.
Dengan taklim dan takdhim inil ah, ketika teungku mendidik santri untuk tidak mengerjakan dosa semisal bermabuk-mabukan baik dengan mengkonsumsi minuman keras, narkoba, dan sebagainya, maka santri akan mematuhinya, serta mereka memiliki pemahaman bahwa tidak akan berguna ilmunya jika dia tetap melakukan hal tersebut (perberbuatan dosa).
Dari uraian penjelasan makna taklim dan takdhim diata s, maka diakui atau tidak, kesuksesan dayah dalam mencegah santrinya terhadap penggunaan narkoba, adalah peran besar dari kedua komponen tersebut. Sehingga, jika masyarakat dan lembaga pendidikan non dayah lainnya yang ingin mendidik generasi muda agar terjauhi dari pengaruh narkoba, maka sangat cocok membawa dua hal ini kedalam sistem pendidikannya. Begitu juga dengan pemerintah, sudah sepatutnya mengapresiasikan peran dayah dalam mendidik generasi yang terbebas dari pengaruh narkoba dengan cara yang serius. Wallahu ‘alam bi shawab.
*** Penulis adalah Jurnalis Santri Binaan Kanwil Kemenag Aceh, Peliput Kegiatan Pospenas ke 7 Banten Tahun 2016. Saat ini ia sebagai Santri Dayah Darul Aman - Lubuk Sukon, Aceh Besar.