CARI
Rekomendasi Keywords:
  • Azhari
  • Kakanwil
  • Hari Santri
  • Halal
  • Islam
  • Madrasah
  • Pesantren

Guru Agama Islam Sangat Berperan dalam Membina Akhlaq Siswa

Image Description
Inmas Aceh
  • Penulis
  • Dilihat 552
Sabtu, 31 Desember 2016
Featured Image

[Sigli | Said Mustafa] Akhiri tahun ini, Sabtu (31/12), mari kita simak satu paparan Cut Fitriani Risma, S.Pd.I, guru MIN Tiba, di Pidie. Menurutnya, Pendidikan Agama Islam yang diterima oleh siswa sangat mempengaruhi terhadap sikap dan perilakunya. Sebab akan menjadi landasan untuk berbuat dan bertindak dalam pergaulannya, terlebih lagi jika ditambah dengan pengawasan dan pembinaan dari guru dan orang tua secara teratur dan kontinyu. Maka   peran dan perhatian guru dalam mendidik dan membina kehidupan agama di sekolah memberikan pengaruh positif dalam pembentukan akhlak siswa

Akhlaq merupakan moral atau etika yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia sebab 'akhlak' meliputi segi-segi kejiwaan dari tingkah laku lahiriah dan batiniah seseorang.  

Akhlak mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian serta erat hubungannya dengan khaliq yang berarti Pencipta, dan makhluk yang berarti yang diciptakan.     

Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq.     

Jadi, secara umum akhlak diartikan sebagai perilaku, budi pekerti, sopan santun, dan tingkah laku sehari-hari.

Dalam menghadapi tantangan global sekaligus realitas sosial yang semakin meningkat intensitasnya guru agama harus mampu berperan secara optimal dalam menjalankan peran sebagai pendidik yang mampu membawa siswanya mengarah kepada kebaikkan terhadap akhlaq siswa tersebut.

Guru agama juga diharuskan mempelajarai karakteristik anak didikkannya dalam membimbing, mengajar dan mendidik anak di sekolah, itu semua tidak terlepas dari kepribadian anak didik, karena lain anak lain permasalahan latar belakang kehidupannya yang tidak lain telah membentuk kepribadian tingkah laku anak tersebut.

Guru juga sebagai pengerak perubahan. Dalam masyarakat global seperti sekarang ini, tidak ada sosok lain selain guru agama yang dapat berfungsi secara efektif untuk menjadi pengerak perubahan, karena guru agama langsung dapat berhadapan dengan peserta didik  bahkan masyarakat pada umumnya, seorang guru agama yang intelek dan berdedikasi tinggi merupakan unsur yang paling terdepan dan strategis dalam membawa peserta didik menuju pribadi muslim yang setiap gerak langkahnya menentukan akhaq dan prilaku.

Pelaku pendidik profesional. Guru agama adalah salah satu pendidik pada suatu institusi pendidikan. Dia dianggap profesional, bilamana memiliki daya abstraksi dan komitmen tingkat tinggi.

Dengan kata lain, guru agama dikatakan profesional kalau dia memiliki kemampuan dalam mengerjakan tugasnya dan memiliki komitmen yang tinggi untuk mengerjakan tugas berdasarkan kemampuannya. Seorang guru agama yang profesional akan senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan baik. Konsekuensinya adalah dia harus selalu mengembangkan tingkah laku dan tindakan strategis yang cermat dalam upaya membangun ruh islamiyah dan uswah hasanah di lingkungan sekolah.

Atau dengan kata lain, dia dapat bekerja keras dan cerdas. Bekerja keras menunjuk pada kemampuan untuk malaksanakantugas secara sungguh-sungguh, cepat dan berbobot, sedang bekerja cerdas adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan pertimbangan peluang dan tantangan yang terjadi, sekaligus mampu membaca "tanda-tanda zaman".

Artinya apa yang dikerjakan mempunyai nilai strategis untuk masa kini dan yang akan datang dalam upaya pembentukan jiwa religius peserta didik.

Guru agama harus mempunyai seperangkat kemampuan yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, dan ketrampilan sebagai berikut: (1) kepribadian yang matang dan berkembang. Artinya seorang guru agama mempunyai sifat-sifat fisik yang memungkinkan dia dapat membimbing peserta didiknya yang sedang dalam tahap perkembangan fisik dan moralnya, mempunyai ciri-ciri kepribadian yang kuat dan seimbang, dan mempunyai visi tentang etika tingkah laku manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.

(2) penguasaan ilmu dan teknologi yang kuat. Artinya guru agama dituntut untuk mampu membawa peserta didik memasuki dunia ilmu dan teknologi yang terus berkembang, sebab apabila guru tidak menguasai ilmu dan teknologi yang kuat, mustahil ha1 itu dapat dilakukan; (3) ketrampilan membangkitkan minat peserta didik. Artinya penguasaan metodologis bagi guru agama sangat diperlukan untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan prakarsa belajar agama peserta didik.

Dan (4) pengembangan profesi yang berkesinambungan, artinya seorang guru agama harus berusaha untuk meningkatkan kualitas diri secara berkesinambungan dengan mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi, karena ilmu pendidikan dan keguruan serta teknologi terus berkembang pesat (Ghofir, 1999).

Apabila guru agama dapat melaksanakan peran dan fungsi tersebut, maka tidak mustahil pembelajaran pendidikan agama Islam akan memberikan hasil yang optimal, yang pada akhirnya mampu membentuk pribadi muslim peserta didik. Dengan demikian, budaya-budaya negatif yang muncul di sekolah dapat ditekan seminimal mungkin.

Sebagai guru agama harus dan menyadari bahwa dia akan selalu menghadapi persoalan kaitannya dengan tugas dan tanggungjawab profesi, yaitu: Pertama, persoalan peserta didik dengan segala latar belakangnya,metode dengan segala ragamnya, dan kurikulum dengan segala perangkatnya dan keharusan peningkatan kualitas dan profesionalisme, terutama masalah pendidikan dan pembelajaran yang kadang-kadang tidaksebanding dengan tanggungjawab yang diembannya, yaitu membentuk kepribadian pesertadidik.

Kedua, di tangan guru agama perubahan anak manusia sebagian diserahkan untuk pembinaan spiritual dan moral, di samping orang tua di rumah. Sebab berdasarkan kajian psikologis, bahwa pengalaman seseorang sepanjang hidupnya akan lebih banyak diwarnai oleh pengalaman dia di sekolah. Ini memberikan implikasi bahwa guru agama harus siap berjuang dan mempunyai ghirah keilmuan dan keagamaan yang tinggi serta cinta terhadap tugasnya. Karena dia dituntut untuk dapat melahirkan anak bangsa menjadi manusia-manusia yang berkualitas dan bermoral serta spiritual yang kokoh.

Mukti Ali (mantan Menteri Agama RI) mengatakan agar para guru agama tidak hanya sekedar melakukan transformasi pengetahuan, tetapi juga melakukan tran-saksi dantrans-internalisasi. Karena pendidikan agama selama ini masih lebih banyak bersifat transformasi dengan dukungan profesionalisme, sehingga hasilnya adalah banyak peserta didik yang 'pinter tapi ora bener' (bahasa Jawa), atau pandai tapi komitmen keislamannya relatif rendah (Muhaimin, 1992). Untuk itu agar tercipta peserta didik yang 'pinter lan bener',maka pendidikan agama harus diberikan secara mantap dan langsung menyentuh pada kepribadian peserta didik.

Namun demikian, upaya ini tidak akan berhasil kalau tidak dilakukan secara kolektif oleh semua guru di sekolah. Untuk itu, suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah para guru agama perlu bekerjasama dengan guru-guru 'non-agama' atau guru umum dalam aplikasi dan implementasi Pendidikan Agama sehari-hari. Para guru agama perlu mengetahui nilai-nilai apa yang dapat dikenalkan pada diri peserta didik melalui kegiatan pendidikan di luar Pendidikan Agama, seperti Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Bahasa, Sejarah, dan Pendidikan Jasmani.

Penanaman nilai-nilai tersebut, termasuk nilai yang mendasari kehidupan ilmu dan teknologi serta nilai pengaturan perubahan sosial budaya, akan lebih berhasil kalaudilaksanakan sebagai upaya kolektif, tanpa harus membebankan kepada guru agama semata (Muhaimin, 1992). Dengan ini diharapkan akan tercipta kegiatan afektif, dimana peserta didikakan mempunyai kemampuan mempersepsi ilmu dan teknologi serta keadaan lingkungan sosialnya berdasarkan kerangka normal agama. Sehingga peserta didik memiliki nilai dan sikap dasar mengenai etika sosial, pandangan hidup, dan etos dunia yang berasal dari kesadaran religius.

Meskipun sebagai upaya kolektif, guru agama harus tetap sebagai pionerpendidikan agama, karena mereka merupakan 'penjaga moral' di sekolah. Untuk itu, guru agama dituntut untuk selalu mengembangkan perkembangan ilmu dan teknologi yang bersendikan nilai-nilai islami, sehingga terdapat suasana yang komunikatif-religius dengan peserta didiknya. Hal inilah yang akan membawa guru agama semakin eksis dan dicintai oleh peserta didiknya.

Karena itu, guru agama dalam mengikuti perkembangan zaman dituntut untuk mempunyai ide dan pikiran yang dinamis, produktif dan inovatif, sehingga peserta didik dalam pemahaman ilmu dan agamanya akan lebih kritis kemampuan profesional, intelektual, moral dan spiritual untuk merangsang terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat, sehingga agama fungsional pada diri peserta didik.

Untuk mewujudkan semua itu, guru agama harus membekali diri dengan seperangkat nilai, sikap, dan ketrampilan yang mencakup: kepandaian, ketrampilan, ketelitian, kesabaran, kejujuran, kedisiplinan, keterbatasan, kehormatan diri, dan ketaatan menjalankan perintah agama, sehingga guru agama dapat menjadi uswah hasanah dan menjadikan peserta didik ber-akhlaqul karimah. Akhlaqul kurimah tidak hanya sekedar peserta didik dapat membedakan baik-buruk tetapi lebih dari pada itu, akhlakul karimah dapat tercemin dalam pribadi yang mandiri, jujur, disiplin, bertanggungjawab, tidak pamrih, cinta ilmu, cinta kemajuan, kritis, dan suka bekerja keras (Mudzhar, 1992).

Secara praktis-pragmatis, bekal yang harus dimiliki oleh guru agama dalam menjalankan tugas mendidik, mengajar dan memimpin dalam menghadapi berbagai perilaku negatif di sekolah adalah:

Guru agama harus banyak membaca dan mengikuti perkembangan informasi yang ada di sekitarnya, guna dimanfaatkan untuk memudahkan pekerjaannya. Pengetahuan dan pemahaman akan infomasi yang berkembang dapat memudahkan guru agama untuk mengantisipasi dampak negatif yang mungkin dapat dibawa oleh informasi itu ke sekolah.

Guru agama harus memahami: (a) tahaptahap perkembangan berfikir moral, dan kepercayaan eksistensial peserta didik, (b) strategi membelajarkan peserta didik berdasarkan kemajuan tingkat-tingkat kognitif, efektif, dan psikomotorik, (c) budaya de-humanisasi, perbudakan dan keberhalaan yang terkandung dalam benda-benda teknologi, dan (d) bahwa pembelajaran berlangsung sepanjang hayat, dan secara komplementer akan sejalan dengan pembelajaran pada bidang ilmu, kesenian, dan kesusilaan.

Guru agama harus memahami bahwa pembelajaran yang berfokus pada kemajuan kepercayaan eksistensial tidak berada dalam suasana vakum/kosong, tetapi teruji dengan berbagai benda, perilaku, norma, nilai, ide, dan simbol modem masyarakat industri. Disilah diperlukan kearifan bagi guru agama dalam menterjemahkan produk-produk industri modern, supaya tidak terbawa pada sikap konsumerisme dan hedonisme.

Guru agama harus memahami bahwa, pemilihan unsur-unsur budaya manapun, dan pilihan strategi, metode, dan teknik pembelajaran apapun, tolok ukurkeberhasilannya adalah dampak pengiring yang mewujudkan pribadi muslim atau anak shaleh yang termanifestasikan pada pribadi umat yang dewasa (Dimyati, 1995).

Apabila guru agama dapat melaksanakan hal tersebut, akan melahirkan optimisme bahwa lembaga pendidikan yang dibina, dimanapun juga, akan menjadi pilihan umat. Untuk itu, menjadi pilihan umat dan selalu memberikan yang terbaik kepada semua umat harus menjadi bagian penting dalam hidup seorang guru agama dan komitmen itu harus selalu bersemayam dalam nuraninya

Karena tantangan global sering menyebabkan budaya negatif di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, maka guru agama Islam harus membekali diri dengan seperangkat kemampuan agar mampu memberikan filter yang dapat digunakan untuk menyaring berbagai budaya tersebut. Keunggulan guru agama bukan terletak semata-mata pada pendidikan tinggi, tetapi pada dedikasi dan pengabdian yang ditopang dengan profesionalisme dan wawasan yang luas di bidang agama Islam.

Apabila guru agama mampu memenuhi hal tersebut, paling tidakakan mampu melaksanakan penggilan suci dalam menyiapkan pesertadidik menjadi unggul dalam intelektual, moral, dan spiritual. Untuk itu, semua tugas dan tanggungjawab yang diemban, meskipun dianggap gagal, janganlah dijadikan beban, tetapi harus dinikmati sebagai panggilan suci semata-mata untuk beribadah kepada Allah swt. Semoga kita selalu mendapatkan lindungan dan ridla-Nya. Amin. [Cut Fitriani Risma, S.Pd.I, Guru MIN Tiba Kabupaten Pidie/y]

Tentang
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh adalah unit vertikal Kementerian Agama di provinsi dan membawahi beberapa kantor kementerian agama di kabupaten dan kota.
Alamat
Jalan Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242
Lainnya
Media Sosial
© 2023 Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
Oleh : Humas Kanwil Aceh